Tipologi Belajar
Suparman mengungkapkan bahwa tipologi belajar adalah cara seseorang menyerap, mengelola, dan memproses informasi. Dalam buku Quantum Learning yang ditulis oleh Bobby de Potter, dkk, diidentifikasi tiga jenis tipologi belajar: visual, auditori, dan kinestetik. Setiap individu biasanya tidak hanya mengandalkan satu jenis modalitas, tetapi juga menggunakan kombinasi dari berbagai modalitas, yang membawa kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Tujuan dari tipologi belajar adalah untuk mempermudah proses pembelajaran dan membantu siswa dalam menangkap, mengatur, dan memproses informasi. Tipologi belajar mengacu pada pengklasifikasian gaya belajar individu berdasarkan karakteristik kognitif, afektif, dan fisiologis yang berbeda-beda. Dengan kata lain, tipologi belajar berusaha mengenali cara paling efektif bagi setiap individu untuk menyerap, memproses, dan mengingat informasi. Terdapat tiga karakteristik utama dalam tipologi belajar: pertama, kognitif, yang mencakup cara berpikir, memecahkan masalah, dan memahami konsep; kedua, afektif, yang melibatkan motivasi, sikap, dan emosi yang mempengaruhi proses belajar; dan ketiga, fisiologis, yang berkaitan dengan kondisi fisik yang optimal untuk kegiatan belajar, seperti lingkungan belajar yang ideal.
Teori-Teori Belajar dalam Psikologi
Untuk mendidik siswa dengan efektif, guru perlu memahami psikologi pembelajaran agar dapat mengetahui cara murid-murid mereka belajar. Keragaman latar belakang siswa dapat mempengaruhi dinamika belajar antara guru dan siswa. Dalam konteks ini, guru harus menyesuaikan strategi pengajarannya sesuai dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang teori pembelajaran sangat penting bagi pendidik. Teori-teori pembelajaran dapat dibagi menjadi tiga kategori: teori behavioristik, kognitif, dan humanistik.
a) Teori Behavioristik
Menurut pandangan behavioristik, belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati, terjadi melalui interaksi antara stimulus dan respons, serta didukung oleh penguatan mekanis. Perubahan ini menunjukkan bahwa belajar berkaitan dengan aktivitas fisik. Pendekatan ini menekankan pada hubungan stimulus-respons, berfokus pada proses belajar itu sendiri. Behaviorisme berargumen bahwa fokus utama dalam psikologi adalah perilaku, tanpa mengaitkannya dengan kesadaran atau proses mental. Meskipun gagasan ini sudah ada sejak lama, behaviorisme secara resmi muncul sebagai aliran dalam psikologi melalui karya John B. Watson, yang mempublikasikan pandangannya di Psychological Review pada tahun 1913. Tokoh-tokoh penting dalam behaviorisme, seperti J.B. Watson, E.L. Thorndike, B.F. Skinner, dan Ivan Pavlov, berpendapat bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang muncul sebagai respons terhadap situasi tertentu. Mereka berfokus pada perilaku yang dapat diamati, sementara pikiran dan emosi dianggap tidak dapat diobservasi langsung. Behaviorisme juga menekankan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, lahir tanpa membawa kecerdasan atau bakat tertentu; semua kemampuan dan perasaan berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, proses belajar dianggap melibatkan refleks fisik yang tidak memerlukan kesadaran mental. Aktivitas belajar dipandang sebagai latihan refleks yang menjadi kebiasaan, di mana setiap anak memiliki potensi yang sama untuk berkembang melalui interaksi sosial. Dalam teori ini, belajar adalah proses penguasaan pengetahuan, sementara mengajar adalah proses mentransfer pengetahuan tersebut, sehingga diharapkan pemahaman antara pengajar dan pembelajar sejalan.
b) Teori Kognitif
Teori kognitif, yang dipengaruhi oleh fungsionalisme, menolak pendekatan yang memisahkan pengalaman menjadi elemen-elemen kecil. Berbeda dengan fungsionalis, para psikolog Gestalt lebih menekankan pengalaman keseluruhan individu daripada bagian-bagiannya. Teori Gestalt mulai berkembang berkat penelitian Max Wertheimer yang dimulai dengan eksperimen menggunakan alat stroboskop. Hasil penelitiannya memperkenalkan konsep phi phenomenon, yang menunjukkan bahwa persepsi terhadap keseluruhan tidak dapat dijelaskan hanya dengan melihat bagian-bagian terpisah. Dengan kata lain, keseluruhan memiliki sifat yang berbeda dari unsur-unsur penyusunnya. Teori Gestalt berargumen bahwa analisis mendalam terhadap bagian-bagian kecil dapat merusak pemahaman terhadap fenomena secara keseluruhan. Teori ini mulai dikenal di Amerika Serikat sekitar sepuluh tahun setelah kemunculannya, dengan tokoh-tokoh, seperti Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler berkontribusi dalam penelitian mengenai persepsi. Meskipun behaviorisme mendominasi psikologi Amerika selama beberapa dekade, teori Gestalt membuka jalan bagi psikologi kognitif, dengan tetap menyoroti isu-isu terkait proses mental. Gestalt yang berarti pola atau struktur, menekankan pentingnya respon terhadap keseluruhan yang bermakna. Kohler mengemukakan bahwa proses mental sangat penting dalam memahami belajar, dengan konsep hukum transformasi dan hukum organisasi persepsi sebagai kunci.
