Mohon tunggu...
Dinar Dwi Prasetyo
Dinar Dwi Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti di Bidang Sosial Ekonomi -

sedang melawan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saipul Jamil, Isu LGBT, dan Sanksi yang Mengancamnya

20 Februari 2016   11:24 Diperbarui: 24 Februari 2016   18:21 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Miris memang melihat kasus pedangdut Saipul Jamil. Di depan kamera, Ipul (begitu dia akrab disapa) seolah seperti casanova, dikelilingi banyak wanita. Saya masih ingat bagaimana dia mengumbar mesra bersama Dewi Persik dan almarhumah Virginia, para mantan istrinya. Juga bagaimana dia merayu Rina Nose untuk menjadi istri selanjutnya. Kemarin lusa, Ipul ditangkap dan dimasukkan ke tahanan karena mencabuli seorang pria remaja.

"Pria" dan "remaja", dua hal dalam diri korban ini yang tentunya membawa konsekuensi besar terhadap Ipul ke depannya baik secara sosial maupun secara hukum. Mari kita lihat dari sisi sosial terlebih dahulu.

Isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) belakangan sangat kencang berhembus. Dipicu oleh munculnya sharing group di Universitas Indonesia, penyedia berita kita seolah tidak hentinya mengekspos isu "penyimpangan" orientasi seksual ini. Tidak heran, isu LGBT menjadi konsumsi publik utama hari ini. Publik yang sebelumnya diam, sampai mungkin sekarang muak karena terlalu kenyang. Pemerintah pun bereaksi, mulai dari memberikan statement, hingga saat ini dengar-dengar hendak membentuk tim khusus untuk permasalahan LGBT di Indonesia ini.

Bagi Ipul, semakin masyarakat sadar (bukan paham) maka semakin berat sanksi sosial yang akan diterimanya. Saat masyarakat mulai dihadapkan dengan maraknya fenomena "penyimpangan" tersebut, Ipul seorang figur publik yang mencitrakan dirinya religius dan "normal", malah menjadi pelaku. Berbeda dengan kasus narkoba yang sudah masyarakat pahami penyebab, konsekuensi, serta bahayanya, homoseksualitas hanya diketahui sebagian besar masyarakat sebagai hal yang menjijikan dan dosa yang besar. Maka sangat wajar jika figur Ipul juga akan dianggap menjijikan oleh sebagian masyarakat nantinya.

Secara hukum, walaupun praktek homoseksualitas tidak diatur dalam undang-undang, maupun dalam KUHP. Usia korban yang ternyata masih 17 tahun mengancam Ipul dalam jeratan sanksi tertulis.

Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) No. 23 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi UU PA No. 35 Tahun 2014 mendefinisikan bahwa anak adalah seeorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam UU PA, apa yang dilakukan Ipul dapat disebut sebagai kejahatan seksual atau perbuatan cabul terhadap anak. Dalam Pasal 76E dikatakan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul." Ancaman hukumannya adalah minimum 5 tahun dan maksimum 15 tahun penjara serta denda paling banyak Rp5.000.000.000 (5 milyar rupiah).

Karena anak adalah subjek yang wajib dilindungi - sesuai semangat Konvensi Hak Anak Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990 -, sifat aturan dalam UU PA ini adalah delik biasa, bukan delik aduan. Jadi walaupun misalnya nanti si korban mencabut laporannya, Ipul tetap akan dijerat hukum. Berbeda halnya bila korban berusia di atas 18 tahun, Ipul mungkin masih bisa bebas karena tindakan asusila dalam KUHP merupakan delik aduan. Masih ada asas suka-sama-suka yang bisa menjadi alasan untuk proses hukum dihentikan.

Memang ke depannya, Ipul akan menghadapi sanksi yang cukup berat. Namun, secara pribadi saya cukup salut dengan sikap Ipul (berdasarkan keterangan kepolisian) yang mau mengakui perbuatannya serta ingin meminta maaf kepada masyarakat. Dengan begitu, dia sedikit bisa mengurangi beban sanksi sosial yang dihadapinya. Namun demikian, sanksi hukum harus tetap berjalan. Perlindungan terhadap anak tidak bisa ditawar dengan pernyataan maaf. Ini menjadi semacam efek jera bagi Ipul maupun pelaku kejahatan seksual terhadap anak di luar sana.

Terkait dengan "penyimpangan" orientasi seksualnya, keinginan Ipul untuk direhabilitasi juga patut diapresiasi. Namun demikian, Indonesia belum memiliki sarana rehabilitasi yang memadai bagi kelyompok yang oleh Kementerian Sosial dikategorikan sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ini. Tentunya, menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan sarana rehabilitasi khusus yang memadai bagi pengidap homoseksual ataupun phedophilia, sehingga pelaku bukan hanya jera, tetapi juga sembuh dari "penyimpangan" yang dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun