Seperti biasa, kantin mulai ramai menjelang jam makan siang begini. Jam dua belas. 'Dia bakal datang nggak ya...,' batinku berharap. Sambil terus bertanya-tanya, aku melayani para pengunjung yang mulai berdatangan ke bilik kami.
"Mas, roti pisang bakarnya satu ya, pake keju sama susunya yang banyak," kata seorang gadis berambut panjang kepadaku.
Aku melirik sekilas gadis itu, lalu aku mengangguk. "Duduknya di mana, Mbak?"
"Di meja biru, sebelah kiri."
Aku mengangguk lagi.
Gadis itu kemudian pergi. Dia cantik. Kulitnya putih dan mulus. Wajahnya sering kulihat di layar televisi. Aku tahu dia artis. Teman-temanku sesama pedagang di kantin ini tiba-tiba saja mendadak salah tingkah apabila biliknya didatangi gadis itu.
Tetapi, justru bukan dia yang membuatku salah tingkah. Entah kenapa, wajah-wajah cantik serupa dan seragam seperti itu sudah cukup membosankan bagiku.
"Mas, cappuccino-nya satu." Kali ini suara seorang pria. Agak berat.
"Ya," jawabku tanpa menoleh. Sementara tanganku sedang asyik mengoles mentega lalu menaburi muisjes di atas selembar roti tawar.
"Mas, jangan lupa cappuccino-nya!" tegur suara itu lagi.
"Ya, nanti saya bikinkan. Duduknya di mana?"