Sejak kecil, semua manusia yang pernah mengenyam pendidikan atau tidak, sering atau jarang, sekali atau banyak, oleh siapa saja, pasti pernah ditanya, "Apa cita-cita kamu ?" Oleh orangtua, guru, teman, saudara dan lainnya, kita dikenalkan pertanyaan tersebut sejak lama dan di waktu kita kecil. Saat PAUD, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, atau setingkat pendidikan lainnya pasti pernah ditanya. Atau pada kondisi di mana seseorang tidak pernah ditanya oleh orang lain karena ia hidup sendiri, pasti ia pernah, sempat, bahkan dapat memikirkan cita-citanya.
Mereka semua yang bertanya pada kita pun dilatarbelakangi sebab pernah ditanya tentang hal itu sebelumnya. Pada akhirnya berlanjut ke kita dan begitu seterusnya. Seiring perjalanan, pertanyaan tersebut masih kita jumpai di masa remaja, lalu berlanjut di masa dewasa dan tua. Bahkan ketika tak ada lagi yang bertanya (di masa kapanpun), hal tersebut pernah menjadi bahan renungan kita semua.
Saat bertambah usia, cita-cita yang pernah kita pikirkan tentu akan mengalami perkembangan, begitu seterusnya. Ada cita-cita yang sudah kita raih, adapun cita-cita yang kita revisi karena kondisi masing-masing individu, dan ada pula yang masih dalam masa perjuangan meraih cita-cita. Hal itu sungguh normal dan wajar.
Cita cita dalam pengertiannya hal ini adalah sebuah tujuan, mimpi, atau ambisi yang seseorang akan wujudkan. Banyak interpretasi arti tentang cita-cita, namun intinya adalah "hal" yang diwujudkan. Pertanyaan yang sering dianggap sederhana tersebut mempunyai makna luas dan progresif. Karena dari pertanyaan tersebut, mengantarkan kita dari masa lalu ke waktu kini, serta merawat kita di masa kini untuk berharap pada masa depan, yang semuanya pada proses menggapai cita-cita.
Cita-cita yang kita deklarasikan dalam diri kita tersebut, membangun pikiran kita tentang masa depan. Tentang hal-hal yang ada di masa depan. Inilah salah satu motivasi terhebat manusia agar dirinya tetap terus hidup. Yaitu dengan bercita-cita.
Apa cita-citamu?
Tentu pertanyaan tersebut direspon dengan aneka jawaban oleh seseorang yang bercita-cita. Tetapi, sadarkah kita bahwa jawaban seseorang terhadap sebuah pertanyaan umum yang dialami oleh sebagian besar manusia dapat menjadi sebuah "kebudayaan"?
Apa saja jawaban manusia dimulai dari kebiasaan berpikirnya. Kebiasaan berpikir akan bertahan dan menjadi kebudayaan berpikir. Inilah kebudayaan kita. Seperti apa salah satunya? Berikut akan saya terangkan.
Apa cita-citamu? Seringkali, jawaban tersebut berbunyi: Dokter, Polisi, Pilot, Insinyur, Artis, dan sejenisnya. Subjek jawaban ini membangun jenis pertanyaan pada bentuk cita-cita "menjadi apa", dan kemudian berkembang melintasi zaman dan merubah pokok pertanyaan yang semula "apa cita-citamu" kemudian berubah ke "cita-citamu ingin jadi apa?" Eksistensi ini melekat dalam ketidaksadaran, kemudian lambat laun menjadi budaya.
Budaya bertanya "Cita-citamu ingin jadi apa?" menghasilkan jawaban yang juga membudaya, yaitu jawaban yang berkaitan dengan bentuk-bentuk "jadi/jadi apa/menjadi". Sehingga, aturan berpikir kita cenderung berproyeksi pada "Cita-cita adalah menjadi blablabla".
Memahami cita-cita sebagai sebuah jawaban, sedari kecil terdapat kebudayaan untuk menjawab pertanyaan "cita-cita" dengan arah jawaban pada "menjadi apa". Kita menjawab dengan sadar bahwa menjadi dokter, menjadi polisi, menjadi lain-lain yang sejenis dalam kerangka subjek "menjadi" adalah hal yang niscaya (tidak bisa tidak). Metode berpikir sentralistik tersebut menjadikan pertanyaan tentang cita-cita yang seharusnya lebih beragam, mennjadi redup dan telah terarahkan, bahwa cita-cita berkaitan dengan "menjadi apa".