Mohon tunggu...
Dinar Rahaju Pudjiastuty
Dinar Rahaju Pudjiastuty Mohon Tunggu... Lainnya - menulis fiksi dan non fiksi

Beberapa karya fiksi berbentuk cerita pendek bisa dilihat di berbagai koran. Menerjemahkan. Menulis non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hendak Kemana Sistem Kesehatan Kita?

15 Maret 2024   10:52 Diperbarui: 15 Maret 2024   10:55 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mengenai Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP), Pasal 264 ayat (1) sampai ayat (6). Menyatakan bahwa STR diterbitkan Konsil atas nama Menkes dan berlaku seumur hidup, dan SIP diberikan oleh Pemda atau Menkes pada kondisi tertentu tanpa memerlukan rekomendasi organisasi profesi. Sebelumnya untuk mendapatkan SIP, seorang dokter harus mendapatkan rekomendasi dari IDI di Pasal 38 UU No. 29 Tahun 2004. Sementara pemerintah melihatnya sebagai penyederhanaan perijinan bagi dokter dan dokter spesialis sehingga memudahkan dokter untuk berpraktik (semakin banyak dokter dan dokter spesialis berpraktik, semakin besar rasio dokter terhadap jumlah penduduk dan target rasio ideal akan semakin cepat tercapai), tetapi di sisi lain, ada pendapat bahwa hal ini meminggirkan/mengecilkan peran organisasi profesi padahal organisasi profesi IDI selama ini berperan sebagai mitra pemerintah dalam hal kesehatan. Antara lain untuk mengatasi kurangnya akses ke layanan primer (puskesmas), kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit (RS), SDM kesehatan yang masih kurang dan tidak merata.

Hal lain yang tampaknya menjadi kekhawatiran para tenaga medis dan tenaga kesehatan Pasal 440 UU Kesehatan, isinya berkenaan bahwa tenaga medis atau tenaga kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari Majelis. Pasal ini memungkinkan pasien untuk mengadukan tenaga medis atau tenaga kesehatan bila diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam melaksanakan layanan kesehatan dan dapat dikenai sangksi pidana dengan terlebih dahulu diputuskan oleh Majelis apakah tindakan tersebut masuk ke dalam 'kelalaian'. Hal ini belum mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum khususnya bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Wahyu Andrianto, seorang Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam tulisannya mengenai UU Kesehatan ini, mengusulkan semacam Badan Peradilan Khusus Profesi Medis dan Kesehatan dengan Sumber Daya Manusia dan regulasi yang mampu memilah, memahami serta menganalisis aspek hukum bagi profesi medis, agar tidak tumpang tindih dengan aspek disiplin maupun aspek etika. Pembentukan "Badan Peradilan Khusus" ini wajib mendasarkan pada Undang-Undang. Hakim-hakimnya dapat berasal dari unsur-unsur yang berlatar belakang hukum dan non hukum.

Tentu dalam tulisan ini tidak semua masalah implementasi dan usulan pelaksanaan UU Kesehatan bisa terbahas di sini. Tulisan-tulisan di atas pun masihlah berupa sapuan-sapuan sketsa yang memerlukan penjabaran lebih mendalam, tetapi dalam kaitannya dengan penerbitan UU Kesehatan dalam rangka mereformasi sistem kesehatan Indonesia, maka dalam implementasinya, Pemerintah harus melihat ini sebagai gambaran besar yang mencakup reformasi pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk mencapai rasio ideal antara tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan jumlah rakyat Indonesia, tidak hanya itu, sebaran tenaga medis dan tenaga kesehatan pun tidak lagi melimpah hanya di bagian negara tertentu saja, melainkan kelimpahan ini bisa mencapai seluruh pelosok Indonesia.

Belajar dari pandemik yang baru lewat, tentunya riset untuk vaksin, pengobatan garda depan, dukungan produksi alat kesehatan yang memadai dan sediaan farmasi, dan pengembangan teknologi harus sudah disiapkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk seperi pandemik berikutnya, sistem informasi kesehatan yang terintegrasi, dan kewenangan penuh dikembalikan kepada Pemerintah untuk segala regulasi terkait kesehatan.

Untuk mencapai tujuan pertahanan kesehatan untuk semua, walau bertabrakan dan penuh wacana tetapi strategi yang diambil adalah pemikiran untuk kemaslahatan bersama, melalui kaum bijak bestari yang ahli di bidang masing-masing, masyarakat urun rembug dan pemerintah harus arif bijaksana mendengarkan suara-suara ini.

Sekali lagi, hukum yang ada haruslah memiliki nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Bagaimanapun implementasi dan strategi yang dipilih, sekali lagi selaku pemegang kartu BPJS, kami selalu berdoa bahwa implikasinya bagi kami adalah iuran BPJS tidak naik, fasilitas kesehatan yang sudah ada akan lebih baik dan lebih murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun