Mohon tunggu...
Dina Purnama Sari
Dina Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen -

There is something about Dina... The lovely one...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Soegija: Antara Sejarah dan Kemanusiaan

12 Juni 2012   19:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:03 2871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13395301231632673618

[caption id="attachment_182344" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://www.21cineplex.com/soegija-movie,2843,02SOJA.htm"][/caption]

Sinopsis (Sumber: http://www.21cineplex.com/soegija-movie,2843,02SOJA.htm)

"Film ini ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia (1940-1949). Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia.

Ketika Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem (diperankan Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (oleh Abe), kakaknya. Ling Ling (oleh Andrea Reva) terpisah dari ibunya (oleh Olga Lydia). Tampaknya keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (oleh Suzuki), seorang tentara Jepang dan penganut Budhist, ia tidak pernah tega terhadap anak-anak, karena ia juga punya anak di Jepang.Robert (oleh Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang hebat, akhirnya juga disentuh hatinya oleh bayi tak berdosa yang ia temukan di medan perang. Ia pun rindu pulang, ia rindu Ibunya. Di tengah perang pun Hendrick (oleh Wouter Braaf) menemukan cintanya yang tetap tak mampu ia miliki karena perang. Soegija ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian."

Menonton film Soegija yang dilafalkan dengan Sugia itu masih diputar pada Selasa malam Rabu, 12 Juni 2012, di bioskop XXI dekat rumah. Film yang diputar pukul 19.00 hingga sekitar pukul 21.00 WIB lebih sedikit itu memang menimbulkan hal tertentu di dalam diri saya.

Hal tertentu yang menambah pengetahuan saya di bidang sejarah, khususnya mengenai Monseigneur Albertus Soegijapranata SJ., atau lebih dikenal dengan nama Soegija. Menurut resensi film yang sebelumnya saya baca di sebuah surat kabar nasional (kalau tidak salah, Kompas Minggu, 10 Juni 2012) dan menurut teman kerja saya di kampus, Soegija merupakan uskup pertama di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, teman kerja saya yang nasrani itu pun menceritakan sejarah singkat mengenai Soegija.

Sebetulnya, pada malam itu, saya merencanakan akan memilih dua film, yaitu Madagascar 3: Europe’s Most Wanted dan Soegija. Berkaitan dengan hal itu, setibanya di depan pembelian tiket menonton film, saya pun melihat terlebih dahulu jam tayang di kedua film tersebut dan akhirnya saya memilih Soegija. Hal itu karena waktu penayangan film Soegija tak lama lagi akan diputar, sekitar lima puluh menit lagi.

Ada hal menarik kala saya memilih tempat duduk dan sempat bertanya ke si Mbak penjual tiket teater dua,”Ehm, baru dua orang, ya Mbak yang menonton?” Si Mbak penjual tiket pun tersenyum dan sempat bertanya dua kali kepada saya seolah ingin meyakinkan apakah memang saya ingin menonton film tersebut.

Pertanyaan pertama diajukan Mbak Penjual Tiket kala saya menyebutkan ingin menonton film di teater dua, Soegija,”Maaf, Mbak, Mbak tahu film Soegija itu tentang apa?” Dengan santai kujawab,”Ya, tahu…. Itu tentang….” Saya tak melanjutkan jawaban karena bingung mau menjawabnya. Selain itu, saya sibuk memilih posisi bangku yang nyaman untuk ditempati seorang diri.

Lalu, pertanyaan kedua diajukan Mbak Penjual Tiket usai saya menentukan posisi bangku dan menyerahkan uang untuk membayar tiket. “Sebetulnya, film itu tentang apa sih, Mbak?” Saya terdiam lalu mengatakan,”Oh, itu tentang pendeta pertama di Indonesia.” Si Mbak tersenyum,”Ya, tentang uskup pertama di Indonesia.”

Saya pun segera berlalu dari Mbak Penjual Tiket dan keluar bioskop untuk mengambil uang di ATM. Maklum, setelah saya cek dompet, uang saya tidak mencukupi untuk ongkos di hari Kamis. Jadi, daripada kelimpungan di pagi hari, saya memutuskan untuk mengambil uang malam ini.

Begitulah.

Usai mengambil ATM, masih tersisa waktu tiga puluh menit. Saya pun menelepon sahabat SMA. Dia tertawa kala saya menceritakan pertanyaan Mbak Penjual Tiket itu karena baru kali ini saya ditanyakan ‘kepastian’ apakah saya memang berniat menonton film dan mengetahui dampak film tersebut usai menontonnya.

