Mohon tunggu...
Dina Sahmin
Dina Sahmin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

dreamer, beginner

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bubye Sara

22 Maret 2015   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya iseng membuka twitter, yah walaupun follower saya tidak sebanyak akun yang saya follow :D. Mmmmm...ada hal yang menarik pandangan saya, akun seorang pengamat politik yang sering sekali muncul dilayar kaca. Saya tidak mengenalnya memang, namun saya pernah bertemu dengannya di pusat perbelanjaan di daerah Senayan, saya tersenyum dan dia membalas senyuman saya. Senang sekali, karena idola saya membalas senyum saya.

Dia memang minoritas, mungkin sama seperti saya di kampung halaman saya. Saat kecil, saya dan kakak adik saya bahkan sempat dilarang main keluar rumah, kami di sekolahkan di kota padahal di desa tempat tinggal saya ada sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, alasannya karena orang tua saya terutama Ayah saya tidak ingin kami diejek sebagai minoritas. Ibu saya pendatang, sementara Ayah saya penduduk asli disitu. Tapi tetap saja, kami menjadi bulan- bulanan mereka. Tidak hanya orang dewasa yang mengolok- olok kami, bahkan anak yang umurnya dibawah saya saja ikut- ikutan mengolok- olok kami. Padahal katanya kami satu desa itu masih bersaudara, masa saudara mengejek saudaranya sendiri?

Saya tinggal di desa yang masih sangat kental unsur adat istiadatnya, dimana saat menikah dengan Ayah saya, Ibu saya sudah masuk ke dalam adat. Jadi Ibu saya seharusnya sudah sama dengan penduduk lokal, dan sudah seharusnya juga diskriminasi itu tidak ada. Olokan mereka begitu melekat diingatan saya, saya masih ingat siapa saja yang sering mengejek saya dengan menyebut saya anak suku A. Saya masih mengingat siapa saja orang- orang yang dulu sering mengolok- olok saya, akibatnya sampai saat ini saya membenci mereka. Salah kalau kemarin saya sempat membenci mereka?

Sebagai minoritas, saya dipaksa Ayah saya untuk tidak mempedulikan olokan mereka. Saya diminta untuk ikut semua kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, di ikut sertakan dalam les bahasa asing atau les tambahan di tempat bimbingan belajar, sebisa mungkin saya menghabiskan waktu diluar rumah agar saya tidak bertemu dengan mereka yang suka mengolok saya tersebut. Capek? Pasti. Akibatnya, saya jadi kuper di kampung saya sendiri. Bahkan saat saya mendapat undangan CPNS (Ayah saya sangat ingin saya jadi PNS), orang- orang dikampung saya tidak mengenal siapa saya, tidak tahu nama saya. Akhirnya pihak kantor pos menelepon Ayah saya, dan mengantarkan undangan ke rumah. Tragis....

Lebih tragisnya lagi, adik laki- laki saya pernah ditolak oleh orang tua gadis idamannya dengan alasan Ibu saya berasal dari kaum minoritas. Menurutnya, karena Ibu saya berasal dari suku minoritas, tidak punya saudara di situ. Mungkin dia takut anaknya hidup kekurangan karena tidak punya saudara, maklum sistem kekerabatan di desa masih sangat terasa dibandingkan dengan di kota.

Masa- masa dimana hanya suku atau agama tertentu yang menjadi mayoritas bisa membully suku atau agama lain sudah lewat, sudah berlalu. Mari kita kembali mengingat Martin Luther King Jr atau Nelson Mandela.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun