Mohon tunggu...
Dina Y. Sulaeman
Dina Y. Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis, doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies www.ic-mes.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa Amerika?

3 November 2011   23:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Dina Y. Sulaeman*


Sejak bulan September, gelombang demonstrasi mulai melanda kota-kota di AS di bawah bendera ‘Occupy Wall Street’ (Duduki Wall Street). Pada demonstran menyuarakan protes mereka kepada Wall Street yang mereka anggap sudah sangat rakus. Dalam hitung-hitungan para demonstran itu, dari seluruh kekayaan AS, 40%-nya dikuasai oleh 1% saja, yaitu pengusaha-penguasaha elit. Sementara, 60% sisanya, harus dibagi-bagi di antara 99% rakyat AS. Itulah sebabnya, di antara spanduk-spanduk yang dibawa para demonstran banyak yang bertuliskan “We’re the 99%”. Mereka memrotes sistem kapitalisme yang memberikan peluang bagi 1% orang untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, dan membiarkan 99% orang lain hidup menderita.


Situs resmi OWS menyatakan bahwa gerakan mereka adalah tanpa pemimpin (leaderless) dan menggunakan taktik gerakan ‘musim semi Arab' (Arab Spring). Namun, ada pertanyaan krusial yang belum pernah dikemukakan oleh para penggagas OWS, siapa sebenarnya yang mereka protes? Mereka menyebut kapitalisme dan Wall Street? Lalu apa itu kapitalisme? Ideologi-kah, atau ada ‘sosok manusia'-nya sehingga bisa digulingkan?


Tidak ada kesepakatan dalam mendefinisikan kapitalisme. Sebuah film dokumenter yang disutradarai Michael Moore, Capitalism, A Love Story dengan jenaka membuktikan bahwa orang-orang Wall Street sekalipun (pelaku proyek kapitalisme), kebingungan saat disuruh mendeskripsikan apa itu kapitalisme. Secara umum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal (capital) untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Dalam sistem kapitalisme, semua benda yang ada di alam ini berhak untuk dikuasai oleh manusia, selama dia punya uang (modal/capital). Contohnya, minyak yang ada di dalam perut bumi. Menurut para kapitalis, karena mereka yang punya uang dan teknologi untuk menyedot minyak itu, mereka pun berhak menguasai minyak itu dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak heran bila ada konglomerat super-super kaya karena jualan minyak.


Sebaliknya, dalam pandangan ekonomi non-kapitalis, kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh pemerintah dan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama semua elemen masyarakat. Tentu saja, bukan berarti minyak itu harus dibagi-bagi sama rata ke semua orang; bukan berarti pula pemerintah berhak untuk berfoya-foya dengan minyak itu. Mekanisme yang adil penting untuk ditegakkan.


Dalam sistem kapitalisme, ‘mekanisme yang adil' ini sulit ditegakkan karena keadilan selalu dilihat dari seberapa banyak modal yang dimiliki. Seorang kapitalis (pemilik modal), akan dianggap ‘adil' ketika mengeruk minyak dari perut bumi dan menjualnya. Alasannya: karena dia punya modal, berhak dong dapat uang? Seorang pemilik pabrik dianggap ‘adil' menggaji buruhnya hanya dengan Rp20.000 sehari, sementara dia bergelimang laba yang amat sangat besar. Logika kapitalisme: siapa suruh ga punya modal? Kemiskinan kalian itu adalah salah kalian sendiri!


Selain itu, para kapitalis ini, dengan uang raksasa yang dimilikinya, mampu mengupayakan agar orang-orang tertentu terpilih menjadi pemerintah. Misalnya saja, yang terjadi di ‘Embah' kapitalisme dunia, AS. Setiap calon presiden harus memiliki uang yang sangat besar untuk kampanye. Obama berhasil mengumpulkan 750 juta dollar dari para ‘donatur', sehingga ia dengan leluasa beriklan di media massa, kampanye keliling AS, menggalang massa di jejaring sosial, dll. Bisa dibayangkan, orang-orang yang tak punya uang sulit bersaing dengan Obama. Hillary Clinton yang ‘hanya' mampu mengumpulkan 230 juta dollar, akhirnya menyerah kalah, mundur dari kandidat kepresidenan dan bergabung dengan kubu Obama.


Ketika Obama menjadi presiden, krisis finansial memburuk. Perusahaan-perusahaan raksasa ambruk. Obama pun mengambil keputusan bahwa pemerintah akan menalangi kerugian perusahaan-perusahaan itu; yang sebagiannya adalah donatur kampanyenya.


Mari kita kembali kepada gerakan Occupy Wall Street (OWS). Tidak ada nama yang ‘dituntut' oleh para demonstran itu. Mereka hanya berteriak-teriak memrotes kapitalisme dan Wall Street. Tapi, siapa itu Wall Street? Hakikinya Wall Street adalah sosok yang tak berbentuk, abstrak. Ada, tapi tak bisa didefinisikan siapa orangnya, atau bossnya, atau bahkan manajemennya. Bahkan kalau ada yang berusaha mendefinisikannya, pastilah akan segera menerima ejekan, "Senang amat sih, memakai teori konspirasi?!" Artinya, tidak ada pejabat yang hendak digulingkan oleh OWS. Berbeda dengan ketika rakyat Mesir berdemo, mereka memang punya ‘nama' untuk digulingkan, yaitu Hosni Mobarak.


Wall Street adalah nama jalan di daerah Manhattan, New York. Banyak perusahaan pialang saham, bank, dan berbagai perusahaan finansial lain berkantor di Wall Street dan sekitarnya. Wall Street kemudian menjadi istilah yang sinonim dengan ‘kapitalisme'. Perusahaan-perusahaan yang berkantor di kawasan itu adalah perusahaan-perusahaan raksasa dan sangat kaya, sehingga mereka mampu memengaruhi dan mengontrol keuangan di AS dan dunia.


Pada tahun 2008, perusahaan-perusahaan besar di Wall Street bertumbangan akibat kerakusan dan kelicikan mereka sendiri dalam berbisnis. Tentu saja, para elit perusahaan tetap untung dan hidup mewah. Yang tumbang hanya pegawai-pegawai kecil yang kehilangan pekerjaan. Pemerintahan AS atas saran-saran para ekonomnya (yang ternyata juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang bangkrut itu) memutuskan untuk mengucurkan ratusan milyar dolar untuk menalangi kerugian perusahaan-perusahaan itu. Yang menjadi korban sesungguhnya tentu saja rakyat AS kebanyakan: mereka bekerja keras mencari uang lalu membayar pajak; uang pajak itulah yang dipakai untuk menalangi Wall Street. Subsidi dan fasilitas kesejahteraan sosial rakyat AS pun dipangkas, karena uangnya habis untuk melindungi para kapitalis itu dari kerugian. Dari sisi keadilan, kebijakan talangan (bailout) ini sungguh absurd: bagaimana mungkin, ada pebisnis yang bangkrut akibat kesalahannya sendiri, lalu rakyat yang disuruh menalangi? Tapi inilah kapitalisme. Logika mereka: kalau pebisnis sampai hancur, rakyat juga yang akan menanggung akibatnya karena perekonomian mandek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun