Mohon tunggu...
dindaamelia
dindaamelia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Membaca Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Dari Gurauan Yang Menyakitkan Hingga Klarifikasi: Pelajaran Etis Dari Insiden Pedagang Es Teh Dan Tokoh Agama

5 Januari 2025   19:31 Diperbarui: 6 Januari 2025   14:45 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi es teh (@ikarahma via canva pro)

ilustrasi pedagang es teh (foto: X/@warungsastra) 
ilustrasi pedagang es teh (foto: X/@warungsastra) 
Satu bulan yang lalu, tersebar potongan video yang menunjukan seorang pedagang es teh dan minuman botol yang menjadi objek ejekan di depan umum oleh seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama. Peristiwa tersebut memicu diskursus etis dan sosial yang mendalam, terutama karena tokoh tersebut, Miftah Maulana, dikenal luas sebagai publik figur yang berperan dalam membangun narasi agama dan toleransi. Video ini memancing reaksi keras dari masyarakat, terutama para netizen, yang mengecap tindakan tersebut sebagai pelanggaran nilai moral dan etika. Setelah insiden ini viral, Miftah Maulana membuat video klarifikasi dan permintaan maaf bersama pedagang yang bersangkutan.

Peristiwa ini muncul berbagai pertanyaan  tentang moralitas, martabat manusia, dan tanggung jawab seorang tokoh masyarakat. Sebagai seorang pemimpin yang lebih tinggi, Miftah Maulana memiliki posisi yang stategis untuk menjadi teladan, membangun hal-hal positif ditengan masyarakat. Namun tindakan mengejeknya kepada seorang pedagang kecil justru menunjukan penyimpangan dari nilai-nilai yang ada.

Dalam islam sudah dijelaskan bahwasanya penghormatan terhadap manusia, tanpa memandang status sosial atau pekerjaan, merupakan prinsip fundamental. Mengejek atau mengolok-olok sesorang didepan publik merupakan bentuk penghinaan terhadap harga diri manusia, yang mana sangat bertentangan dalam ajaran  islam. Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan manusia, dan melarang segala bentuk dan juga tindakan yang merendahkan sesama manusia.

Secara sosial, tindakan seperti ini memiliki dampak jangka panjang yang sangat penting atau berarti. Ejekan terhadap profesi yang mana dianggap "rendah" yang dapat memperkuat stereotip negatif atau penyakit mental sosial terhadap pekerjaan informal. Dalam teori fungsional struktural setiap pekerjaan, pekerjaan kecil, memiliki peran dalam menjaga keseimbangan sosial. Pekerjaan seperti penjual es teh adalah bagian dari ekonomi untuk menopang kehidupan sehari-hari.

Namun, ketika profesi ini menjadi bahan sebuah ejekan, muncul risiko pengucilan, dimana kelompok tertentu merasa terasingkan dari masyarakat. Fenomena ini juga tidak hanya melukai individu yang bersangkutan, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang terhitung dan kurang menghargai keberagaman pekerjaan. Sebagai tokoh publik figur, Miftah Maulana memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan pengaruhnya secara positif. Tindakan merendahkan profesi tertentu, meskipun mungkin yang  dimaksud sebagai salah satu gurauan atau humor, memperlihatkan ketidaksensitifan terhadap konteks sosial yang lebih luas.

Dari momen-momen tersebut mengajarkan kita bahwa kebaikan tidak harus selalu berbentuk tindakan besar yang megah. Terkadang, memberi perhatian kepada orang lain, membantu dengan cara sederhana, atau bahkan berbagi makanan atau minuman bisa memberikan dampak yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Di dunia yang semakin sibuk ini, tindakan-tindakan kecil ini sering kali dilupakan, padahal sebenarnya mereka bisa membawa kebahagiaan bagi penerimanya. Insiden antara pedagang es teh dan tokoh agama juga memberikan kita pelajaran etis yang sangat berharga tentang pentingnya menjaga komunikasi sensitif dan penuh empati. Gurauan yang menyakitkan dan klarifikasi yang dilakukan pasca-insiden menunjukan bagimana etika komunikasi berperan dalam menjaga hubungan antarmanusia. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kita harus lebih bijak dalam berinteraksi, mengingat bahwa kata-kata kita bisa membangun atau menghancurkan. Klarifikasi, empati, dansaling menghargai adalah kunci untuk menjaga harmoni sosial yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun