Mohon tunggu...
Dina Y. Sulaeman
Dina Y. Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis, doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies www.ic-mes.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keseksian Iran

14 Mei 2013   09:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pilpres Iran beberapa pekan lagi, tiba-tiba di FB muncul link soal Iran, yang merujuk ke sebuah artikel di Kompasiana berjudul provokatif Sedang Berada di Negara Islam, Tapi Pak Dahlan Iskan Tidak Bisa Jumatan?? Artikel itu mengutip beberapa bagian dari catatan perjalanan Dahlan Iskan ke Iran. Ada 3 poin yang dikutip si Kompasianer: soal sholat Jumat (ceritanya, saat pak DI tiba di Bandara Internasional Imam Khomeini, waktu sholat Jumat sudah tiba. Pak DI pingin Jumatan, tapi tidak ada masjid di bandara yang menyelenggarakan sholat Jumat, karena di Teheran, Jumatan cuma diselenggarakan di Universitas Tehran, sekitar 2 jam dari bandara), soal hijab perempuan Iran (ada yang rambutnya kliatan), dan soal adanya Coca Cola di Iran. Tiga cerita itu dikutip dalam konteks menyindir: kok di negara Islam begitu ya..?? Mungkin berkat link di FB itu pula, hanya dalam sehari (padahal itu artikel lama, 12 September 2012), pembacanya langsung melonjak jadi 6000-an (kemarin saat saya kasih komen di artikel itu, masih 4000-an). Iran sepertinya memang negara seksi, banyak dipuji, banyak dicaci, tapi berita soal Iran terus dicari. Menanggapi artikel itu, saya memberikan tanggapan berikut:

Salam. Saya pernah tinggal di Iran 8 th (1999-2007), bekerja sebagai jurnalis di IRIB. Perkara sholat Jumat, di Iran memang sholat Jumat dianggap sebagai upaya konsolidasi politik. Jadi, di satu kota, sholat Jumat akan dipusatkan di satu tempat. Artinya, masjid tak mungkin menampung. Di Teheran, shaf sholat Jumat panjangnya berkilo-kilo meter, pusatnya di sebuah halaman luas Universitas Teheran, lalu meluber ke jalanan di sekelilingnya. Khutbah yang disampaikan pun isinya selain masalah akhlak, juga masalah politik terkait isu-isu aktual. [Di Teheran, warga Sunni bisa Jumatan di Pakistan School atau orang Indonesia bisa Jumatan di embassy] Terkait baju, perempuan di Iran apapun agama dan bangsanya (termasuk turis asing yang Iran), wajib berjilbab. Namun, model jilbab yang dipakai akan sesuai dengan kesalehan masing-masing. Ada yang berjilbab dg serius karena menyadari itu kewajiban, ada yang juga yang asal-asalan, yang penting ada kerudung nempel di kepala. Tidak seperti yang diberitakan media Barat :”ada sikap reprsif pemerintah”, yang ditulis pak Dahlan justru bukti bhw pemerintah memang tdk represif. Paling-paling secara berkala diturunkan polisi2 wanita utk menasehati perempuan di jalan2 yg jilbabnya ga bener (tdk ditangkap atau direpresi). Soal Coca-Cola dll minuman itu, memang benar ada. Tapi saya sudah tanya ke org Iran, ada yg bilang itu merek palsu (dibikin2 saja oleh org Iran, kan org Iran tdk mengikatkan diri ke aturan WTO), ada juga yg bilang asli. Wallahu a’lam. Yang jelas, orang Iran itu umumnya sangat sadar politik: yang mereka benci dan tentang adalah politik dan elit AS yang secara politis sudah menzalimi mereka. Tapi, org AS/Barat sebagai individu tetap mrk hormati. Karena itulah saya menemukan org2 AS studi di Iran (salah seorangnya dulu tetangga saya), dan banyak turis-turis bule yg datang ke Iran. Sekalian info deh, saya sudah menuliskan pengalaman saya itu di buku berjudul Journey to Iran.

