Mohon tunggu...
Dinda ApriliaBatubara
Dinda ApriliaBatubara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembuktian Terbalik Berdasarkan Asas Presumption of Guilty (Praduga Bersalah) pada TPPU Melanggar HAM?

8 Juni 2024   17:49 Diperbarui: 8 Juni 2024   17:58 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of guilty (praduga bersalah)  pada TPPU melanggar HAM?

Penulis: Dinda Aprilia Batubara, S.H. (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara)

 

Tindak pidana pencucian uang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal itu disebabkan karena modus operasi yang kompleks dan lebih berbahaya dari kejahatan konvensional serta membawa dampak besar yang merugikan, bahkan ruang lingkupnya bersifat cross border. Selain itu, tindak pidana pencucian uang sulit dalam proses pembuktiannya dan efek yang ditimbulkannya sangat besar karena menyangkut perekonomian negara. Kompleksitas pengusutan tindak pidana pencucian uang menjadi salah satu masalah yang tidak terelekkan hingga kini. Sehingga proses pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang juga menggunakan mekanisme yang berbeda dari kejahatan pada umumnya. Upaya luar biasa yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang adalah mekanisme pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang berlandasrkan asas presumption of guilty. Prinsip ini merupakan sebuah trobosan besar yang revolusioner dan progresif, metode baru terhadap pembaharuan hukum dalam pemberantasan TPPU sekaligus menjawab permasalahan dalam mengatasi tindak pidana asal.

Pembuktian terbalik berlandaskan asas presumption of guilty menentukan terdakwa dapat dipersalahkan atau praduga bersalah menentukan terdakwa dapat dipersalahkan melakukan TPPU jika dia tidak dapat membuktikan asal-usul harta kekayaannya. Pembuktian terbalik adalah jenis pembuktian yang mewajibkan Terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau membuktikan secara negatif (sebaliknya) terhadap dakwaan Penuntut Umum. Apabila sistem pembuktian dalam hukum pidana formil menempatkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang  bertanggung jawab untuk membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam TPPU beban pembuktian diletakkan pada Terdakwa, yang berarti terdapat suatu "reversal burden of proof" atau "omkering van bewijslats" yaitu pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 77 yang mengatur bahwa "untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana". Ketentuan tersebut kemudian dipertegas kembali di dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa hakim memerintahkan agar terdakwa membuktikan harta kekayaannya yang terkait dengan perkara, bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yang artinya terdakwa hanya dibebankan pembuktian bahwa harta kekayaan yang dimiliki bukan merupakan hasil tindak pidana, dan kepada jaksa penuntut umum tetap diberi beban pembuktian terhadap unsur-unsur kesalahan terdakwa.

Pembuktian terbalik dalam TPPU lekat dengan penerapan asas presumption of guilty (asas praduga bersalah). Dalam penerapan asas presumption of guilty,  pembuktian terbalik tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu desktruksi terhadap perlindungan dan penghargaan HAM, khususnya hak tersangka atau terdakwa. Beban pembuktian terbalik yang disertai asas presumption of guilty akan dapat menerangkan asal-usul harta kekayaan terdakwa disertai dengan bukti-bukti yang menjelaskan kapan, darimana, dan bagaimana cara memperoleh harta kekayaannya. Konsep pendekatan follow the money, yaitu dimana sebuah pendekatan dari hilir keberadaan harta kekayaan yang kemudian direkonstruksi sampai ke hulu menemukan tindak pidana yang melahirkan harta kekayaan, membuat asas presumption of guilty dalam pembuktian terbalik jauh dari kata pelanggaran HAM karena mengedepankan pada pencarian aset dari pada pelaku tindak pidana.

Pembuktian terbalik pada TPPU tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena dalam TPPU beban pembuktian yang harus dibuktikan oleh terdakwa bukan actus reus dan mens rea, melainkan terdakwa hanya membuktkkan objeknya saja. Sementara actus reus dan mens rea tetap dibebankan pembuktian kepada Jaksa penuntut Umum. Ketidakmampuan membuktikan harta/aset bukan dari kejahatan, menyebabkan aset atau harta tersebut disita oleh negara, karena terindikasi merupaan hasil dari tindak pidana pencucian uang.

Terkait dengan hak asasi manusia yang berkaitan dengan right to silence di pengadilan, apabila terdakwa kesulitan untuk melakukan pembuktian terkait aset atu harta kekayaannya pada saat pemeriksaan di pengadilan karena banyaknya aset atau harta kekayaan yang diperkarakan, maka hakim bisa memberikan waktu dan kesempatan seluas-luasnya bagi terdakwa untuk membuktikan aset atau harta kekayaan yang menjadi objek perkara adalah bukan hasil dari kejahatan atau tindak pidana asal seperti korupsi, penyuapan, narkotika, dan lain sebagainya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal tersebut dikarenakan orientasi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mengejar aset hasil tindak pidana. Pasal tersebut berhubungan dengan Pasal 78 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berisi tentang bagaimana cara terdakwa atau penasihat hukumnya membuktikan asal-usul harta kekayaan milik terdakwa, yang mengatur bahwa:

(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Pasal ini berhubungan dengan ketentuan alat bukti yang tercantum Pasal 73 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menjelaskan secara eskplisit bentuk-bentuk alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang, dan sesuai dengan konsep awal pembuktian terbalik maka terdakwa atau penasihat hukum dalam membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak terkait tindak pidana juga menggunakan alat bukti sesuai dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun