Buku tulisan Tufiqurrohman Syahuri yang berjudul "Legislasi Perkawinan Di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi" mendeskripsikan mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Perkawinan Tersebut. Mahkamah Konstitusi sendiri sudah membuat tiga putusan terkait konstitusionalitas Undang-Undang Perkawinan, yaitu: konstitusional izin poligami, konstitusionalitas hubungan keperdataan anak dan ayah biologis-nya, dan konstitusionalitas alasan perceraian.
Sebagaimana diketahui proses pembentukan Undang-undang Perkawinan di Indonesia mengundang perhatian yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Setiap kali pemerintah mengajukan usulan RUUP kepada DPR, muncul reaksi pro dan kontra dalam kalangan masyarakat baik dari masyarakat muslim maupun dari masyarakat non-muslim.
Pada tahun 1928 dalam Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta diusulkan supaya pada tiap-tiap perkawinan diadakan ta'liq talaq (perceraian yang digantungkan).Â
Kemudian di dalam Kongres Perempuan II di Jakarta tahun 1935 dianjurkan kepada anggota-anggotanya untuk menyelidiki kedudukan wanita dalam hukum Islam, menyokong Badan Penyelidikan Talak dan Nikah yang telah diadakan oleh Pasundan Istri (PASI) di Bandung, mewajibkan semua anggota kongres untuk memberikan bantuan yang semestinya kepada orang yang mengalami ketidakadilan dalam perkawinan sehubungan dengan penerapan hukum Islam yang salah, dan membentuk biro konsultasi yang juga harus mempelajari hukum perkawinan Islam.Â
Dan pada kongres Perempuan Indonesia III di Bandung tahun 1983, Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang dibentuk tahun 1937 dijadikan sebagai Badan Pelaksanaan Kongres Perempuan yang bertugas membantu dan melindungi kaum perempuan dalam masalah keluarga (perkawinan). Badan ini diberi nama baru "Badan Perlindungan Perempuan Indonesia Dalam Perkawinan" (BPPIP). Badan inilah yang merupakan cikal bakal BP4 (Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian) sekarang di bawah naungan Depertemen Negara.
Kegigihan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya dalam persoalan perkawinan itu didasarkan pada adanya praktik-praktik perkawinan yang buruk di kalangan masyarakat. Yang banyak menjadi korban ketidakadilan adalah kaum perempuan.Â
Kasus perceraian Rachmawati Soekarno dengan dr. Martomo Pryatman Marzuki merupakan salah satu contoh ketodak perdayaan kaum perempuan dalam menghadapi hal talak yang ada di tangan suami. Jadi masalah pembentukan undang-undang perkawinan adalah merupakan persoalan yang sangat diharapkan oleh kaum perempuan. Oleh karena itu, perjuangan untuk mencapai terbentuknya undang-undang perkawinan lebih banyak disuarakan oleh kaum perempuan melalui berbagai organisasinya. Â Â Â Â
Setelah adanya desakan-desakan dari masyarakat terutama dari kaum perempuan, maka pada tanggal 31 Juli 1973 Pemerintah kembali mengajukan rancangan undang-undang tentang perkawinan dan sekaligus menarik dua rancangan undang-undang perkawinan terdahulu.Â
RUU Perkawinan yang baru itu terdiri dari 15 Bab, terbagi dalam 73 Pasal. Adanya kesamaan pandangan antara pemerintah dan umat Islam tersebut membantu melapangkan jalan pembahasan RUUP itu sehingga pada tanggal 22 Desember 1973 Sidang Paripurna DPR dapat menyetujui RUUP itu untuk diajdikan sebagai Undang-undang, dan pada tanggal 2 Januari 1974 dundangkan sebagai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lembaga Negara RI Tahun 1974 Nomor 1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975.
Meskipun disadari bahwa secara minimal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam, namun masih saja ada dikalangan umat Islam sendiri yang menganggap bahwa undang-undang itu bukanlah hukum Islam, hanya karena ada beberapa ketentuan di dalam undang-undang itu bertentangan dengan fikih klasik tentang perkawinan yang selama ini mereka ikuti. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional.Â
Ia merupakan produk hukum pertama yang memberikan gambar yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan 'Bhineka Tunggal Ika". Dan ia juga merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh ada nya variasi berdasarkan agama dan kepercayaannya itu. Dalam Undang-undang ini perkawinan dibatasi dengan baik sebagai "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Mengenai sistem Undang-undang Perkawinan yang dikehendaki pada saat proses pembentukan itu ada tiga aliran: (1) aliran pertama menghendaki satu undang-undang yang berlaku untuk semua golongan (unifikasi); (2) aliran kedua menghendaki agar masing-masing golongan mempunyai Undang-undang sendiri (diferensiasi); dan (3) aliran ketiga yang menginginkan ada Undang-undang Pokok yang berlaku umum, selanjutnya bagi masing-masing golongan diadakan Undang-undang Organik (diferensiasi dalam unifikasi)".
RUUP yang diajukan tahun 1973 menganut aliran pertama (unifikasi), sedang RUUP sebelumnya (1967 dan 1968) menganut aliran ketiga (diferensiasi dalam unifikasi). Bagaimana dengan keinginan dari politik hukum Indonesia sendiri ter- hadap sistem hukum itu? Untuk mengetahui politik hukum itu perlu dilihat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam GBHN disebutkan bahwa "peningkatan dan penyempurnaan pembinaan Hukum Nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi hukum dalam bidang-bidang tertentu dengan jalan memerhatikan "kesadaran hukum dalam masyarakat". Memerhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat, berarti memerhatikan kebinekaan hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat.Â
Sebelum diundangkan Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 umat Islam Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur masalah perkawinan sebagaimana yang dimiliki oleh golongan umat lain, seperti misalnya HOCI (Stb. 1933 No. 74) untuk orang-orang pribumi yang beragama Kristen, dan BW (Burgelijk Wetboek) dengan beberapa pengecualiannya untuk orang-orang Tionghoa.Â
Aturan hukum yang diberlakukan bagi umat Islam hanya terbatas pada teknis pelaksanaan perkawinan (nikah, talak dan rujuk) yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Demikian pula pada jaman penjajahan seperti yang termuat di dalam Stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No.467, Stb.1933 No.985, dan Stb.1932 No.482 bukanlah undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan".
Perkawinan yang dilakukan di kalangan umat Islam langsung berpedoman kepada kitab-kitab fikih munakahat sebagai hasil ijtihad atau hasil pemikiran tokok-tokoh fikih abad ketujuh Masehi. Karena kitab fikih tersebut adalah hasil pemikiran manusia, maka wajar apabila terdapat perbedaan pendapat di antara kitab fikih tersebut.Â
Timbulnya perbedaan pendapat itu ada kalanya disebabkan oleh banyaknya nash Qur'an dan Hadist yang tidak berisi suatu pengertian yang jelas (qath'i) melainkan bersifat kemungkinan-kemungkinan (dhani) sehingga perlu penafsiran, dan juga dapat disebabkan karena faktor lingkungan sosial dengan segala persoalan yang berbeda. Imam Malik yang hidup di Madinah tidak mengalami apa yang dialami oleh Imam Hanafi di Irak. Kalau lingkungan sosial berbeda maka pendirian dalam menilai sesuatu kepentingan dan motif penetapan hukum juga berbeda.
Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yang kelahirannya dilatarbelakangi dengan kontroversi, adalah merupakan wujud nyata pembangunan hukum nasional sebagai realisasi politik hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Â
Kontroversi itu muncul karena adanya dua pandangan atau pahara yang saling bertolak belakang. Paham pertama yang dipengaruhi oleh pemikiran sekuler, menghendaki agar undang-undang perkawinan tidak perlu memuat unsur hukum agama. Sebaliknya paham kedua yang diikuti oleh sebagian besar umat Islam, menghendaki agar undang-undang perkawinan memuat materi hukum agama. Pandangan kedua inilah yang akhirnya dapat diterima karena dipandang lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga terbentuklah Undang-undang Perkawinan seperti yang sekarang ini.
