Jika sebelumnya saya pernah membahas tentang batik Tangsel di Kompasiana, kali ini saya kembali diundang Kompasiana untuk menghadiri acara peluncuran buku tentang Batik Pekalongan yang diselenggarakan oleh BCA dalam sebuah formattalkshow pada Selasa, 23 Mei 2017 siang tadi.
Acara talkshow atau bincang santai ini menghadirkan empat orang pembicara dari Kementerian dan tokoh yang lama berkecimpung di dunia batik Indonesia. Mereka adalah IbuNita Kenzo, Ketua Yayasan Batik Indonesia; Bapak Suryani selaku Rektor Universitas Pekalongan, Ibu Poppy Savitri sebagai Direktur Edukasi dan Ekonomi Kreatif Badan Ekonomi Kreatif (disingkat BEKRAF). Selain itu hadir juga Bapak Jahja Setiaatmadja selaku Presiden Direktur BCA.
Mengangkat tema ‘Khasanah Batik Pesona Budaya’, talkshow yang bertempat di Kafe BCA, Menara BCA Thamrin lantai 22 ini juga mengundang beberapa orang mahasiswa dari BCA Corporate University. Tujuannya agar generasi muda dapat mengenal lebih dekat rekam jejak falsafah batik dari masa ke masa, sehingga diharapkan mereka dapat mengapresiasi batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia.  Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel sebelumnya, batik memiliki makna filosofis yang terkandung dalam setiap motif, disain dan teknik pewarnaannya yang melambangkan kearifan lokal bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya UNESCO mengakui secara resmi Batik Indonesia sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia.
Konon, warna indigo sudah dipakai oleh raja-raja sejak zaman tahun 2500 SM silam yang melambangkan kekuasaan dan kebijaksanaan. Masyarakat di Pulau Jawa juga sudah lama mengenakan batik warna biru indigo karena nilai filosofi yang terkandung dalam motifnya menyatu dengan alam. Oleh karena itu, mengenakan kain batik sepatutnya tidak boleh sembarangan terutama untuk motif-motif tertentu, karena ada yang namanya ethical fashion dalam batik. Ibu Poppy sendiri bercerita bahwa dia pernah 'saltum' mengenakan motif batik dari Bali yang biasanya dipakai untuk upacara kematian malah dikenakannya untuk acara santai.
Hal ini sungguh menggembirakan, mengingat pada tahun 1995 sempat terjadi krisis batik. Di Pekalongan, masyarakatnya sampai tidak mampu lagi menjual batik karena persediaan kain mori, kain tenun yang digunakan untuk membatik, telah habis. Maka itu , Ibu Nita bercerita bahwa Gerakan Batik Rakyat dicanangkan untuk mengangkat motif-motif batik dari Jawa Tengah. Selain itu, Ibu Nita mengikuti pameran batik dalam negeri dengan mengusung warna batik indigo pada tahu 2009 yang mendapatkan animo luar biasa dari pengunjung. Berkat partisipasinya dalam berbagai pameran, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan mengundangnya untuk mengikuti pameran di luar negeri demi memperkenalkan batik Indonesia, terutama motif-motif kuno yang memiliki nilai adiluhung.
Demi lebih meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap Batik, BCA memberikan dukungan penuh dalam mempertahankan eksistensi Pekalongan sebagai kota Batik. Usaha yang telah dilakukan BCA antara lain meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir di Wiradesa sebagai salah satu Desa Wisata Binaan BCA. Bank swasta terdepan di Indonesia ini juga mewajibkan para karyawannya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke untuk mengenakan seragam Batik Hoko BCA yang diproduksi oleh para pengrajin batik di Pekalongan. Terakhir, acara talkshow ditutup dengan peluncuran buku ‘Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa’ yang ditulis oleh Bapak Budi Mulyawan, dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H