c) Teori Humanistik
Teori pendidikan humanistik menekankan proses dan konten yang berfokus pada siswa sebagai subjek pembelajaran. Tujuannya adalah untuk menjadikan individu lebih dapat dihubungkan satu sama lain agar mereka dapat mencapai tujuan hidup dan pekerjaan. Meskipun sulit untuk menerapkan teori ini dalam praktik, filosofi ini memberikan panduan bagi proses pembelajaran. Menurut Kolb, ada empat tahap dalam proses pembelajaran: (1) pengalaman konkret, di mana siswa terlibat dalam kegiatan tanpa memahami tujuan; (2) pengalaman reflektif, di mana siswa mulai mengamati dan merenungkan pengalaman; (3) konseptualisasi, di mana siswa menarik generalisasi dari fenomena yang diamati; dan (4) penyelidikan aktif, di mana siswa dapat menerapkan pengetahuan pada situasi baru.
Tipe-Tipe Belajar Menurut Teori Psikologi Pendidikan
Gaya belajar dianggap memiliki peranan krusial dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Menurut Joko (2006), “Siswa memperoleh pengetahuan dengan cara yang unik bagi mereka.” Gaya belajar didefinisikan sebagai proses yang melibatkan aktivitas, penghargaan, dan kecenderungan individu. Kebingungan dapat menjadi pemicu motivasi diri untuk mencapai pembelajaran yang bermakna. Ketika siswa terpaksa belajar dengan metode yang tidak sesuai dengan cara mereka, hal ini berpotensi menghambat proses pembelajaran, khususnya dalam memperhatikan materi yang dipelajari. Memahami gaya belajar individu dapat membantu mereka menemukan cara belajar yang lebih efektif, meskipun pembelajaran mandiri tidak selalu menjamin peningkatan kecerdasan. Hamzah (2008) menyebutkan bahwa “Ada beberapa tipe gaya belajar yang bisa diperhatikan dan mungkin diikuti jika siswa merasa cocok, di antaranya: gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik".
a) Gaya Belajar Visual
Siswa dengan gaya belajar visual memiliki beberapa ciri sebagai berikut: a) cenderung teratur dan rapi, b) berbicara dengan cepat, c) tidak mudah terganggu oleh suara latar saat mengingat informasi visual, d) lebih suka membaca daripada mendengarkan, e) mampu membaca dengan cepat dan teliti, f) sering mengetahui apa yang ingin diucapkan meskipun kesulitan dalam memilih kata, g) mengingat informasi melalui asosiasi visual, h) kesulitan dalam mengingat instruksi verbal kecuali ditulis, dan i) perhatian yang tinggi terhadap detail. Mereka cenderung lebih baik dalam mengingat informasi dengan cara melihat langsung.
b) Gaya Belajar Auditorial
Gaya belajar auditorial lebih mengandalkan pendengaran. Ciri-ciri siswa auditorial menurut Bobby De Porter dan Mike Hernacki meliputi: a) sering berbicara pada diri sendiri saat bekerja, b) mudah terganggu oleh kebisingan, c) senang membaca dengan suara keras dan mendengarkan, d) kesulitan menulis tetapi pandai dalam bercerita, e) belajar melalui pendengaran dan lebih mengingat diskusi dibandingkan dengan visual, serta f) menikmati berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan. Ciri-ciri ini bisa menjadi indikator yang digunakan untuk mengamati karakteristik siswa auditorial dalam proses belajar yang memerlukan lingkungan yang mendukung pendengaran, seperti kesempatan untuk berdiskusi dalam kelompok.
c) Gaya Belajar Kinestetik
Gaya belajar kinestetik ditandai dengan kemampuan menyerap informasi melalui gerakan dan sentuhan. Menurut Bobby De Porter dan Mike Hernacki, ciri-ciri siswa kinestetik adalah: a) berbicara perlahan, b) kesulitan mengingat peta kecuali pernah mengunjungi lokasi tersebut, c) menghafal sambil bergerak, d) menggunakan jari saat membaca, e) tidak bisa duduk diam terlalu lama, f) tulisan cenderung tidak rapi, g) aktif dan banyak bergerak, serta h) cenderung ingin melakukan segala sesuatu. Siswa kinestetik biasanya mengingat informasi lebih baik ketika mereka terlibat langsung dalam aktivitas belajar.