Hai, aku Dinda Amalia Putri. Sebagai tokoh utama cerita ini, aku ingin berbagi perjalanan tentang bagaimana aku berusaha membuka diri dan mengubah kebiasaan lama demi menjadi pribadi yang lebih baik di dunia perkuliahan.Â
Semua bermula saat aku mengikuti ujian masuk di kampus IAIN Kendari. Aku hampir terlambat karena kebiasaan buruk ku sejak sekolah, yaitu sulit datang tepat waktu. Namun, setibanya di lokasi, aku lega karena ujian belum dimulai. Saat mengantri untuk meregistrasi kartu ujian, aku melihat seorang perempuan duduk di dekat tangga. Dalam hati, aku ingin berkenalan dengannya, tetapi rasa malu dan sifat introvert-ku sempat menahan langkahku. Namun, aku bertekad untuk berubah. Akhirnya, aku memberanikan diri mendekatinya.
"Hai, aku Dinda," sapaku dengan tangan yang sedikit gemetar. "Oh, hai, aku Anisa," jawabnya ramah sambil menyambut uluran tanganku.Kami pun mulai berbincang ringan. Dari obrolan itu, aku tahu Anisa berasal dari Buton, sementara aku menjelaskan bahwa rumahku cukup dekat dari kampus, di Ranomeeto. Kami juga saling berbagi jurusan impian. Aku memilih MBS sebagai prioritas, sedangkan Anisa mengambil jurusan Matematika. Aku memujinya karena memilih jurusan yang menurutku sangat sulit. Sambil bercanda, aku mengenang masa SD saat aku pernah menjadi bintang di bidang matematika, hingga diikutsertakan dalam olimpiade. Namun, setelah SMP, nilainya menurun drastis.
Setelah beberapa menit berbincang, panitia memanggil peserta ujian untuk berbaris di depan ruangan masing-masing. Aku segera masuk ke ruang ujian dan mulai mengerjakan soal dengan fokus penuh. Begitu selesai, aku keluar dan kembali bertemu Anisa yang sedang duduk di tangga. "Oi, Nis, lagi nunggu siapa?" tanyaku sambil menepuk pundaknya. "Aku nunggu kamu, Din. Mau jalan-jalan keliling kampus dulu, nggak?" tawarnya. Aku setuju, dan kami pun mulai menjelajahi lingkungan kampus yang asri dan sejuk, dipenuhi pohon-pohon rindang serta bunga-bunga indah.
"Din, rumahmu dekat, pasti sering ke kampus, ya?" tanya Anisa sambil menikmati angin yang berhembus pelan. "Nggak juga, Nis. Ini malah pertama kalinya aku masuk ke kampus ini," jawabku sambil tersenyum kaku. Aku menjelaskan bahwa aku jarang keluar rumah, kecuali untuk sekolah atau membeli sesuatu. Selama pandemi, aku lebih sering menghabiskan waktu bermain game online dan berinteraksi dengan teman-teman dunia maya. Karena itu, aku jadi kurang terbiasa bersosialisasi secara langsung. Anisa tampak terkejut mendengar pengakuanku.
"Loh, kamu nolep? Tapi tadi kamu yang ngajak aku kenalan duluan," ucapnya sambil tersenyum geli. "Orang introvert biasanya nggak begitu, lho." Aku menjelaskan bahwa meskipun rasanya sulit dan menakutkan, aku memaksakan diri untuk memulai percakapan karena aku ingin berubah. Jantungku memang hampir copot saat melakukannya, tetapi tekad untuk menjadi lebih baik mengalahkan rasa takutku.
Sejak saat itu, aku mulai merasa bahwa perkuliahan adalah fase baru dalam hidupku, tempat di mana aku bisa memperbaiki diri dan keluar dari zona nyaman.Â
Aku belajar bahwa perubahan kecil, seperti berkenalan dengan orang baru, bisa menjadi langkah besar untuk membuka peluang lebih luas. Anisa menjadi teman pertamaku di kampus, dan obrolan kami membuatku lebih percaya diri.
Pengalaman ini mengingatkan aku bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah. Dunia perkuliahan bukan hanya tentang belajar di kelas, tetapi juga tentang belajar mengenal diri sendiri, menghadapi tantangan, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa perjalanan ini adalah awal dari versi diriku yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H