Menurut Undang-undang, perkawinan adalah sah apa- bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (UU No. 1/1974 Pasal 2 (1)). Ini berarti bagi umat Islam berlaku hukum perkawinan Islam. Hukum perkawinan Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki setelah dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum Islam.Â
Dengan dikukuhkannya hukum agama sebagai syarat sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum Islam di Indonesia bukan lagi berdasarkan kepada teori resepsi, melainkan langsung berdasarkan kepada Undang-undang Perkawinan Tahun 1974. Dengan demikian, pelaksanaan hukum perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung jawab pribadi umat Islam, juga menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk ikut mengawasinya. Adanya pengawasan Pemerintah itu dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan hukum perkawinan Islam itu tidak disalahgunakan.Â
Sebagaimana disebutkan di muka, sebelum Undang-undang Perkawinan (UUP) Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum yang berlaku untuk berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Berbagai macam hukum perkawinan tersebut adalah antara lain: (1) Hukum Adat, yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli; (2) hukum Islam, yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam;Â
(3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW), yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa dan Cina (Tionghoa) dengan beberapa pengecualian; (4) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie Christen Indonesiaers atau HOCI), yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli (Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama Kristen; (5) Peraturan Perkawi- nan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijks)".
Dapat diuraikan bahwa suatu hukum yang akan dibangun sebagai kehendak politik hukum seperti yang dimaksud oleh Pasal II Aturan Peralihan tersebut, haruslah memiliki ciri religius atau bersifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau dengan kata lain, dalam rangka pembaharuan atau pembangunan hukum di Indonesia, harus dihindari hal-hal yang bertentangan dengan sifat Ketuhanan Yang Maha Esa.Â
Dengan demikian, konsep hukum sekuler yang melepaskan sama sekali sifat Ketuhanan atau kereligiusan. berada di luar kerangka politik hukum di Indonesia. Suatu perumusan politik hukum secara tegas, dapat dijumpai di dalam GBHN, karena GBHN merupakan konsep operasional dari UUD 1945 dan Pancasila.
Sebagaimana telah diuraikan, Undang-undang Perkawinan (UUP) tahun 1974 yang proses kelahirannya memakan waktu cukup panjang dan kontroversial, ternyata hingga saat ini tidak pernah sepi dari persoalan-persoalan yuridis. Geger mengenai kawin antara umat yang berlainan agama misalnya memperkuat anggapan tersebut.Â
Demikian juga dalam hubungannya dengan hukum Islam, yakni adanya anggapan bahwa UUP 1974 bukanlah produk hukum Islam (bahkan ada yang menganggap bertentangan dengan hukum Islam) hanya lantaran perceraian baru dianggap ada (sah) bila dilakukan di depan sidang pengadilan dan syarat poligami harus ada persetujuan pengadilan misalnya, masih kuat pengaruhnya di kalangan umat Islam.
Kalau ditelusuri kembali proses pembentukan Undang undang Perkawinan, terlihat betapa rumit dan bertele-telenya proses kelahiran undang-undang itu. Selama masa persidangan, banyak kritik, pendapat, dan harapan yang disampaikan oleh masyarakat terutama umat Islam kepada DPR, baik dilakukan melalui tulisan-tulisan di massmedia, surat-surat pernyataan yang dikirim langsung kepada DPR atau lembaga tinggi lainnya, maupun melalui pengerahan massa.Â
Polemik yang muncul pada garis besarnya berputar pada persoalan-persoalan akidah, kepastian hukum dan perlindungan terhadap kaum wanita (seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan).
Sebenarnya usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuk- nya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (Panitia NTR) pada tahun 1950 Bahkan jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat (tahun 1937) yang berlaku bagi orang Indonesia dan Timur Asing bukan Tionghoa Namun semua usaha tersebut baik pada masa penjajahan maupun masa kemerdekaan selalu saja mengalami kegagalan.Â
Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No. I tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setelah diuraikan dan dibahas mengenai proses pembentukan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka dalam bagian ini akan dipelajari hubungan antara Undang-undang Perkawinan 1974 dengan hukum Islam, untuk mengetahui sampai seberapa jauh kesesuaian antara Undang-undang Perkawinan itu dengan hukum Islam.
Judicial review merupakan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan terhadap lebih tinggi yang dipahami secara lebih luas. Dalam konteks, pengujian undang-undang dalam rangka menjalankan prinsip konstitu sionalisme dan supremasi konstitusi dilakukan dengan cara constitusional review. Dalam constitusional review yang me nyangkut pengujian konstitusionalisme lebih sempit dari judicial review karena hanya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (konstitusi).