Jiah, Din. Kita berdua sama-sama sudah tua dan tahu bagaimana bersikap dari efek pro dan kontra mengenai film Soegija. Mungkin, si Mbak itu takut lu langsung buka jilbab di toilet usai menonton film tersebut karena katanya film itu bisa mengubah pandangan orang lain. Mmm, tapi waktu lu nonton film Jupe bareng gue, koq ‘gak ditanyain mengapa lu menonton film tersebut? Padahal, waktu itu lu menontonnya pake jilbab.”

“Iya, ya. Mungkin, kali ini si Mbaknya mencemaskan dampak film tersebut ke gue atau jangan-jangan ini akibat di kamera cctv mereka, gue pernah ketahuan bolak-balik mau menonton film Nenek Gayung tapi tak jadi karena momennya kurang pas terus sehingga mereka hafal ama wajah gue dan mencemaskan dampaknya.”

Teman saya tertawa lebar. “Ge-er lu.”

Apapun itu, pada akhirnya, saya paham mengapa Mbak Penjual Tiket menanyakan hal tersebut kepada saya. Sepanjang film itu, saya menontonnya dengan santai. Adegan demi adegan saya cerna perlahan. Walaupun terkesan kaku dalam akting pelakonan para tokoh, kecuali aktingnya Butet Kartaredjasa, saya mencoba memahami alur cerita yang tak kalah kakunya dengan para pemain di dalamnya. Selain itu, setting tempat di dalam cerita kurang kuat. Belum lagi, tokoh Ling Ling yang tidak mengalami perbedaan fisik sebelum ibunya dijemput tentara Jepang, saat Indonesia merdeka, menyelusuri pantai bersama Uskup Soegija, dan saat dia berdoa di gereja, padahal ada rentang waktu di dalamnya. Betulkah seorang anak tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang waktu tertentu? Lalu, ‘sentilan’ mengapa Uskup Soegija tidak menikah, yaitu karena dia bukanlah manusia sempurna sehingga separuh hidupnya dipergunakan untuk hal lainnya.

Nampaknya, seorang ibu yang duduk di sebelah saya beragama nasrani. Dia menonton bersama dua orang anak dan seorang pria yang kutebak sebagai suaminya. Sepanjang cerita, si Ibu sibuk menjelaskan banyak hal mengenai kandungan film tersebut. Demikian halnya kala ada adegan yang sebaiknya tidak ditiru oleh anaknya, seperti mengumpat orang lain melalui nyanyian daerah. Si Ibu itu pun hafal dengan beberapa lirik lagu di dalam film. Hal tersebut terbukti dengan suara si Ibu yang ikut menyanyikan lirik-lirik lagu tersebut. Tentu saja, saat lantunan lagu-lagu itu muncul, saya hanya terdiam dan menyimak.

Oya, berdasarkan pemahaman saya pribadi, nampaknya tokoh Mariyem di dalam film Soegija mengalami perpindahan ideologi, semula bukan Katolik kemudian menjadi Katolik. Penggambaran tersebut tidak terlalu dijelaskan secara mendetail, namun melalui bahasa tubuh dan ucapan. Yaitu, tercermin saat Mariyem berbicara dengan Hendrick,"Nama saya Mariyem, bukan Maria!" Ada nada gusar dari suara Mariyem kala Hendrick bilang kalau namanya itu sama seperti Maria, Bunda Maria. Cerminan lainnya terlihat kala Mariyem tak lagi marah saat orang lain, yaitu Robert mengatakan kalau nama Mariyem terdengar seperti Maria.

Secara umum, terlepas dari pro dan kontra di dalam film Soegija, film ini menambah pengetahuan sejarah bagi saya. Di dalam teater dua, bukan hanya saya saja yang mengenakan jilbab, ada pula penonton lainnya yang ikut menonton film tersebut. Memang, jumlahnya tak banyak tapi setidaknya saya pun yakin bahwa tak ada salahnya menonton film sejarah Indonesia berdasarkan unsur keagamaan dan kemanusiaan yang berbeda dari beberapa film sejenis yang pernah saya tonton sebelumnya. Walaupun jumlah penonton di dalam teater dua tidak membludak, bertambah dari dua penonton sebelumnya saat saya membeli tiket, dan tidak sampai separuh jumlahnya, rasanya sah saja jika kompasianer ingin menontonnya di saat mempunyai dana lebih atau di kala senggang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun