Lalu, apa kaitan gejala psikosomatis tersebut dengan kualitas hidup seseorang? Menurut Psikologi Evolusioner, individu memiliki dorongan untuk menjalin relasi dengan orang lain guna bertahan hidup, mengembangkan perasaan dekat dan terhubung dengan untuk menciptakan hubungan yang bermakna untuk terhubung secara emosional dan rasa diterima
 dalam suatu kelompok inilah yang disebut keterhubungan sosial. Sayangnya, pada seseorang yang terindikasi psikosomatis yang khususnya disebabkan oleh SPP (socially-prescribed perfectionism)Â
saat pencapaiannya tidak sesuai dengan ekspektasi orang lain, ia akan memperlihatkan agresivitas, kurangnya altruisme, manipulasi dalam hubungan, dan menghindari keintiman/kedekatan (Stoeber dkk., 2017).Â
Rasa tekanan menjadi perfeksionis tersebut juga dijelaskan pada beberapa literatur yaitu terdapat korelasi skor perfeksionisme yang tinggi terhadap rendahnya skor keterhubungan sosial (Amodeo, 2014).Â
Penelitian yang dilakukan Elvira Linda dan Nurul Hartini (2021), pun membuktikan bahwa variabel keterhubungan sosial memiliki pengaruh dalam nilai 20-25% berarti mediator parsial.Â
Hasil data yang didapat menunjukkan bahwa socially-prescribed perfectionism merupakan nilai yang jelas berpengaruh terhadap kemunculan gejala psikosomatis, disusul oleh self-oriented perfectionism dan other-oriented perfectionism dengan selisih yang sangat kecilÂ
Kondisi psikosomatis ini secara gamblang menunjukan nilai minusnya dalam Quality of Life seseorang. Hal ini dinilai dari aspek perasaan kurang puas akan pencapaian, bereaksi marah atau sensitif setelah mendapat kritik, serta secara sosial relasi dengan banyak pihak terganggu dalam jangka panjang.
Emosi negatif tersebut, setidaknya dapat diminimalisasi dengan rasa syukur yang  merupakan bentuk kebahagiaan yang muncul kala dalam keadaan cukup maupun rasa berterima kasih. Kebiasaan berperilaku dalam emosi yang positif tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang.Â
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa perasaan terima kasih, senang, takjub, dan penghargaan terhadap hidup sebagai respon atas sesuatu yang diperoleh baik berupa benda ataupun momen bahagia yang diekspresikan kepada Tuhan, manusia, makhluk lain, dan alam semesta dan menurut orang yang banyak bersyukur akan meningkat kebahagiaannya, well-being dan berkurangnya keluhan/ sakit fisik (Snyder & Lopez, 2002).Â
Kesimpulan dari artikel ini yaitu bahwa variabel emosi negatif dan emosi positif memiliki korelasi yang jelas dengan kualitas hidup seseorang pengidap psikosomatis. Â Jika dikomparasi, dapat diketahui perbedaan seseorang yang selalu dalam emosi positif (bersyukur, senang,dsb) memiliki kualitas hidup yang baik sehingga stress pemicu psikosomatik dapat diatasi secara bertahap.Â