Pada perkembangannya, UU Perkawinan sudah beberapa kali dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai akibat hukum sebagai implikasi dari dinamika masyarakat yang menyatakan mengalami kerugian konstitusional dengan diberlakukannya UU Perkawinan tersebut.Â
Akibat hukum dari putusan Mah kamah Konstitusi tersebut menjadi persoalan kontemporer tersendiri dengan berlakunya UU Perkawinan sejak tahun 1974. Berikut akan dianalisis, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji 3 (tiga) UU Perkawinan secara ber- beda dengan ketentuan yang dimohonkan berbeda pula.
Perkara 12/PUU-V/2007 merupakan judicial review terhadap beberapa ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengatur tentang asas perkawinan monogami, alasan dan syarat-syarat poligami, izin istri dan pengadilan, dan apa- bila tidak ada izin tersebut dapat diajukan pencegahan atau pembatalan perkawinan. Pemohon adalah M. Insa, S.H. yang merupakan seorang wiraswasta. Menurut Pemohon beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), Pasal 281 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945.
Dalam putusan a quo, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa poligami bukanlah merupakan kreasi atau hal baru yang diciptakan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam justru berkehendak menertibkan poligami secara gradual, yang bertujuan, antara lain, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan laki-laki, dan dalam rangka menjaga martabat kaum perempuan.
Dalam perspektif tujuan perkawinan, Mahkamah Konsitusi berpendapat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan hati (sakinah). Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup dalam perkawinan akan mendapatkan ketenangan. Sebelumnya seorang laki-laki atau Seorang perempuan dalam keadaan sendiri mengalami lak asmara yang tidak tersalurkan, karena itu mereka tidak meroleh ketenangan. Sakinah itu dapat lestari manakala Kedua belah pihak yang berpasangan itu memelihara mawidah,.
Yaitu kasih sayang yang terjalin antara kedua belah pink tanpa mengharapkan imbalan (pamrih) apapun melainkan semata-mata karena keinginannya untuk berkorban dengan memberikan kesenangan kepada pasangannya. Oleh yang karena itu, mawaddah bersifat altruistik, bukan egoistik. Sikap egoistik, yaitu hanya ingin mendapatkan segala hal menyenangkan bagi diri sendiri, sekalipun akan menyakitkan hati pasangannya, akan berarti memutuskan mawaddah.Â
Dengan terputusnya mawaddah dengan sendirinya sakinah pun tidak terpelihara lagi. Itulah sebabnya, demi menjaga keluarga sakinah adalah wajar jika seorang suami yang ingin berpoligami, terlebih dahulu perlu meminta pendapat dan izin dari isterinya agar tidak tersakiti hatinya. Di samping itu, izin isteri diperlukan dan izin dari isterinya agar tidak tersakiti hatinya. Di samping itu, izin isteri diperlukan karena sangat terkait dengan keduduk- an isteri sebagai mitra yang sejajar dan sebagai subjek hukum dalam perkawinan yang harus dihormati harkat dan martabatnya.Â
Selain keharusan memelihara mawaddah, sakinah pun akan terwujud dan terpelihara jika suami dan isteri memelihara rahmah, yaitu saling memberi dan menerima atas dasar kasih sayang dalam kedudukannya yang berbeda, yakni sebagai suami maupun isteri yang sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Mahkamah Konstitusi juga sepakat dengan pendapat ahli Prof. Dr. M. Quraish Shihab bahwa poligami merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu, baik yang secara objektif terkait dengan waktu dan tempat, maupun secara subjektif terkait dengan pihak-pihak (pelaku) dalam perkawinan tersebut. Keadaan tersebut secara normatif dapat berupa alasan dan syarat yang ditetapkan dengan undang-undang dan ditegakkan melalui prosedur tertentu di pengadilan.Â
Mahkamah Konstitusin juga sepaham dengan pendapat Ahli Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo bahwa negara mempunyai peran dan kewenangan dalam mengatur rakyatnya melalui undang-undang untuk mencapai keadilan.
Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, negara (ulil amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negaranya yang ingin melakukan poligami demi kemaslahatan umum, khususnya dalam mencapai tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. yang identik dengan pengertian keluarga yang sakinah sebagaimana diuraikan di atas.
