Jangan harap menonton filmnya Mira Lesmana dan Riri Riza kali ini akan sama rasanya seperti waktu menonton film AADC, setidaknya untuk film Athirah. Itu kesan yang saya dapatkan saat berkesempatan menyaksikan gala premier-nya yang digelar di Epicentrum XXI, 26 September tadi malam. Athirah, adalah film yang penuh dengan bahasa-bahasa gambar yang puitis, yang mengundang penonton untuk menginterpretasikan adegan demi adegan dalam dialog minim. Sepertinya, Riri Riza kembali menampilkan kemampuan sinematografisnya yang maksimal dalam kapasitasnya sebagai seorang sutradara mumpuni.
Sejak awal film, penonton sudah diajak untuk mempertajam panca inderanya dan menyimak visualisasi kekayaan alam Sulawesi Selatan, tepatnya pedalaman Bone zaman sekitar tahun 1950-an pada saat terjadinya pemberontakan Permesta. Lalu, adegan beralih ke kota Makassar, dengan iringan dan tabuhan musik yang rancak, ketika pasangan Athirah muda memutuskan menetap di kota tersebut.
Athirah, Sang Wanita Tegar
Di sinilah kisah mulai bergulir melalui bahasa-bahasa gambar yang interpretatif untuk memperkenalkan keluarga Athirah. Penonton diajak untuk menyaksikan kegiatan Puang Aji, suami Athirah, di dalam sebuah gudang merangkap toko yang luas dengan beberapa orang anak buah, kertas-kertas catatan dan timbangan, yang menyimpulkan bahwa ia adalah saudagar terpandang di Makassar. Â Selain Puang Aji, penonton juga diperkenalkan dengan kegiatan Athirah sebagai istri yang melayani suami dan anak-anaknya: membantu Puang Ajji merapikan pakaian yang dikenakannya, menyiapkan hidangan di atas meja makan untuk keluarga.
 Bahkan, sesekali Athirah ikut membantu kegiatan administratif Puang Aji di toko. Dalam hal menyiapkan hidangan untuk keluarga pun ditampilkan secara detail makanan yang disajikan dengan penganan serba ikan, seperti gulai ikan dan ikan bumbu cabai merah. Ini mengingatkan saya pada kunjungan-kunjungan yang pernah saya lakukan ke Makassar, ikan memang merupakan makanan khas dan kebanggaan kota yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia Timur ini. Juga pada tradisi makan bersama-sama, khususnya pada film ini adalah makan bersama seluruh anggota keluarga.
Yang menarik dalam film ini, diperlihatkan bahwa meskipun Puang Aji sudah memiliki istri kedua, Athirah tetap berhasil memikat sang suami dengan mengenakan giwang serta kalung emas yang dibelinya sendiri, sehingga Athirah pun kembali mengandung anak kelima. Sebelumnya, saat ditinggalkan Puang Aji, Athirah sempat hamil anak keempat dan melahirkan tanpa ditemani suaminya.
Peran Ucu Sebagai Anak Kebanggaan Athirah
Meskipun banyak gambar dan visualisasi adegan yang puitis-interpretatif, Riri Riza tak lupa menyelipkan unsur-unsur komedi baik dalam tindak tanduk maupun dialog. Misalkan saat Athirah memelet suaminya agar tidak berpaling ke wanita lain: ia menggulung guntingan rambutnya dalam sebuah kain dan menuangkannya ke gelas minum sang suami. Namun, gulungan itu jatuh dan menggelinding di antara perabotan ketika anak perempuan Athirah masuk ke dapur dan mengagetkannya. Atau ketika Ucu (Jusuf Kalla), anak laki-laki Athirah yang beranjak puber dan naksir seorang gadis bernama Ida. Kalau biasanya Ucu selalu berangkat dan pulang berdua dengan teman laki-lakinya membawa vespa, suatu hari ia meminta temannya itu untuk pulang sendiri. Ternyata, Ucu merayu Ida agar mau pulang bersama dengan vespanya.
Kisah mengenai Ucu sendiri di film ini juga mendapat porsi khusus dalam kapasitasnya sebagai anak lelaki yang dapat diandalkan Athirah. Athirah selalu yakin bahwa suatu hari sang jagoannya itu kelak akan menjadi orang besar. Keyakinan itu diperkuat melalui visualisasi tatkala Athirah memakaikannya sebuah peci yang dibuat dari benang emas peninggalan Raja Bone.