Sejak 7 bulan lalu saya yang sebelumnya bekerja dikawasan elit Jakarta harus pindah kerja ke kawasan yang yahh..mungkin termasuk salah satu kawasan kumuh Jakarta. Jika sebelumnya saya tidak perlu repot- repot saat hujan turun, sekarang saya harus turut merasakan banjir Jakarta yang sampai sepinggang orang dewasa. Bahkan saya sampai terperosok jatuh ke got, padahal sebelumnya saat melewati got itu saya harus menutup hidung karena baunya yang begitu menyengat. Roda memang berputar, tidak selamanya saya bisa ada ditempat yang saya inginkan.
Sebenarnya apa yang saya lihat saat ini, saya lihat hampir setiap hari, karena setiap hari kerja saya melewati jalan ini, namun entah mengapa saat ini Bapak penjual minuman yang berada di depan pusat perbelanjaan ini begitu menarik perhatian saya. Tidak banyak yang bisa saya sampaikan, karena memang saya tidak mengenalnya. Saya hanya kasihan melihatnya, saat pedagang lain sibuk melayani pembeli, dia hanya bisa melihat kesibukan orang lain. Sesekali dia melihat kearah sesama pedagang , melihat dengan penuh rasa memelas, karena minumannya tidak ada yang membeli. Melihat raut wajah lelahnya, mungkin saja hari ini dia belum sempat istirahat atau makan, sedih melihat barang dagangannya belum (tidak tega untuk bilang tidak) ada yang membeli. Sayang saya tidak bisa membeli minumannya, karena saya sedang berada di busway yang kebetulan sedang berhenti karena terhalang kendaraan lain yang masuk ke jalurnya.
Minuman yang dijualnya pun tidak terlalu banyak, hanya ada air mineral yang merknya sangat terkenal itu dan beberapa gelas teh atau kopi dalam kemasan. Saya pernah beberapa kali membeli minuman yang dijual Bapak tersebut, dan harganya hanya berbeda seribu rupiah dari harga yang tertera di supermarket. Jika dilihat dari barang yang dijualnya, analisa saya, keuntungan yang diperoleh Bapak itu sekitar sepuluh sampai dua puluh ribu rupiah perhari, itu pun tidak setiap hari dia bisa memperoleh keuntungan itu. Saya membayangkan, dengan uang sebesar itu, dia harus menghidupi paling tidak dirinya sendiri. Dengan besarnya biaya hidup yang harus dikeluarkannya setiap hari, saya tidak bisa membayangkan makanan atau minuman apa yang setiap hari dia makan. Belum lagi biaya sandang dan papan yang harus dia keluarkan, sungguh saya merasa sangat sedih jika membayangkan beratnya hidup yang harus dijalaninya.
Ahhhh saya memang suka terlalu terbawa perasaan, sampai- sampai saya tidak menyadari kalau busway yang saya naiki sudah hampir sampai dipemberhentian terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H