Kaitannya dengan perspektif ibadah, poligami bukan merupakan ibadah dalam arti khusus, yaitu ibadah yang memiliki aspek tertentu yang terkait dengan manusia dan makhluk Allah yang lain (ibadah ghairu mahdlah), maka pengaturan tentang persyaratan untuk poligami, tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mahkamah Konstitusi menolak alasan pemohon bahwa pembatasan poligami menyebab kan besarnya jumlah perceraian, menyuburkan perzinaan dan kecenderungan janda-janda menjadi pekerja seks komersial (PSK).Â
Menurut Mahkamah Konstitusi, perzinaan dan PSK tidak hanya terkait dengan seseorang berpoligami atau tidak, tetapi juga dengan hal-hal lain, seperti kondisi Mal ekonomi seseorang, dan yang lebih penting terkait dengan kualitas moral (akhlaq) yang bersangkutan. Mahkama Konstitusi juga tidak sependapat dengan dalil Pemohon bahwa poligami diperlukan karena jumlah kaum lehte banyak dari jumlah laki-laki. Terhadap dalil ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sekiranya pun benar dedan, maka hal itu tidak dapat diartikan bahwa untuk poligami tidak diperlukan syarat-syarat tertentu.
Di akhir pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa poligami diatur dalam UU Perkawinan diberlakukan bagi WNI yang hukum agamanya memberlakukan poligami bukanlah bentuk diskriminasi. Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya memperkenankan perkawinan poligami adalah wajar, oleh karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.Â
Sebaliknya, akan menjadi tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan, melainkan mengatur sesuai dengan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi adalah memberi kan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.
Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan adanya hubungan keperdataan anak dari hubungan di luar nikah terhadap ayah biologis. Pemohon adalah Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha dan Muhammad Iqbal Ramadhan. Keduanya merupakan mantan istri dan anak Meordiono yang merupakan mantan menteri sekretaris negara pada era orde baru dulu. Pada pokoknya Pemohon menguji konstitusionalitas ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengatur mengena pencatatan perkawinan menurut peraturan perundangan dangan dan ketentuan yang mengatur anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Putusan a quo menguji konstitusionalitas dua ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengatur pencatatan perkawinan dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Berkaitan dengan konstitusionalitas pencatatan perkawinan, Mahkamah Konstitusi melihat UU Perkawinan yang mengatur prinsip dan asas perkawinan tidak memasukkan pencatatan perkawinan bukan sebagai faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan bukan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.Â
Sedangkan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Kewajiban pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.Â
Pencatatan perkawinan tidak dimaksudkan sebagai pembatasan sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi karena pembatasan tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Hal tersebut berimplikasi pada terjadinya akibat hukum yang sangat luas di kemudian hari sebagai bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik. Oleh sebab itu, perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, Mahkamah menilai tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.Â
Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagan bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hu bungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.Â
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/admi- nistrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, pa- dahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat.Â
Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Dalam putusan a quo, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan terkait pencatatan perkawinan. Sedangkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan terkait ketentuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" inkonstitusional bersyarat (condition Aliy unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Putusan a quo menguji konstitusionalitas terhadap penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..." terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan. dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum", dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Alasan Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian terhadap beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan adalah Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf FUU 1/1974 yang kelak dijabarkan pula dalam Pasal 116, huruf f Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KIII), memuat salah satu alasan perceraian: "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..." tanpa mengatur secara hukum normatif bahwa manakala terjadi perselisihan dan pertengkaran suami-isteri, niscaya dan bukan tidak mungkin terdapat personae penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran rumah tangga.
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Putusnya perkawinan dengan lembaga perceraian atau dengan putusan pengadilan, dalam perspektif hukum, substansinya adalah peninjauan kembali terhadap persetujuan kedua belah pihak yang membentuk ikatan hukum, disebut dengan perkawinan yang dimohonkan oleh salah satu dari yang kedua belah pihak kepada pengadilan. Manakala pengadilan bukti-bukti yang diajukan berpendapat telah terbukti beralasan menurut hukum maka pengadilan akan menjatuhkan putusan bahwa perkawinan sebagai ikat- an hukum tersebut putus.
Dengan demikian maka sejati- nya, putusan pengadilan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tersebut hanya menyatakan dari perspektif hukumnya karena yang senyatanya "persetujuan" dari kedua belah pihak yang telah membentuk ikatan perkawinan, yang dulu pernah terjadi, telah tidak ada lagi sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Jadi, putusan pengadilan hanya menyatakan keadaan yang sesungguhnya tentang hubungan suami istri dimaksud.
Di akhir putusannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 sepanjang frasa, "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..." justru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal I UU Perkawinan serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kesimpulan dan ispirasi yang bisa di ambil setelah dilakukan penelitian dan pembahasan mengenai proses pembentukan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan hubungan antara Undang-undang tersebut dengan hukum Islam sebagaimana telah diuraikan di dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah hasil akhir dari dialog panjang bangsa Indonesia tentang hukum perkawinan, yang telah dilakukan sejak tahun 1950 dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hakum Perkawinan, Talak, dan Rujuk atau dikenal dengan sebutan Panitia NTR.Â
Sejak dibentuknya Panitia NTR ini, sudah ada lima rancangan undang-undang perkawinan (4 RUU usul Pemerintah dan 1 RUU usul Inisiatif anggota DPR) yang pernah dibahas dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi semuanya gagal untuk dijadikan undang-undang.Â
Kegagalan ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat mengenai sistem undang-undang perkawinan yang hen- dak dibentuk itu, Pendapat pertama menghendaki satu sistem undang-undang perkawinan yang berlaku umum dengan tidak menyinggung hukum agama. Pendapat kedua menghendaki masing-masing golongan masyara kat memiliki undang-undang perkawinan sendiri.Â
Pendapat ketiga menghendaki ada satu undang-undang pokok dan selanjutnya untuk masing-masing golongan diadakan undang-undang tersendiri. Maksud dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk mengadakan perubahan sosial dan pembinaan perilaku perkawinan dalam masyarakat, yang waktu itu cenderung merugikan wanita dan anak-anak, karena banyaknya perkawinan anak-anak di bawah umur, seringnya lembaga perceraian dan poligami disalahgunakan.
 Perkawinan menurut hukum Islam, mengandung segi-segi muamalah atau hablun minannas (hubungan sostal) dan segi-segi ibadah atau hablun minallah (hubungan dengan Allah); atau dengan kata lain, perkawinan mengandung hubungan keperdataan dan hubungan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan me nurut paham hukum Barat (sekuler), perkawinan hanya dilihat dari segi-segi hubungan keperdataan semata, dengan pengertian hukum perkawinan sama sekali terpisah dari unsur kerohanian atau unsur keagamaan.Â
Dari ke dua pengertian perkawinan yang bertolak belakang itu, pengertian perkawinan yang pertamalah yang memiliki kesamaan dengan pengertian perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 1 UU No.1/1974 sebagai perwujudan kongkrit paham politik hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertamanya.
Dalam hubungannya dengan hukum Islam, materi Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sudah sejalan dengan prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum Islam. Karena itu, jika dilihat dari proses pembentukannya yang melibatkan juga para ahli (hukum) Islam atau para ulama disamping Pemerintah dan DPR sebagai lembaga resmi pembentuk Undang-undang, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dapat dianggap sebagai produk pemikiran hukum Islam.
Sebagai produk pemikiran hukum Islam yang dikeluarkan oleh negara (Pemerintah), maka berdasarkan al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59, Undang-undang Perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk ditaati oleh umat Islam warga negara Indonesia. Artinya kepatuhan umat Islam Indonesia terhadap Undang-undang Perkawinan itu, dari segi agama, mempunyai nilai yang sama dengan kepatuhan terhadap "hukum Allah", Tuhan Yang Maha Esa.Â
Dan karena di dalam Undang-un dang Perkawinan itu terdapat beberapa ketentuan yang tidak bersumber langsung pada hukum fikih (klasik) seperti misalnya keharusan pencatatan perkawinan, pembatasan usia kawin, serta pengawasan pengadilan terhadap perceraian dan poligami, tetapi tidak bertentangan dan bahkan sejalan dengan al-Qur'an dan Sunah Rasul, ketentuan-ketentuan itu dianggap sebagai pembaharuan (hukum) fikih di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H