Lalu, lewat inbox FB, malah ada yang menanggapi komen saya itu, nanya-nanya soal Syiah. Saya jawab,

Saya ini bukan ahli masalah agama, jadi saya tidak bisa komen banyak soal Sunni-Syiah. Tapi, saya penulis dan analis yang consern di politik Timur Tengah, jadi mau tak mau saya mengamati masalah Iran. Apalagi saya lama tinggal di sana, karena itulah saya tahu banyak ttg Iran dan 'bersuara' ketika ada pemberitaan yang janggal. Sama saja, orang Indonesia yang tinggal di Jepang, AS, atau Jerman, kan sering juga menulis berbagai hal positif dalam kehidupan di sana.

Begitulah, kalau orang bicara yang positif tentang Iran, atau sekedar meluruskan berita, konotasinya langsung ke Sunni-Syiah. Heran. Mengapa kalau orang bicara yang bagus-bagus soal Jepang kok tidak dikatai membela agama Shinto ya? Anyway, saya ingin cerita soal pilpres Iran (karena saya mampu mengakses berita berbahasa Persia). Semua orang di Iran berhak untuk mencalonkan diri jadi presiden, asal warga negara asli Iran dan minimalnya 10 tahun terakhir berdomisili di Iran, usianya di atas 18 tahun, dan berpendidikan minimal SMP. Jadi, nggak heran kalau yang daftar itu ratusan orang. Apalagi, nggak pakai duit atau harus ada dukungan parpol. (Tapi kalau mendaftar untuk jadi anggota DPR, minimal harus S2, atau S1 tapi punya pengalaman kerja profesional; kerja di sini konotasinya adalah 'kerja' bukan bukan artis kayak di Indonesia yang rame-rama nyaleg). Nah, ini nih foto-foto suasana pendaftaran calon presiden Iran (Mei 2013), sumbernya di sini (berbahasa Persia): [caption id="" align="aligncenter" width="339"] ini gedung tempat pendaftaran calon presiden[/caption]

Lalu, tentu saja, para pendaftar itu akan di-screening oleh KPU-nya Iran (istilahnya: Syura-ye Negahban). Ada ujian tertulis juga lho. Bisa dipastikan yang lolos tentu saja kandidat-kandidat yang sudah lama malang-melintang dalam dunia politik atau profesional Iran. Nah, setelah lolos screening dan jadi kandidat resmi, barulah mereka berkampanye. Enam stasiun TV di Iran memberikan kesempatan gratis untuk para capres berkampanye. Jadi, capres yang miskin pun tetap bisa kampanye, dan porsi kampanye tiap capres akan sama rata. Peran Istri Politisi Iran Biasanya 'seksi' berkonotasi dengan perempuan. Tapi saya tidak bermaksud membicarakan itu. Ini hanya menjawab pertanyaan seorang teman: istri-istri presiden Iran itu kok tidak banyak diekspos ya? Sebenarnya sih kalau di koran-koran lokal Iran ya banyak juga. Antara lain inilah istri para kandidat presiden dalam Pilpres Iran 2013; sumbernya dari sini (berbahasa Inggris). [caption id="" align="aligncenter" width="367"] Dr Hamideh Moravej; istri dari Dr. Aref, (Wapres Iran sekarang), dia hadir dalam konferensi pers suaminya yang mencalonkan diri sbg presiden[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="414"] Tahereh Nazari, seorang dokter, istri dari Dr. Manucher Mottaki (mantan Menlu Iran); dia pernah menjabat sebagi Dirjen Urusan Perempuan dan HAM di Kemenlu Iran[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="416"] Zahra Moshir, istri Dr Mohammad Qalibaf. Qalibaf adalah walikota Tehran sekarang dan istrinya menjabat sebagai Dirjen Urusan Perempuan di kantor Walikota Tehran. Qalibaf pernah ditanyai mahasiswa soal gaji istrinya dan menjawab bahwa itu adalah kerja sosial dan istrinya sama sekali tidak digaji utk pekerjaan itu.[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun