"nyet, tugas pragmatik udah dikerjain belom?"Â
"belom lah, njing."Â
Dua kalimat di atas baru saja keluar dari kedua mulut teman saya 8 jam yang lalu pada acara malam akrab yang diselenggarakan oleh anak-anak kelas nondik 4B. Apa yang terlintas dibenakmu setelah mendengarkan dua kalimat di atas?Â
Seperti yang bisa kita lihat, pada kalimat tersebut terdapat kata yang saya bold yaitu kata "nyet" dan "njing". Kedua kata itu merupakan singkatan dari "monyet" dan "anjing". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, monyet adalah primata yang memiliki ekor, ukuran lengan sama atau lebih pendek daripada ukuran kaki dan berjalan dengan menggunakan kedua lengan serta kakinya sedangkan anjing adalah mamalia yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah dan berburu.Â
Semantik sebagai cabang dari linguistik yang mengkaji terkait makna bahasa pasti kebingungan untuk mengartikan makna pada dua kalimat di atas. Jika semantik adalah manusia, ia pasti sudah bertanya, "Bagaimana bisa seekor binatang yang berbeda jenis berkomunikasi dan beraktivitas layaknya manusia?". Lalu datanglah pragmatik bak pahlawan yang menyelamatkan semantik atas kebingungannya.Â
Pragmatik adalah kajian makna di luar semantik. Berbeda dengan semantik yang hanya memperhatikan bentuk dan makna, pragmatik justru memperhatikan konteks dari sebuah kalimat yang sudah dikomunikasikan atau lebih dikenal dengan tuturan. Setelah dikenalkannya pragmatik barulah dua kalimat di tersebut bisa diartikan maknanya.Â
Dalam suatu tuturan, pragmatik memperhatikan empat hal, yaitu (1) siapa yang bicara (2) siapa yang diajak bicara (3) tuturan apa yang dikatakan (4) koteks dan konteks pada tuturan. Dari sisi pragmatik, kalimat di atas dibicarakan dan didengarkan oleh dua orang yang sudah lebih dari 2 tahun mengenali satu sama lain. Tuturan yang dibicarakan adalah terkait tugas pragmatik. Di luar teks, terdapat konteks kata sapaan "nyet" dan "njing" yang merupakan sapaan akrab terhadap teman.Â
Pada kata "nyet" dan "njing" terjadi pelepasan pada kata sapaan yang dikeluarkan kedua teman saya. Sapaan tersebut dengan menghilangkan sebagian konsonan dan vokal yang berada di awal kata. Hal tersebut dilakukan untuk mengkaburkan kata sapaan yang dilontarkan serta terkesan menghaluskan kata sapaan dan makna yang dikeluarkan kedua teman saya, sehingga orang lain yang mendengarkan tetapi tidak mengetahui sapaan tersebut menganggap sapaannya biasa saja dan tidak terdengar kasar.Â
Leech sebagai salah satu tokoh dalam pragmatik mengemukakan bahwa ada dua prinsip sopan santun yaitu bentuk positif dan bentuk negatif. Sapaan yang dilontarkan oleh kedua teman saya cenderung merujuk pada kesopanan negatif karena hal tersebut dianggap kasar dan kotor tetapi menurut teman saya sendiri sopan dan dianggap biasa saja.Â
Sapaan akrab dalam menyapa teman yang berbentuk kekerasan verbal ini terkadang menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik. Maka dari itu, hendaknya dalam bertutur harus tetap memperhatikan prinsip kesantunan. Hal ini bertujuan agar tuturan yang diucapkan dapat diterima dengan baik dan dianggap santun. Pelanggaran kesantunan berbahasa dapat terjadi dalam berkomunikasi apabila penutur maupun mitra tutur melakukan penyimpangan atau pelanggaran dari penggunaan kesantunan berbahasa. Akibatnya makna tuturan yang disampaikan tersebut kurang etis apabila didengar oleh orang lain yang membuat makna tuturan menjadi tidak jelas, sehingga tuturan tidak berjalan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H