Mohon tunggu...
Dina Purnama
Dina Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seseorang yang hobi membaca, menulis dan bermain dengaan hewan peliharaan agar hidup lebih berwarna dan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stop Provokasi Korut, Ajak AS Dialog untuk Mencegah Perang Nuklir di Semenanjung Korea

5 September 2024   11:40 Diperbarui: 5 September 2024   11:43 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut) bak musuh bebuyutan yang sulit untuk didamaikan. Keduanya sudah terlibat permusuhan sejak perang Korea tahun 1950-an. Hingga saat ini, hubungan keduanya pasang surut. Kadang terlihat manis, tapi lebih sering terlihat masam. Hubungan AS dan Korut sempat mesra ketika Presiden AS Donald Trump bertatap muka dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam dua kesempatan. Keduanya bertemu pada tahun 2018 dan 2019, saat Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) di Singapura dan Vietnam.

Saat pertemuan kedua kepala negara itu berlangsung, ada harapan baru tentang perdamaian di Semenanjung Korea. Banyak pihak meyakini, bahwa reunifikasi antara Korut dan Korsel akan segera terjadi. Sayangnya, pertemuan tersebut tak membuahkan hasil. Kesepakatan tentang penghentian pengembangan nuklir di Korut tidak tercapai, lantaran AS dianggap hanya memberi janji kosong soal wacana jaminan keamanan ke Pyongyang. Sejak saat itu, ketegangan antara Korut dan AS kembali meningkat. Kedua negara saling sindir dan ancam melalui pernyataan-pernyataan menohok di media massa.

Di satu sisi, AS yang beralasan ingin menciptakan perdamaian dunia, justru lebih sering terlihat melakukan provokasi terhadap Korut. Provokasi tersebut dalam bentuk latihan bersama di kawasan wilayah Korsel. AS beserta sekutunya Korsel dan Jepang, acapkali melakukan latihan gabungan, yang dianggap pemerintah Kim Jong Un sebagai aba-aba untuk menyerang negara berhaluan komunis itu. Di sisi lain, untuk menjawab latihan gabungan tersebut, Korut pun kerap melesatkan rudal balistiknya ke arah Korea Selatan, yang berujung pada ketegangan di wilayah Semenanjung Korea.

Beberapa wilayah di Asia Timur kini merasa was-was dengan ancaman perang nuklir tersebut. Namun, jika melihat perkembangan terkini soal keamanan di Semenanjung Korea, sebenarnya Korut ini bisa melunak jika AS dan sekutunya tidak melakukan provokasi. Menurut laporan sejumlah media massa, Korut selalu menembakkan rudal balistiknya tepat setelah latihan gabungan AS berakhir. Misalnya saja pada Juli 2024 kemarin. Ketika AS, Korsel dan Jepang melakukan latihan gabungan Freedom Edge pada 27-29 Juli 2024 (Antara), Korut pun menjawabnya dengan tembakan rudal balistik jarak pendek pada 1 Juli 2024. Berdasarkan laporan AFP, ada dua kali Korut menembakkan rudalnya ke arah timur laut.

Rudal tersebut ditembakkan dari kawasan Jangyon, Provinsi Hwanghae Selatan. Tembakan pertama dilakukan pukul 05.05. Disusul tembakan kedua pukul 05.15. Bulan berikutnya, AS kembali melakukan latihan gabungan Ulci Freedom Shield bersama Korsel. Dari laporan BBC, latihan tersebut berlangsung pada 19-29 Agustus 2024 di wilayah Korsel. Setelahnya, atau 30 Agustus 2024, Korut pun menjawabnya dengan simulasi serangan nuklir terhadap sasaran militer di Korea Selatan. Korut pun menegaskan, bahwa mereka ingin mengirimkan pesan kepada musuh, agar tidak menantang dengan ancaman militer, seperti pengerahan pasukan dan alat tempur ke wilayah Korea Selatan.

Melihat ketegangan yang kian meningkat, Indonesia yang punya hubungan baik dengan AS dan Korut sudah semestinya ikut serta dalam upaya mendamaikan kedua negara ini. Meski tidak terdampak langsung dengan perang nuklir di Semenanjung Korea, tapi Indonesia punya tanggung jawab dalam melindungi warga negaranya. Seperti diketahui bersama, bahwa saat ini banyak warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Korsel. Para WNI itu sebahagian besar merupakan pekerja migran. Jika Indonesia tidak ambil bagian dalam upaya perdamaian ini, ada kekhawatiran kelak WNI yang tinggal di Korsel ikut terdampak.

Karena alasan itu pula, Indonesia wajib turut serta menjadi penengah antar masing-masing negara yang bertikai. Indonesia sendiri punya hubungan baik dengan Korut. Hubungan bilateral itu sudah dibangun sejak zaman Presiden Soekarno. Bahkan, Soekarno dan pemimpin Korut Kim Il Sung pernah melakukan serangkaian kunjungan balasan, sebagai bentuk persahabatan antarkedua negara. Soekarno mengunjungi Pyongyang pada 1 hingga 4 November 1946. Kemudian, Kim Il Sung membalasnya dengan berkunjung ke Indonesia pada 10 sampai 20 April 1965. Dalam pertemuan yang hangat itu, Soekarno mewakili Indonesia menunjukkan penghormatannya pada kakek Kim Jong Un tersebut, dengan menghadiahinya bunga anggrek. Bunga anggrek itu kemudian diberi nama Kimilsungiya.

