Mohon tunggu...
Dina Wiratu
Dina Wiratu Mohon Tunggu... -

Sesuka hatiku untuk melihat disekitarku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jeda di Sana

27 Februari 2014   14:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:25 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kudahului kaki kananku untuk melepas sandal berhak 3cm berwarna abu-abu yang sedari tadi mengalasi kedua telapak kakiku. Mulai menghitung langkah, aku menuju meja lesehan yang terbuat dari bambu dan teronggok di salah satu sisi ruangan itu. Tak kupedulikan apakah ada yang menyadari keberadaan ku ataupun tidak karena aku tak menolah sedikitpun ke sekelilingku.

Seorang lelaki berparas lembut telah duduk disana mengenakan kemeja biru tua dengan lengan bajunya yang dilipat hingga sebatas siku. Kutundukkan wajahku ketika sampai dan duduk bersimpuh di depan meja bambu, tepat berhadapan dengannya. Aku mulai merasakan kalau sedari tadi ia mengamatiku, belum kupedulikan. Disampingku kuletakkan tas panjang yang sedari tadi mengalung di bahuku. Beberapa detik kemudian kuangkat wajahku kupandang parasnya, ia mulai gelagapan dan mengalihkan pandangannya. Belum ada percakapan hingga aku mulai menanyainya.

“Sudah menunggu dari tadi? Maaf ya lama.”

“Nggak kok, aku juga baru sampai”

Ia mulai menyuarakan suaranya ketika menjawabku beriringan dengan senyumnya. Aku tahu ia tidak mengatakan yang sebenarnya, pasti ia sudah menunggu sekitar setengah jam yang lalu, waktu yang memang kita sepakati. Seperti yang biasa ia lakukan, ia begitu untuk menjaga perasaanku. Kemudian ia menawariku dengan memesan makanan. Ah... ia terus saja tersenyum, dan aku baru sadar kalau ia memiliki senyum yang teduh. Ini memang kala pertama aku bertatap muka dengannya secara pribadi, setelah ia utarakan akan mulai memberanikan diri. Waktu-waktu yang lain aku dan ia hanya sebatas saling sapa ketika kebetulan bertemu secara tidak sengaja, ataupun ketika aku dan ia sama-sama menghadiri suatu pertemuan dan biasanya aku sengaja menjaga jarak dengannya. Perbincangan ringan seputar kabar, kesibukan, hingga hal-hal yang tidak penting mulai mengalir. Namun pandangannya tak beralih dariku sama sekali, lama kelamaan aku kewalahan sendiri menyembunyikan salah tingkahku.

Seketika ia menghentikan obrolannya manakala terdengar dering HP yang kelihatannya berasal dari tasku. Mulai ku aduk-aduk isi tasku untuk menemukan benda tersebut. Kupandangi layarnya dan kupencet tombol jawab. Sembari menerima telepon aku sengaja tak beranjak dari tempat dudukku. Sekitar lima menit aku mengobrol dengan seseorang di telepon, sesekali sambil kuamati ia yang dihadapanku. Sama sekali ia tak menatapku kali ini, ia subuk menikmati pemandangan ataupun orang-orang di sekitar sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Setelah kuputus sambungan teleponku kembali ia menatapku dengan tersenyum. Obrolan kembali mengalir diantara aku dan ia, dan benar-benar ia tak menyinggung sedikitpun obrolanku dengan seseorang di telepon tadi. Aku paham, lagi-lagi ia menjaga perasaanku dan privasiku.

Hidangan di atas meja bambu sudah tidak menyisakan apapun kecuali piring, sendok dan gelas kosong. Aku tak enak mengajaknya pulang terlebih dahulu, jadilah aku hanya diam. Tak lama kemudian ia mengajakku pulang karena hari memang sudah malam. Bersamaan kita meninggalkan tempat yang kita duduki. Setelah ke meja kasir ia sengaja menoleh kearahku, tapi aku tidak mengiringi langkahnya, aku tetap berjalan dibelakangnya.

Ketika dipintu keluar ia berhenti, begitupula denganku kuhentikan kakiku. Ia menoleh kebelakang dan menghampiriku, ia utarakan terimakasih kepadaku dan kujawab dengan sama-sama. Karena aku dan ia mengendarai kendaraan sendiri-sendiri, maka kita berpisah di tempat ini.

“Aku pulang dulu ya?” katanya.

“Iya” aku menganggukkan kepalaku.

“Hati-hati dijalan. . . . ” lanjutnya, aku jawab hanya dengan anggukan kepala.

Ia tampak ragu meninggalkanku terlebih dahulu. Beberapa langkah ia sudah meninggalkanku, tapi ia kembali lagi. Wajahnya agak berubah kemudian ia katakan “kau benar-benar tak dapat menerimaku? Aku tak bisa menghilangkan perasaanku padamu, bahkan mengalihkannyapun aku tak bisa”.

Tak kusangka ia berani mengatakannya secara langsung dengan sifatnya yang sangat pemalu. Aku mulai gelagapan, kutundukkan wajahku. Aku percaya dengan perkataannya bahwa inilah pertama kali ia jatuh cinta. Aku percaya dengan perkataannya bahwa selama ini ia tidak pernah mendekati wanita lain. Aku percaya dengan perkataanya bahwa ia sudah memendam perasaannya lebih dari satu tahun. Aku percaya ia benar-benar mencintaiku. Aku sangat percaya dengan ketulusannya.

Saat ini, sudah hampir satu tahun semenjak pertama kali ia utarakan perasaannya kepadaku dan langsung kukatakan tidak. Tak ada kata marah waktu itu, ia sangat menerima dengan keputusanku, bahkan ia sampaikan terimakasih. Namun sejak saat itu, ia yang sama sekali tak pernah menghubungiku jadi lebih sering mengisi hari-hariku denga pesan-pesan singkat, kata-kata romantis, dan obrolan-obrolan di telepon.

Hari ini, tepat dihadapanku kembali ia utarakan tentang perasaannya. Masih nenunduk aku gelengkan kepalaku “maaf” aku berkata lirih. Kutatap parasnya, ia juga menunduk.

*******

Aku sedang berbenah di depan cermin besar yang terletak di salah satu sisi kamarku. Tiba-tiba terdengar ada yang membuka pintu kamarku, kuamati lewat cermin dan kusinggungkan senyum termanisku.

Seseorang menghampiriku, kudiamkan dengan tetap bercermin. Ia berdiri dibelakangku, tersenyum padaku melalui cermin. Aku berdiri untuk mengimbanginya, kemudian ia mencium keningku “Ayo sayang kita berangkat. . . . ”. Aku mengangguk dan meraih tas, kemudian ia menggenggam tanganku dan menuju keluar.

Ternyata pagi ini sangat cerah, kutatap wajah suamiku yang masih menggenggam tanganku, ia tersenyum. Sudah kira-kira lima tahun ini semenjak pertamakali ia mengutarakan perasaannya kepadaku, dan 6 bulan yang lalu aku telah menikah dengannya. Kini setiap hari ia utarakan perasaannya, dan akupun sangat mencintainya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun