Awalnya, sejak saya mengetahui film ini diluncurkan, saya tidak pernah ingin menontonnya. Tidak mau, karena akan mengingatkan saya pada ibu yang saat itu juga sedang menderita stroke. Untuk apa saya nonton film tentang orang yang terserang stroke, kalau keluarga sendiri saja mengalaminya. Pasti bawaannya sedih melulu. Meskipun film berjudul The Diving Bell and The Butterfly (terjemahan Prancis dari Le Scaphandre et Le Papillon) ini memenangkan banyak penghargaan, salah satunya Sutradara Terbaik di Festival Film Cannes tahun 2007.
Tetiba, kali ini ayah saya yang mendapat giliran terserang stroke. Dan kali ini, mengapa penderitaan itu terasa lebih berat dengan adanya beberapa musibah bertubi-tubi yang menimpa kami (tidak usah saya ceritakan di sini). Saya kembali teringat dengan film itu, film Prancis yang menceritakan kisah seorang penderita stroke dan katanya mendapat banyak penghargaan. Katanya, 'warna' film itu terasa begitu halus, lembut, dan saya juga baru tahu ternyata ceritanya diangkat dari kisah nyata. Mungkin saja kisah dari film tersebut akan menjadi penyemangat, setidaknya bagi saya.
Adalah Jean-Dominique Bauby, seorang editor majalah wanita terkemuka di dunia, Elle, yang mendadak mendapat serangan stroke fatal pada suatu hari di musim gugur tahun 1997 ketika sedang menemani putra sulungnya menyusuri jalanan pedesaan di sebuah mobil kap terbuka. Ia sendiri yang mengemudikan mobil tersebut, sementara putranya, Theophile, menyimak cerita sang ayah.
Di rumah sakit, Jean-Do menjalani berbagai terapi. Salah satunya adalah terapi wicara yang dipandu oleh seorang terapis wanita, Henriette. Yang menarik, di sini saya mengamati bahwa alfabet yang diajarkan oleh terapis tersebut bukanlah alfabet dalam urutan yang biasa kita pelajari, mulai dari A sampai Z. Melainkan huruf-huruf yang sering dipakai dalam kalimat dan kata-kata bahasa Prancis, yang dimulai dari huruf E, lalu S, A, R, I, N, T, U dan seterusnya. Dan Jean-Do harus memilih salah satu dari huruf tersebut dengan cara mengedipkan mata sebelah kirinya sekali.
Yang ironis, seperti halnya yang sering diucapkan orang-orang... ketika Jean-Do terserang stroke inilah, justru keluarganya yang merawatnya dengan sepenuh hati. Sang istri yang sudah berpisah dengan Jean-Do, dengan tulus selalu menjenguk pria flamboyan ini bersama anak-anaknya. Celine, nama istrinya, juga tampak sangat tegar ketika suatu hari menerima telepon dari kekasih suaminya, yang dengan suara isak tangis bertanya, "Kamu ingin aku ke sana?"
Yang menakjubkan dari sosok Jean-Do dengan fisik yang terkulai tidak berdaya ini justru adalah semangatnya untuk meninggalkan sebuah kenangan berharga dalam hidup. Ia mempunyai misi untuk menulis buku, dan itu ia wujudkan dengan dibantu oleh Claude, si juru tulis. Tidak dijelaskan berapa bulan waktu yang ia habiskan untuk mengedipkan matanya hingga bukunya selesai. Namun yang jelas, dua hari setelah bukunya terbit, Jean-Do pun menghadap ke haribaan Ilahi. Â
Namun ada beberapa hal yang membuat saya penasaran di sini dan tidak diungkapkan di film. Mungkin karena awalnya Jean-Do memang bermaksud menceritakannya untuk publik Prancis ya... seperti tidak dikisahkan berapa banyak dana yang dihabiskan untuk perawatan intensifnya sejak ia terserang koma selama 20 hari sampai saat kematiannya.