Besok jatuh pada tanggal 17 Agustus, 65 tahun setelah pendeklarasian kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Bertepatan dengan itu kemeriahan dan pernak-pernik merah putih pun telah mewarnai ruang di ibukota. Bahkan di kantor klien (asuransi milik salah satu Bank pemerintah), mereka merayakannya dengan sangat semarak. Kemarin saya terkejut melihat bahwa setiap divisi menghias workspace mereka dengan tema kemerdekaan, sampai-sampai ada yang membawa sepeda ontel lengkap dengan patung pejuang seukuran manusia dewasa yang dibuat dari kertas. Hari ini saya terkejut ketika mau masuk lift, ada orang yang diperban-perban dan mengalungkan bendera merah putih besar beserta bambu di punggungnya. Ternyata mereka juga mengadakan lomba kostum, dan hadiahnya motor serta jutaan rupiah lainnya, tidak heran mereka sangat antusias . *dan ini bukan rekayasa imajinasi saya, ini serius terjadi di kantor ini, silahkan datang dan saksikan sendiri jika tidak percaya* Euforia hari kemerdekaan ini membuat saya memikirkan tentang sosok “Pahlawan”. Sosok yang sering diperbincangkan terutama di bulan ke-8 (dan atau bulan ke-10). Mungkin karena di bulan ini sosok “Pahlawan” berulang tahun, sehingga banyak orang yang mengingat-ingat dan mengelu-elukannya. Sementara di bulan lain, sosok ini hanya akan berteman kertas, bermain di alam sejarah, diacuhkan oleh penerusnya yang sibuk dengan deadline dan segala urusan client engagement :p. Sosok “Pahlawan” yang lebih sakti dan modern juga muncul di pikiran, hasil rekaan fiksi, cerita-cerita heroic serta film-film buatan Hollywood. Sosok yang memiliki jiwa penolong akut, berkostum meriah yang kebetulan rajin nge-gym, sehingga memiliki profil yang sangat atletis. Tidak lupa dilengkapi dengan poni centil dan wajah yang luar biasa tampan. Mungkin juga karena itu mereka disebut pahlawan super, karena banyak nilai tambah baik dari segi penampilan dan peralatan jika dibandingkan dengan pahlawan nasional. Jadi ketika dunia ini kacau, negara ini diterpa masalah, kriminalitas merajalela, kita (atau saya) bisa berharap pada pertolongan mereka. Hahaha, utopis sekali, menunggu diselamatkan oleh sosok sempurna seorang penolong. Jika menyimak berita-berita, kita (atau saya) banyak mendengar tentang kekisruhan yang terjadi di negeri ini. Masalahnya sangat lengkap dan sampai ke berbagai aspek. Mulai dari skala rumahan seperti pemalsuan uang di masa-masa konsumtif menuju Lebaran, sampai dengan skala pejabat tinggi sekelas Kapolri yang memberi informasi tidak tepat pada publik dengan pernyataan kepemilikan atas bukti rekaman pembicaraan Ade Rahardja (salah satu deputi KPK) dengan Ari Muladi. Kesimpulannya, saat ini adalah saat yang paling tepat untuk menyalakan lampu Batman, berharap segalanya diselesaikan oleh pahlawan kaya raya itu. Oke, saya berlebihan, yah intinya kita (atau saya) berharap ada seseorang yang lebih pintar, lebih berkedudukan, lebih memiliki power, dan lebih segalanya untuk membereskan semua masalah ini untuk saya. Bukan, mungkin bukan Batman, anggap saja Panji Manusia Millenium *yeah, tahun 2000an sekali….* Hei, kalau kita menunggu superhero itu, kapan coba masalah bisa selesai? Superman dan Batman mungkin tidak akan mau tinggal di Jakarta, kota dengan tingkat inefisensi BBM yang sangat tinggi. Sekalinya pun mereka mau, pasti mereka terlambat menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkan pertolongan, kan macet, sama nasibnya dengan sebagian besar working class di Jakarta Raya. Iyah, superman bisa terbang, jadi tidak perlu berebutan ojek untuk bisa sampai tepat waktu, tapi bagaimana dengan Batman? Lagi-lagi berimajinasi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H