Mohon tunggu...
Dina Purnama Sari
Dina Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen -

There is something about Dina... The lovely one...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saling Mendoakan

6 Agustus 2012   18:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saling mendoakan adalah hal yang sebaiknya dilakukan setiap harinya. Tentu saja, mendoakan yang baik-baik saja. Nah, hal tersebut dilakukan oleh beberapa pria muda di sebuah bus kota dimana saya menumpang di dalamnya. Tepatnya, bus kota yang membawa saya ke Kramat dari Tenabang.

Mereka bukanlah 'pria sembarangan' karena banyak tato di tubuhnya. Belum lagi, bau asem menyelimuti tubuhnya, plus kulit yang tidak terawat. Mereka mengaku sebagai anak jalanan yang terbuang, merasa dihina, terhina, dan entah apalagi. Jika orang lain sibuk mengais rejeki di jalanan dengan mengamen, berjualan, mencopet, menjambret, menodai, dan sebagainya, maka sekumpulan pria muda itu melakukan hal yang kurang lebih sama, yaitu meminta uang. Aksi meminta uang ini disebut mereka bukan pemaksaan namun jika kita tak memberikannya maka yang keluar dari mulut mereka adalah sumpah-serapah yang tidak bagus untuk pendengaran.

Saya masih ingat ucapan salah seorang di antara mereka kala saya menolak memberikan uang kepada mereka,"Percuma Ibu pake jilbab, mendingan pake topi aja, musrik.... Bla, bla, bla." Saya cuek saja dibilang musrik dan dikatai hal negatif lainnya karena meladeni mereka sama saja membalas kemalasan dan debat kusir yang takkan berujung baik.  Kejadiannya terjadi kira-kira  seminggu sebelum puasa tiba saat saya di dalam Kopaja 502 menuju Salemba dari Tenabang.

Kemudian, saat bulan puasa, pemuda bertato itu tetap hadir baik sendiri maupun bersama teman-temannya. Seingat saya, sudah dua hingga tiga kali mereka mendoakan saya karena menolak memberikan uang. Padahal, saya menolaknya dengan cara yang santun, yaitu mengatupkan tangan dan mengucapkan kata maaf. Mereka mendoakan saya hal yang baik, bukan lagi makian ataupun cacian sebagai kedengkian. Entahlah, apa maksud doa mereka tersebut, apakah karena mereka melakukannya supaya saya tidak menerima banyak amalan akibat doa buruk mereka ataukah karena ini bulan puasa maka mereka pun tidak mendoakan hal yang buruk.... Wallahualam.

Mereka itu hadir dengan aksi mengiris tangan dan leher dengan silet, minta uang sambil marah-marah, bilangnya mau baca puisi tapi setelah saya tunggu puisi mereka... tak ada satupun puisi terucap dari bibir mereka yang hitam, yang ada adalah ucapan,"Lapar, Bu, Pak, Mbak...." Bla, bla, bla....

Jika ada penumpang lain yang tertidur, sibuk dengan ponselnya, cuek, ataupun penumpang tersebut nampak lemah atau parlente namun semuanya itu tak memberikan uangnya, maka gerombolan itu semakin meradang dengan mengeluarkan sumpah serapahnya. Ah, jika sudah begini, maka bagaimanakah sikap aparat Pemda Pemprov DKI Jakarta dan gubernur, wakil gubernur, beserta jajarannya? Mengapa aksi premanisme ini masih saja terus berlangsung? Sebentar hilang, lalu nanti akan muncul kembali....

Yuk, kita saling mendoakan hal-hal yang baik saja baik bulan Ramadhan maupun bukan di bulan Ramadhan....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun