Mohon tunggu...
Dinari Kirana
Dinari Kirana Mohon Tunggu... Freelancer - Certified Breathwork Facilitator

Praktisi trauma healing dengan menggunakan teknik napas (Breathwork), yang juga memiliki sertifikasi Yoga, Intuitive coaching dan Energi healing. Pribadi yang eksploratif dengan beragam latar belakang keilmuan: Biologi dari Universitas Indonesia, Management dan Philosophy and Islamic Mysticism.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Spiritual bypass: sebuah fenomena pengingkaran emosi

13 Juni 2024   21:36 Diperbarui: 13 Juni 2024   23:10 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan apabila kita perhatikan dengan seksama maka kita akan menyadari kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti. Ketika cobaan hidup dan kesulitan datang, rasanya hati menjadi lebih mudah mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita terkadang menjadi lebih rajin beribadah. Hal ini adalah sesuatu yang wajar, namun kita juga perlu waspada aagar ketaatan dalam ibadah tidak kita jadikan sarana kompensasi dan pelarian untuk mengatasi luka-luka perasaan hati.

  Seseorang yang dalam hatinya masih menyimpan amarah, kesedihan, kecemasan, ketakutan pada keadaan (keluarga, pasangan, sosial, ekonomi, dll) kemudian mendadak dekat dengan agama atau rajin beribadah belum tentu kedekatannya pada agama dan ketekunannya beribadah akan melenyapkan perasaan luka yang ditanggungnya bahkan bukan tidak mungkin akan timbul spiritual bypass yang memberi dampak negatif pada kesehatan jiwa.

Apakah yang dimaksud dengan spiritual bypass ? Spiritual bypassing adalah istilah yang diciptakan oleh psikolog John Welwood pada tahun 1984 untuk menggambarkan penggunaan praktek spiritualitas untuk menghindari berurusan dengan perasaan dan trauma yang belum terselesaikan. Konsep psikologi ini dikembangkan dari buku karya Chogyam Trungpa (biksu Budha) yang berjudul “Cutting Through Spiritual Materialism” yang merupakan salah satu upaya menamai distorsi spiritual ini.

Ketika kita mendengar kata emosi, selalu yang terlintas dalam pikiran adalah kemarahan meskipun sesungguhnya emosi itu tidak identik dengan kemarahan.  Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pengertian emosi. Pertama, emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut di waktu singkat.  Kedua, emosi adalah keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis yang bersifat subyektif.  Dengan kata lain emosi adalah ekspresi perasaan manusia. Emosi terkadang diberi label negatif oleh budaya masyarakat ketika seseorang mengekspresikan emosinya secara berlebihan, misalnya kemarahan yang berlebihan sehingga menimbulkan agresi.

Mengendalikan emosi memang bukan perkara yang mudah bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Regulasi emosi yang berkaitan dengan kemampuan menilai, mengatur dan mengekspresikan emosi memainkan peran penting dalam kemunculan ekspresi emosional yang tepat.  Ekspresi emosional dapat muncul sebagai komunikasi verbal serta komunikasi non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tangan dan gerak tubuh.  Dari berbagai penelitian telah banyak dibuktikan bahwa regulasi emosi dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk daerah tempat, kecerdasan emosional, budaya dan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun