Tindakan kekerasan merupakan perilaku atau tindakan seseorang yang dilakukan dengan maksud menyakiti, melukai atau mengancam orang lain, baik secara verbal, fisik maupun psikologis. Tindakan kekerasan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan norma hukum yang menyebabkan berbagai kerugian. Untuk melindungi hak asasi setiap manusia, maka dibuatkan hukum yang dapat melawan tindakan kekerasan baik skala nasional maupun internasional.
Di Indonesia, hukum terkait tindakan kekerasan sudah diatur dalam berbagai peraturan yang menjadi dasar hukum. Peraturan-peraturan ini penting untuk memberikan perlindungan dan pendampingan kepada korban, melindungi hak asasi manusia mereka, dan memberikan sanksi terhadap pelaku tindak kekerasan. Berikut adalah beberapa peraturan yang mengatur tentang tindak kekerasan:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Mengatur bentuk kejahatan termasuk kekerasan dalam berbagai bentuk.
- UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) – Mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
- UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) – Mengatur tindak pidana kekerasan seksual.
- UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak – Mengatur perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan.
- UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban – Mengatur perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana.
- Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga – Mengatur pelaksanaan UU PKDRT
- UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia – Mengatur perlindungan hak asasi manusia secara umum, termasuk perlindungan terhadap kekerasan.
Berdasarkan perspektif hukum, terdapat enam jenis tindakan kekerasan, yaitu: Kekerasan Fisik; Kekerasan Verbal; Kekerasan Psikologis; Kekerasan Seksual; Kekerasan Ekonomi; Kekerasan Struktural. Menurut data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari Januari 2024 hingga saat ini tercatat 16.624 kasus tindak kekerasan. Mayoritas korban adalah perempuan, dengan jumlah kasus sebanyak 14.429. Tempat kejadian kekerasan terbanyak adalah di rumah tangga, sebanyak 10.237 kasus. Selain itu, terdapat 3.549 kasus di tempat lain, 1.690 kasus di fasilitas umum, 909 kasus di sekolah, dan 220 kasus di tempat kerja. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa kekerasan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk di sekolah yang seharusnya menjadi tempat pendidikan.
Sumber: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Pada Agustus 2024 ini, netizen Indonesia digemparkan dengan pengakuan dari seorang mantan atlet anggar yang mengunggah sebuah video di media sosial mengenai perlakuan suaminya, yang memperlakukannya secara tidak manusiawi. Mantan atlet tersebut mengungkapkan bahwa dia telah mengalami banyak tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya, yang juga disaksikan oleh anaknya yang masih kecil. Dampak trauma yang terjadi tidak hanya kepada istrinya yang mengalami tindakan secara fisik, tetapi akan berpengaruh terhadap anak - anak mereka, yang menyaksikan kejadian tersebut. Dampak negatif yang anaknya terima akan mengganggu perkembangan, baik secara psikologis, sosial maupun fisik. Peran suami dan ayah yang seharusnya menjadi pelindung, justru berubah menjadi sumber ketidakamanan dan dampak negatif jangka panjang.
Menurut survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2020, kasus kekerasan di tempat kerja masih sangat umum. Dari total 1.173 responden, 70,81% di antaranya pernah menjadi korban kekerasan, sementara 53,36% mengalami kekerasan dan pelecehan, serta menjadi saksi tindakan tersebut. Kekerasan di tempat kerja tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga mencakup godaan atau candaan yang bernuansa seksual yang tidak disetujui oleh korban. Dalam konteks kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, biasanya terjadi karena korban berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Pelaku meminta targetnya untuk melakukan perilaku yang tidak sesuai, sebagai syarat pemenuhan hak pekerja, kesempatan kerja, dan penawaran kerja. Jika tidak melakukannya, maka akan mengeluarkan ancaman seperti pemutusan hubungan kerja, ancaman, sanksi berupa mutasi, dan lainnya.
Dalam buku Memahami Hakikat Budi Luhur, manusia yang suka melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, sadis, bengis sombong, penyebar fitnah, cemburu atau merugikan orang lain itu termasuk ke dalam kategori “Manusia Nista” (yang menurut ajaran tertentu setelah mati akan masuk neraka). Sifat-sifat tersebut dianggap tercela, tidak bermoral, dan memalukan. Perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan yang berkelanjutan, dan hal tersebut mempengaruhi nasib seseorang, karena nasib adalah hasil dari pilihan yang harus dijalani.
Dalam buku Memahami Hakikat Budi Luhur, kelompok manusia dikategorikan berdasarkan perbuatannya sebagai berikut:
- Manusia Sesat
- Manusia Nista
- Manusia Hina atau Papa
- Manusia Madya (Berbudi Luhur)
- Manusia Utama (Berpakarti Luhur)
- Manusia Luhur atau Mulia
Jadilah manusia yang termasuk kategori Madya, Utama atau Luhur. Individu dengan sifat atau karakter tersebut merupakan manusia berbudi luhur yang tidak berperilaku sesat, nista atau hina. Individu yang berbudi luhur merupakan contoh manusia yang memiliki nilai moral yang tinggi, etika yang baik, dan tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain. Dengan menerapkan nilai kebudiluhuran ini, seseorang seharusnya akan malu jika melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Menurut artikel yang dikutip dari Gramedia.com oleh Umam, yang merujuk pada buku M. Rahmat, beberapa penyebab terjadinya tindakan kekerasan meliputi:
- Hilangnya harga diri
- Perbedaan tingkat ekonomi
- Ketidakmampuan mengendalikan emosi
- Dendam
- Kebiasaan atau tradisi yang sudah berlangsung lama
- Pengaruh alkohol atau narkoba
Faktor-faktor inilah yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain. Kekerasan dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan dengan sasaran siapa pun, sehingga setiap orang berpotensi menjadi pelaku maupun korban dari tindakan tersebut. Sebagai individu harus memiliki kewaspadaan terhadap tanda-tanda awal kekerasan. Tingkatkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, kelola emosi dengan bijak, dan bangunlah jaringan dukungan sosial yang dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Selalu waspada terhadap situasi tertentu untuk menghindari risiko yang tinggi.