Sebagai pihak yang disebut sebagai ‘kakak tertua’ oleh Korut, mestinya Indonesia bisa dengan mudah membangun komunikasi dengan negara komunis itu. Di samping itu, Indonesia juga bisa mengajak AS untuk terlibat dalam diskusi bersama mencari jalan keluar mengatasi krisis nuklir di Semenanjung Korea.

Buka Gerbang Dialog 

(AFP/Bay Ismoyo)
(AFP/Bay Ismoyo)

Sebagai langkah dan solusi nyata, Indonesia harus mendorong adanya pertemuan multilateral yang melibatkan berbagai pihak. Kita tahu bersama, bahwa Korut disokong oleh Rusia dan Tiongkok. Sedangkan AS memiliki sekutu Korsel dan Jepang. Para pihak ini harus diajak berdiskusi dan berdialog untuk mengakhiri ancaman perang nuklir yang kian nyata. Disisi lain, meski Korut terus mengembangkan persenjataan nuklirnya, tapi ekonominya sedang tidak baik-baik saja. Mereka terus dipojokkan dengan berbagai kebijakan yang menyulitkan negara ini untuk berkembang. Beberapa waktu lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) bahkan menjatuhi sanksi ekonomi terhadap Korut, yang membuat negara ini kesulitan mendapatkan pemasukan bagi negaranya.

Mungkin, Indonesia bisa mengajak para pihak untuk tidak lagi memojokkan Korut. Tindakan ini cukup beralasan. Sebab kenapa, karena Korut sendiri belum pernah punya catatan menjajah negara lain. Yang punya catatan melakukan penjajahan justru adalah Jepang, yang sekarang digandeng Korsel melawan Korut. Dengan himpitan ekonomi yang dilakukan PBB terhadap Korut, ini bisa menjadi tawaran bagi Pyongyang untuk menghentikan wacana perang nuklir yang kian memanas. Di sisi lain, AS juga mesti diminta komitmennya, untuk tidak lagi melakukan tindakan provokasi terhadap Korut, yang dapat memancing ketegangan di Semenanjung Korea. AS harus berkomitmen menjaga keamanan Korut. Jangan sampai AS justru menjadi pemicu terjadinya perang terbuka di Semenanjung Korea, yang dapat membahayakan negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Tawaran Bantuan Ekonomi

Bagi Korut, tawaran bantuan ekonomi mungkin bisa menjadi solusi yang baik. Alasannya sederhana, karena negara ini sangat terpuruk sejak dijatuhi sanksi ekonomi oleh DK PBB. Kondisi pandemi Covid-19 yang turut melanda negara itu tahun 2020 silam, ikut memperburuk situasi ekonomi di sana. Negara ini kesulitan mensejahterakan rakyatnya. Bahkan, kelaparan terjadi di banyak tempat, seperti laporan BBC. Sejak pembatasan ekonomi diberlakukan, Korut kesulitan melakukan ekspor dan impor yang berdampak pada pemasukan negaranya.

Satu-satunya pemasukan Korut sejak dijatuhi sanksi DK PBB adalah berharap adanya bantuan dari Tiongkok dan Rusia. Kedua negara ini memang menjadi penyokong Pyongyang, yang sama-sama berhaluan komunis. Selain itu, kedua negara ini juga punya masalah yang sama dengan AS. Menyinggung masalah ekonomi Korut, Kim Jong Un pada Agustus 2023 lalu melakukan kesepakatan rahasia dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Menurut laporan Deutsche Welle, kesepakatan itu berkenaan dengan jual beli amunisi dan senjata. Korut tercatat melakukan 10 kali transfer amunisi yang volumenya sekitar satu juta peluru.

Karena kerja sama ini, bank Korea Selatan mencatat adanya peningkatan ekonomi Korut bernilai €22,6 miliar atau setara Rp 385 trilun. Namun, angka ini tidak cukup untuk membenahi perekonomian negara yang menganut paham Juche tersebut. Banyak sektor yang mesti dibenahi. Apalagi pada tahun 2020, menurut laporan Indo Pacific Defense Forum, 60 persen rakyat Korea Utara, atau 15 juta warganya hidup dalam kemiskinan absolut. Barangkalai, tawaran bantuan ekonomi ini bisa menjadi solusi agar Korut tak lagi mengembangkan senjata nuklirnya.

Di lain pihak, AS lagi-lagi harus diminta komitmennya untuk tidak memprovokasi Korut dengan latihan gabungannya. Indonesia bisa berperan dalam hal ini. Mengingat Indonesia punya sejarah yang panjang dengan Korea Utara. Indonesia dibawah rezim pemerintahan yang baru kelak, bisa mendesak AS untuk menjamin keamanan bagi Korea Utara. Tujuannya satu, untuk menjaga perdamaian dunia dari ancaman perang nuklir di Semenanjung Korea.(din)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun