Siang itu ada empat pelajaran dikelas, Naila mengikuti semuanya dengan baik meskipun pikirannya tidak pernah lepas dari masalah uang 300 ribu tersebut. Ia bingung apakah akan mengatakannya lagi pada orangtuanya atau tidak, Naila tidak tega tetapi ia juga tidak punya pilihan lain. Saat tiba jam istirahat, topik pembicaraan anak satu sekolah ternyata masih mengenai pembayaran itu.Â
Bebrapa teman dekat Naila ternyata dalam keadaan yang sama dengannya, belum membayar sama sekali dan ada yang belum bisa melunasi. Semunya dalam perasaan ketakutan tidak bisa mengikuti ujian. Entah bagaimana pembicaraan siang itu menjadi lebih haru, Naila dan dua teman dekatnya duduk di lantai belakang kelas.Â
Bergantian mereka hanya bercerita tentang kesulitan keluarganya masing-masing. Ya, kedua teman Naila tersebut kondisi perekonomian keluarganya tak jauh berbeda dengan Naila. Pembicaraan mereka semakin larut dalam kesedihan, ketiganya takut tidak bisa mengikuti ujian. Tentu akan sia-sia saja mereka mempersiapkan dari jauh-jauh hari untuk belajar.
Naila menahan air matanya yang sudah tergantung diujung mata, sekali saja ia berkedip maka akan jatuh membasahi pipinya. Tetapi kedua teman Naila tak kuasa lagi menahan harunya hingga meneteskan air mata, Naila merangkul dan mencoba menenangkan dua sahabatnya itu, juga menenangkan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya mereka bertiga larut dalam haru dan disergap kehawatiran. Sesekali pikiran Naila jauh menerawang, dari mana ia harus mendapatkan uang 300 ribu rupiah itu dalam waktu satu minggu.
Hari demi hari dilalui Naila dengan perasaan takut dan cemas, ia bingung tapi juga tidak bisa melakukan apa-apa. Lima hari sudah berlalu, uang yang harus segera dibayarkan tidak juga ada di tangan. Naila tentu saja sudah menanyakan  kembali uang itu pada sang ibu dengan berat hati, namun apa boleh buat, memang sudah 2 minggu ini ayah Naila tidak mengirimkan uang pada mereka. Naila pasrah, hari senin esok biarlah memeberikan jawaban akan nasibnya nanti.
Pagi-pagi sekali seperti biasa Naila sudah bangun dan berpakaian rapih. Ya, ini hari senin dimana Naila akan memulai hari pertama ujian akhir semesternya di kelas tiga. Pagi ini ibu Naila tidak pergi ke ladang, Naila sudah meminta ibunya untuk datang ke sekolah. Pihak sekolah ternyata memberikan keringanan pada siswa yang masih memliki tunggakan, mereka diizinkan ikut ujian dengan catatan tenggang waktu dan mewajibkan orangtua wali menghadap kebagian kemahasiswaan. Ini sebagai syarat untuk pengambilan kartu ujian.
Sebetulnya Naila tak tega melihat raut wajah ibunya, nampak sekali raut cemas pada wajah itu. Tetapi tak ada pilihan lain, Naila menguatkan hatinya lagi dan lagi.Â
Pagi itu Naila memutuskan pergi ke sekolah dengan ojek, kasihan jika ibunya yang sudah sepuh harus berjalan kaki cukup jauh. Hanya butuh waktu 7 menit untuk sampai di sekolah jika ditempuh dengan kendaraan. Tidak biasanya pagi-pagi sekali sudah sekolah sudah ramai. Rupanya ada beberapa orangtua juga yang datang hari itu, tentu saja anak-anak yang bernasib sama seperti Naila.
Naila bergegas mengantarkan sang ibu kedepan ruangan kemahasiswaan, hanya orangtua yang boleh masuk. Naila memutuskan pergi ke kelas menyimpan tas bawaannya, ia juga harus mencari nomor bangkunya, saat ujian memang diharuskan duduk berdasarkan nomor absen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H