Setiap tahun, dunia kampus Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa masih banyak mahasiswa yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri. Bunuh diri merupakan suatu aktivitas secara sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan menunjukkan perilaku-perilaku berupa isyarat, percobaan, ancaman verbal, atau menyakiti dirinya sendiri. Melansir data dari situs Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, pada tahun 2024 jumlah kejadian bunuh diri di Indonesia hampir mencapai seribu kasus dalam kurun waktu hanya sembilan bulan (terhitung dari bulan Januari-September 2024). Â Bahkan, pada bulan September 2024, tercatat rata-rata tiga kejadian bunuh diri terjadi setiap harinya. Data ini mencerminkan tekanan besar yang dialami oleh banyak individu, termasuk mahasiswa, dalam menjalani kehidupan sosial dan akademis yang penuh tuntutan.
Belakangan ini, penulis menyoroti berbagai kasus bunuh diri terutama di kalangan mahasiswa. Terdapat 2 kasus bunuh diri pada mahasiswa yang saat ini menjadi topik perbincangan di masyarakat. Pertama, kasus mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro berinisial ARL yang ditemukan dalam kondisi tewas di tempat kosnya yang berlokasi di Kecamatan Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan laporan yang ada, diduga korban mengalami pengancaman, intimidasi, dan pemerasan selama menjalani masa PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro. Yang kedua, mahasiswa semester 3 Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jember berinisial DRY, yang ditemukan tergeletak di halaman gedung Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) setelah melompat dari lantai 8 gedung tersebut. Hingga saat ini, belum ada informasi resmi dari pihak universitas maupun kepolisian terkait faktor yang melatarbelakangi kejadian tersebut.
Berdasarkan kedua kasus tersebut, dapat ditelusuri lebih dalam bahwa perilaku bunuh diri di kalangan mahasiswa memiliki begitu banyak faktor, namun faktor utamanya adalah kehidupan akademik di kampus itu sendiri. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa kesulitan untuk menjalani ritme perkuliahan yang memaksa mereka untuk memenuhi tuntutan akademik, seperti tugas yang menumpuk, deadline tugas yang berdekatan, ujian yang menegangkan, serta standar nilai yang terlalu tinggi yang diterapkan oleh sistem kampus. Hal ini tidak hanya dialami oleh mahasiswa semester atas saja, namun juga mahasiswa baru yang mengalami masa transisi dari bangku SMA ke jenjang perkuliahan. Meskipun tidak semua mahasiswa baru adalah fresh graduate SMA, ada juga siswa gapyear yang menunda masa perkuliahan mereka selama beberapa tahun untuk bekerja atau berkuliah di kampus lain, namun masa adaptasi di lingkungan baru selalu menjadi tantangan tersendiri bagi setiap orang.
Selain karena faktor akademis, masalah kesehatan fisik dan mental serta kehidupan sosial juga turut menyumbang tingginya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang mengidap penyakit fisik tertentu maupun masalah psikis seperti stres, gangguan kecemasan (anxiety), hingga depresi memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidup karena mereka merasa tersiksa dengan penyakit atau masalah psikis yang mereka rasakan, terlebih lagi jika mereka merupakan mahasiswa rantau yang harus merawat diri sendiri tanpa bantuan dari orang tua. Mahasiswa zaman sekarang yang didominasi oleh Gen Z harus menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya karena dunia saat ini semakin kompetitif. Kemajuan informasi di media sosial juga membuat mahasiswa sering terjebak dalam kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain yang dapat memperparah kecemasan mereka.
Faktor kehidupan sosial juga turut andil menjadi faktor penyebab maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang merasa terisolasi atau kurang memiliki kedekatan dengan teman-teman di kampusnya cenderung kesulitan untuk menghadapi tekanan hidup. Mereka sering terjebak pada rasa sepi dan merasa bahwa harus menanggung semua beban itu seorang diri. Selain itu, konflik interpersonal, seperti masalah hubungan dengan teman, pasangan, atau keluarga, sering kali menambah beban mental yang dirasakan. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya fasilitas kampus yang dapat menyediakan ruang aman untuk berinteraksi dan mencari dukungan bagi mahasiswa.
Adanya kasus bunuh diri oleh mahasiswa memicu beragam respon dari masyarakat (baca: netizen), baik dalam bentuk dukungan positif dengan mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi, maupun respon negatif dengan mengadu nasib. Tidak sedikit masyarakat yang justru berkomentar negatif dengan membandingkan kesulitan hidupnya dengan korban bunuh diri. Mereka berpendapat bahwa masalah yang dihadapi mahasiswa tidak begitu berat jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang lebih kompleks seperti masalah di lingkungan pekerjaan hingga masalah rumah tangga. Dalam hal ini, perlu ditekankan kembali bahwa kondisi psikis dan kemampuan manusia dalam menghadapi masalah berbeda-beda.
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa tidak bisa dianggap sepele. Stigma negatif masyarakat terhadap orang-orang yang sedang mengalami titik terendah dan berkeinginan untuk bunuh diri harus diperbaiki. Banyak masyarakat beranggapan bahwa mahasiswa yang melakukan bunuh diri adalah seorang yang lemah iman, kurang beribadah, dan berdosa. Padahal tidak ada studi yang secara eksplisit menyatakan bahwa seseorang yang bunuh diri pasti lemah iman, kurang beribadah, atau berdosa. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang ingin mengakhiri hidupnya. Mereka hanya ingin keluar dari suatu masalah, namun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehingga tercetuslah ide untuk melakukan tindakan tragis tersebut sebagai jalan keluar.
Dalam dunia pendidikan, solusi atas maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa adalah dengan membekali tenaga pendidik kemampuan untuk memahami dan merespons dampak trauma yang dialami oleh mahasiswa. Dikutip dari situs BBC News Indonesia, kesadaran untuk membangun sistem pendukung di lingkungan pendidikan harus dimulai dari institusi itu sendiri. Hingga saat ini, masih banyak institusi pendidikan, khususnya universitas, yang belum memiliki sistem atau unit layanan khusus seperti konselor, hotline kesehatan mental, atau program pelatihan coping skill yang mencakup teknik seperti pemecahan masalah, pengelolaan emosi, dan mindfullness. Sebagaimana yang sudah diterapkan oleh beberapa kampus seperti Universitas Airlangga (UNAIR) yang memiliki Help Center dengan memberikan layanan konsultasi gratis untuk seluruh sivitas akademika, Universitas Islam Indonesia (UII) yang memiliki layanan konseling berbasis AI untuk memberikan kemudahan akses bagi mahasiswa dengan berbagai tingkat permasalahan mental, serta Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program Training for Trainer yang bertujuan untuk mengenalkan konsep strategi coping untuk membantu mahasiswa beradaptasi dengan lingkungan kampus dan tekanan akademik.
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa adalah masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan saja yang harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung kesehatan mental mahasiswa, namun juga kontribusi dari pemerintah, orang tua, teman/sahabat, serta kesadaran dari mahasiswa itu sendiri sangatlah penting. Dengan kolaborasi dari semua pihak, kita dapat menekan angka kasus bunuh diri dan memastikan bahwa setiap mahasiswa merasa dihargai, didengar, dan memiliki tempat untuk berbagi tanpa rasa takut. Saatnya kita bergerak bersama untuk menciptakan perubahan positif melalui generasi muda demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H