Mohon tunggu...
Dinand Hazbin
Dinand Hazbin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang haus akan ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Mahasiswa dalam Pemilihan Rektor ITS: Sebuah Kontradiksi

12 Desember 2014   22:17 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418372200685696646

Mahasiswa adalah bagian dari masyarakat akademik, yang sering pula kita sebut sebagai sivitas akademika. Dengan jumlah massa yang paling besar jika dibandingkan dengan kelompok lainnya seperti dosen dan tenaga kependidikan, amatlah naif untuk mengabaikan eksistensi mahasiswa dalam proses pengelolaan perguruan tinggi. Apalagi, mahasiswa merupakan pihak yang paling sering terdampak langsung dari berbagai kebijakan di kampus.

Dalam proses pemilihan Rektor ITS yang sedang berlangsung, mahasiswa perlu menyadari perannya dan mengambil kesempatan untuk ikut berpartisipasi. Keterlibatan mahasiswa dijamin oleh Statuta ITS (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2011) dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e, yang berbunyi, “Tahap penjaringan bakal calon Rektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara: ... e. melakukan penjaringan dengan melibatkan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk menghasilkan 5 (lima) bakal calon Rektor; ....”

Keseluruhan tahap proses pemilihan Rektor ITS untuk masa jabatan 2015—2019, meliputi penjaringan, penyaringan, dan pemilihan, kemudian diatur dengan sebuah Peraturan Senat ITS. Peraturan Senat ITS inilah yang menjadi satu-satunya dasar hukum dan aturan main selama proses pemilihan Rektor ITS berlangsung.

Keanehan timbul ketika Panitia Pemilihan Calon Rektor ITS (PPCR) menetapkan Tata Cara Pemungutan Suara untuk Mahasiswa untuk Penjaringan Bakal Calon Rektor ITS 2015—2019 (Tata Cara Pemungutan Suara). Tata Cara Pemungutan Suara ini tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum ditinjau dari beberapa aspek.

Pertama, PPCR hanyalah panitia fungsioanal, bukan organ yang berwenang untuk menetapkan aturan. Kedua, PPCR hanya dapat melaksanakan hal-hal yang diatur melalui Peraturan Senat ITS. Dan ketiga, Peraturan Senat ITS sendiri tidak memberikan kewenangan atau memerintahkan kepada PPCR untuk menetapkan Tata Cara Pemungutan Suara dalam tahap penjaringan. Tindakan PPCR berupa penentuan Tata Cara Pemungutan Suara bahkan hingga mencakup kriteria keabsahan dukungan, jelas telah melampaui kewenangannya dan berpotensi mengganggu suasana demokrasi dalam tahap penjaringan bakal calon rektor.

Di lain sisi, terdapat kejanggalan pada Peraturan Senat ITS yang menjadi dasar proses pemilihan Rektor ITS kali ini. Menteri Pendidkan dan Kebudayaan, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, khsususnya dalam Pasal 6 ayat (3) menyatakan “Tata cara tahap penjaringan dan penyaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta masing-masing perguruan tinggi.” Statuta ITS kemudian menetapkan bahwa ketentuan mengenai tata cara penjaringan akan diatur dengan peraturan rektor. Berarti, peraturan senat sepanjang mengatur tahap penjaringan bakal calon rektor bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (permendikbud).

Senat juga secara sepihak membatasi suara mahasiswa melalui mekanisme pembobotan. Peraturan Senat ITS membagi sivitas akademika menjadi tiga unsur: mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen. Bobot suara mahasiswa hanya bernilai 1, sedangkan bobot suara tenaga kependidikan dan dosen masing-masing 3 dan 5.

Bila diteliti lebih jauh, bobot suara tersebut bukanlah bobot suara tiap-tiap mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen, melainkan bobot total suara mahasiswa, total suara tenaga kependidikan, dan total suara dosen. Sebab, rumus penghitungan suara yang ditetapkan oleh Senat ITS adalah sebagai berikut, suara tiap unsur adalah hasil kali jumlah pemilih tiap unsur yang memilih dengan bobot suara tiap unsur dibagi dengan populasi pemilih tiap unsur.

〖Jumlah suara〗unsur= (〖jumlah pemilih yang memilih〗unsur x 〖bobot suara〗unsur)/〖populasi pemilih〗unsur

Jumlah populasi mahasiswa adalah 17.738 orang (Laporan Tahun Rektor ITS 2014), jumlah tenaga kependidikan adalah 1.433 orang (bukti perkara nomor 17 P/HUM/2011, data 2011), sedangkan populasi dosen berjumlah 900 orang (Laporan Tahun Rektor ITS 2014). Jika seluruh sivitas akademika memilih, suara satu orang mahasiswa sebenarnya hanya memiliki bobot 1, suara tenaga kependidikan memiliki bobot 37,1173, dan suara dosen senilai 98,520109. Dalam bahasa yang lebih mudah, 1 dosen memiliki suara setara 98,520109 orang mahasiswa.

〖Bobot suara per individu〗_unsur= 1/〖jumlah pemilih〗_unsur x 〖jumlah suara〗_unsur/〖jumlah suara〗_total

Ketentuan seperti itu mengindikasikan proses demokrasi di kampus telah dicederai. Sekretaris Senat ITS saat diklarifikasi mengenai hal ini pun pada Rabu (10/12) tidak bisa memberikan alasan hukum yang dapat diterima tentang asal mula bobot suara ini. Dengan meminimalkan peran mahasiswa, peran senat yang strategis menjadi sangat tidak terawasi.

Mengingat, pada tahap penyaringan (dari 5 bakal calon rektor menjadi 3 calon rektor), kewenangan sepenuhnya berada di tangan senat. Dan pada pemilihan rektor, senat memegang 65% suara sedangkan Mendikbud memegang 35% suara (berdasarkan Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012).

Kementerian Pendidikan Nasional (sebelum berubah nomenklatur) pada tahun 2011 sudah menjelaskan bahwa dalam menggunakan 35% suaranya, salah satu hal yang menjadi dasar adalah jumlah dukungan untuk tiap-tiap calon rektor yang didapatkan dalam tahap penjaringan, sehingga calon rektor yang terpilih bukan semata merupakan pilihan senat. Penjelasan tersebut merupakan jawaban resmi Kemendiknas dalam perkara uji materi nomor 17 P/HUM/2011.

Dapat disimpulkan, bahwa kementerian pendidikan berupaya membangun kesetaraan dalam pemilihan rektor, sehingga tercipta suasana pemilihan yang lebih demokratis. Dengan demikian, seharusnya diciptakan model satu orang satu suara yang lebih adil. Sayangnya, Senat ITS melalui peraturan yang lebih rendah justru menetapkan bobot suara yang sangat njomplang antara mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen(guru besar, doktor, dan master). Dan teruntuk kepada mahasiswa ITS, masihkah anda berdiam diri dalam ketidakadilan proses demokrasi di ITS ini?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun