Sepertinya, budaya atau kultur India selalu menarik untuk diangkat ke dalam sebuah film yang menelurkan berbagai penghargaan atau setidaknya nominasi di berbagai kancah festival internasional. Sebut saja Slumdog Millionaire, Life of Pi, dan terakhir Lion. Menariknya, film-film jawara festival berlatar belakang budaya India ini tidak ada yang disutradarai oleh sutradara asal India. Setidaknya, untuk ketiga film di atas.
Lion, film besutan Garth Davis, sutradara asal Australia, juga menjadi film penutup pada Festival Sinema Australia Indonesia(FSAI) yang digelar selama tiga hari di Senayan City, Jakarta, sejak tanggal 26 hingga 29 Januari 2017. Festival sinema yang digelar Kedutaan Besar Australia ini dilaksanakan untuk kedua kalinya, dan tahun ini selain di Jakarta, FSAI juga akan roadshow ke Makassar serta Surabaya. Menariknya lagi, film-film yang diputar semuanya gratis! Tapi, berhubung gratis, kalian yang tinggal di kedua kota ini harus cepat-cepat registrasi online terlebih dahulu ya via website ini: Festival Sinema Australia Indonesia 2017.
Kembali ke film Lion, melihat adegan di awal, mulanya saya pikir film ini akan banyak unsur ironi dan sedikit unsur kekerasan seperti Slumdog Millionaire. Terlebih lagi, melihat Sunny Pawar, aktor cilik yang memerankan Saroo saat masih kecil, mirip sekali dengan tokoh utama di Slumdog tatkala dirinya juga masih balita.
Namun, siapa nyana ketika suatu hari wanita tersebut membawa seorang pria, lalu pria tersebut mengamati Saroo lekat-lekat, terutama fisiknya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain. Saya kagum Saroo mempunyai insting yang bagus sehingga ia langsung kabur dari tempat itu dengan berlari secepat kilat.
Siapa juga yang tidak iri, melihat nasib Saroo yang awalnya hidup di daerahslum atau kumuh di sebuah kota kecil di Khandwa, lalu menggelandang di jalanan kota Kalkuta, hingga ditemukan oleh seorang pemuda yang membawanya ke sebuah panti anak-anak gelandangan, dan kemudian diangkat anak oleh John dan Sue, merasakan hidup nyaman di Tasmania, Australia sampai bisa kuliah jurusan perhotelan di Melbourne.Â
Yang mengharukan, meskipun Saroo kecil hanya bisa berbahasa Hindi (sedangkan orang-orang di Kalkuta ternyata menggunakan bahasa Bengali), ia tetap bisa bertahan hidup. Sampai kemudian ia belajar bahasa Inggris selama berada di panti sambil menunggu hari kepergiannya ke Australia.
Dari kisah film ini, tersirat bahwa Australia merupakan negeri idaman orang-orang yang ingin lepas dari kesengsaraan. Ini menarik, karena selama ini negara yang dianggap menjadi impian kebebasan setiap orang adalah Amerika Serikat dengan slogan American Dream-nya. Namun, ternyata ada pula yang menganggap Australia adalah negara yang eksotis tempat terwujudnya mimpi-mimpi, setidaknya seperti yang saya lihat di film ini. Kesan serupa juga pernah saya tangkap sewaktu menonton film Prancis beberapa tahun yang lalu yang mengangkat cerita anak-anak dari lingkungan kumuh kaum imigran kota Paris dan bermimpi bisa pergi ke Australia.
Didukung oleh penampilan prima dari aktor dan aktris sekelas Oscar, serta cerita berbobot yang diangkat dari kisah nyata, membuat film yang diproduksi tahun 2016 ini mendapat nominasi Academy Awards 2017 untuk enam kategori. Kategori yang dimaksud yaitu: Film Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik (Dev Patel), Aktris Pendukung Terbaik (Nicole Kidman), Musik Soundtrack Terbaik, Naskah Adaptasi Terbaik dan Sinematografi Terbaik.