Perbudakan merupakan sebuah fenomena kemanusiaan yang sejarahnya dapat ditelusuri hingga ribuan tahun yang lalu. Berbagai peradaban di dunia masa lalu, mulai dari peradaban Persia, Amerika, hingga Hindia-Belanda, mengenal fenomena keji ini. Bahkan tanpa banyak disadari, praktik perbudakan masih terjadi hingga saat ini. Oleh banyak pihak, praktik perbudakan hari ini disebut sebagai perbudakan modern.
Namun demikian, definisi perbudakan modern berbeda dengan perbudakan konvensional. Perbudakan modern, dalam Indeks Perbudakan Dunia, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Perbudakan modern ini meliputi perdagangan manusia, pekerja paksa, kerja ijon, kawin paksa dan perbudakan seks komersial.
Fenomena perbudakan terjadi di berbagai sektor industri, mulai dari perikanan, pertanian, perkebunan, hingga jasa. Perbudakan terutama dialami oleh para pekerja informal dalam sektor-sektor tersebut. Pekerjaan informal memang tidak membutuhkan keterampilan atau keahlian tertentu, sehingga mudah bagi masyarakat miskin, yang biasanya hanya memiliki pendidikan rendah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.
Di Indonesia abad 21 ini, praktik perbudakan modern juga terjadi. Sementara itu, menurut hasil The Global Slavery Index (GSI) 2014 yang dirilis Walk Free Foundation menyebutkan perbudakan modern di Indonesia menempati peringkat kedua se-Asia Timur dengan korban 714.100 orang. Angka ini tersebar di berbagai bidang pekerjaan, mulai dari bidang kontruksi, pertanian, perkebunan, hingga pabrik dan konveksi pakaian.
Kelapa sawit sedang menjadi primadona penghasil devisa Indonesia. Menurut Sawit Watch, di tahun 2014, ekspansi perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 13,5 juta hektar dengan jumlah buruh mencapai lebih dari 7 juta orang. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sekitar 70 % merupakan buruh harian lepas. Di tengah keuntungan yang diterima negara, serta fenomena munculnya para pengusaha sawit sebagai orang terkaya di Indonesia, kondisi buruh perkebunan sawit justru menunjukkan hal yang sebaliknya.
Bapak X, seorang buruh perkebunan sawit (yang penulis temui di daerah Sanggau, Kalimantan Barat), mengaku awalnya diberangkatkan oleh agen penyalur dari desanya di Pandeglang ke lokasi perkebunan secara gratis. Sesampainya di sana, beliau hanya digaji sekitar Rp60.000 perhari dengan jam kerja yang melebihi standar 8 jam sehari. Beliau juga mengaku kondisi tempat tinggal, air, dan fasilitas sanitasi yang disediakan perusahaan sangat tidak layak. Dua anak yang dibawanya merantau sekarang tidak bersekolah karena ketiadaan fasilitas sekolah. Beliau diikat dua tahun kontrak dengan KTP sebagai jaminannya. Apabila mau memutus kontrak, beliau dipersilahkan untuk membiayai perjalanan pulangnya sendiri.
Kondisi yang dialami oleh Bapak X, kemungkinan besar dirasakan juga oleh buruh perkebunan sawit lain di Indonesia. Perbudakan modern di perkebunan sawit sudah terjadi dengan sangat sistematis. Dimulai dengan praktik rekrutmen, transportasi, dan transfer seseorang dari satu tempat ke tempat lain, perbudakan modern juga menggunakan kekerasan, ancaman, dan penipuan kepada korbannya. Praktik-praktik ini semakin menempatkan para buruh, dalam posisi sangat lemah tanpa daya tawar sedikitpun. Buruh perkebunan sawit menjadi sangat sulit untuk keluar dari sistem perbudakan ini.
Selain kemiskinan dan keterbatasan pilihan pekerjaan, minimnya perlindungan negara menjadi pemicu rentannya posisi buruh perkebunan sawit untuk dieksploitasi. Kekuasaan perusahaan perkebunan sawit terhadap perekonomian, perpolitikan, hingga birokrasi di negara ini semakin menyuburkan praktik perbudakan buruh perkebunan sawit. Padahal, pemerintah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan respon paling keras terhadap praktik perbudakan. Namun itu semua hanya di atas kertas tanpa ada tindakan tegas, sebagai akibat adanya praktik korupsi di kalangan pemerintah maupun penegak hukum.
Pemerintah Indonesia seharusnya dapat bertindak lebih tegas dan tidak koruptif terhadap fenomena perbudakan ini, bukan hanya industri sawit, tetapi juga untuk industri di sektor lain. Pemerintah bisa mencontoh Brazil yang membuat “Daftar Kotor” individu dan perusahaan di negaranya yang mengambil keuntungan dari sektor perbudakan. Atau dari Amerika Serikat yang mewajibkan setiap kontrak di atas 500.000 dolar untuk dilengkapi dengan pengujian sistem tenaga kerja bebas perbudakan.
Dibutuhkan satu niat politik yang tegas dari pemerintah untuk mengatasi masalah perbudakan ini. Dengan instrumen yang sudah tersedia, penegakan hukum terhadap perusahaan minyak sawit yang menerapkan praktik perbudakan merupakan hal utama yang perlu dilakukan. Di samping itu, praktik korupsi yang melibatkan oknum pemerintah, penegak hukum, dan perusahaan minyak kelapa sawit juga perlu diberantas. Lebih jauh lagi, mungkin pemerintah juga harus siap untuk berani mendobrak ketergantungan negara terhadap industri sawit dan beralih pada industri yang relatif tidak rawan dan lebih berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H