Batari menimpali, “tau apa kau soal kesucian ?", aku memiliki hak penuh atas tubuh dan keinginanku. “Tidak ada yang dapat menaruh kuasa atas diri, tubuh dan sikapku”, begitu dalihnya. Batari menegaskan bahwa dia melakukannya untuk menyembuhkan Mapata. Dalam kalimat terakhir sebelum semua pakaiannya dipakai ia berkata;
“jangan sekali-kali berbicara soal kesucian tubuh seseorang jika pada tubuhmu sendiri kau tidak memahami apa-apa”
Namun demikian, Mapata punya argumen lain saat menilai Batari yang menurutnya sok tahu. Saat Batari meyakinkannya bahwa yg dilakukan hanyalah semata untuk menyembuhkan, Batari mempertanyakan sakitnya Mapata;
“Tidak menyukai perempuan, bagimu hal wajar?”.
Mapata menimpali, “Tentu wajar, karena kewajaran bagi hidup saya ukurannya tentu ada di diri saya”.
Batari sok paham atas sakit “tidak suka perempuan” milik Mapata. Sedangkan Mapata sok paham atas “batas kesucian” milik Batari. Digambarkan, bahwa keduanya begitu dini memberi justifikasi. Namun keduanya punya hak dan mau melakukan untuk itu. Mereka berdua mau melakukan sesuatu atas nilai yang saling mereka yakini. Nilai-nilai yang belum final tentang self genital.
Mereka juga manusia
Walau Batari telah terbebas dari pikirannya tentang tubuh dan otoritas, kemudian juga telah mau (digambarkan oleh F.O) melucuti pakaiannya sendiri tanpa diminta, bagaimanapun juga ia masih terpenjara dalam nilai – nilai kepasrahan “aku tak tahu harus bagaimana lagi” ataupun kalimat tanya yang membelenggu yang berbunyi “aku harus bagaimana ?”, untuk urusan-urusan lain di kepalanya.
Batari, perempuan yang pernah dibesarkan dalam suatu adat, yang juga tau-menahu tentang seluk-beluk tetuanya . Penceritaannya tentang dia adalah sepenggal kisah yang menarik dalam “Tiba Sebelum Berangkatnya” Faisal Oddang.
-
@dirghiz