Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Interpreter dan Mengikuti "Event" Internasional

17 Agustus 2017   18:55 Diperbarui: 24 Agustus 2017   17:18 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya belum banyak yang saya lakukan untuk Indonesia. Sudah empat tahun terakhir, sebelum saya resignpada pertengahan tahun 2016, saya justru bekerja untuk institusi asing. Meskipun begitu, misi saya tetap selalu untuk bangsa dan negara tercinta.

Klise, kesannya. Tapi, memang benar, ketika saya bekerja untuk institusi asing justru keinginan saya untuk mengangkat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih terhormat dan lebih disegani semakin menyala-nyala.

Saya pernah mendadak didaulat untuk menyampaikan pidato di acara pertemuan tahunan universitas-universitas Prancis dan Indonesia yang berlangsung di kota Medan sekitar tahun 2014 yang lalu. Di pidato itu saya diminta menyampaikan pesan dan kesan mewakili mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Prancis.

Menyampaikan pidato mewakili alumni Indonesia yang pernah berkuliah di Prancis pada acara pertemuan universitas-universitas Prancis dan Indonesia di Medan, tahun 2014 silam. (Dokumentasi Pribadi)
Menyampaikan pidato mewakili alumni Indonesia yang pernah berkuliah di Prancis pada acara pertemuan universitas-universitas Prancis dan Indonesia di Medan, tahun 2014 silam. (Dokumentasi Pribadi)
Saya jadi teringat ketika saya masih menjadi pekerja lepas (freelance) sepanjang tahun 2010 hingga 2013. Usia saya pada waktu itu memang masih terbilang muda, sehingga saya sering ditawari teman-teman, yang kebetulan mempunyai kenalan-kenalan di beberapa instansi, untuk menjadi interpreter, notulen, dan tugas-tugas kenegaraan lainnya di event atau acara internasional.

Event-event yang dimaksud misalkan konferensi negara-negara anggota OPEC yang berlangsung pada tahun 2012 lalu. Saya bersama beberapa teman alumni jurusan sastra Prancis menjadi interpreter untuk negara-negara yang penduduknya berbahasa Prancis, atau disebut negara frankofon. Dari acara tersebut, saya jadi tahu lebih banyak mengenai negara-negara frankofon di luar benua Eropa yang didominasi oleh negara-negara di sepanjang daratan Afrika, seperti Mali, Senegal, Kongo, Mauritius, Burkina Faso. Saya juga jadi mengenal karakter bangsa-bangsa Afrika yang tentunya jauh berbeda dengan mantan penjajahnya, namun kini menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa keseharian mereka. Saya juga jadi menyadari bahwa bangsa-bangsa di Afrika mempunyai karakter yang lebih mirip bangsa Asia ketimbang Eropa: murah senyum, relijius, kekeluargaan, hobi berbelanja bahkan sampai kulakan alias berkarung-karung, tapi memang... lebih cerewet dan lebih pintar menawar, he he he...

Saya menjadi interpreter untuk tiga orang delegasi dari Mali, Oktober 2012, bersama seorang polisi pengawal dari Palembang. (Dokumentasi Pribadi)
Saya menjadi interpreter untuk tiga orang delegasi dari Mali, Oktober 2012, bersama seorang polisi pengawal dari Palembang. (Dokumentasi Pribadi)
Bagaimana pun, saya yang menjadi tuan rumah tetap harus bersikap profesional dan menjaga imej bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan berbudi. Setidaknya, saya juga harus sabar meladeni beberapa delegasi yang terkadang banyak maunya.

Tapi, ada satu hal yang tidak saya lupakan. Saya pernah diberikan wejangan oleh salah seorang delegasi yang dari awal memang terlihat lebih kalem dan bijak. Katanya, "Kamu mengerjakan apa-apa selalu pelan-pelan dan penuh kehati-hatian. Itu bagus. Mungkin karena kamu ingin hasil yang kamu kerjakan sempurna. Berbeda dengan orang-orang di Eropa sana yang senang mengerjakan segala sesuatunya dengan cepat. Maunya serba terburu-buru, serba cepat. Padahal, kamu tahu kan ada seorang sufi pernah mengatakan, 'la lenteur, c'est le secret du Bonheur.' Bersikaplah pelan-pelan atau berhati-hatilahkarena justru di situlah letak kebahagiaan."

Wah, hidung saya jadi kembang-kempis dipuji seperti itu. Saya pun jadi semakin yakin untuk mempertahankan karakter Indonesia saya, ketimbang menjadi orang yang sok kebule-bulean. Maklum, waktu itu kan saya ceritanya baru satu tahun pulang dari Eropa. Jadi, ceritanya mengalami gegar budaya lagi ketika pulang ke Indonesia. Yah, kebule-bulean dalam hal yang positif boleh saja, misalkan bersikap tepat waktu, profesional dalam bekerja, tidak ikut campur urusan pribadi orang lain. Yah, ambil yang baik-baiknya deh.

Saya pernah juga menjadi notulen bersama dua orang teman lainnya dalam acara konferensi ASPAC, tahun 2012 silam. (Dokumentasi Pribadi)
Saya pernah juga menjadi notulen bersama dua orang teman lainnya dalam acara konferensi ASPAC, tahun 2012 silam. (Dokumentasi Pribadi)
Suatu hari nanti jika diberikan kesempatan, saya ingin kembali mewakili Indonesia di kancah internasional. Apalagi, dengan usia yang semakin matang saya semakin menyadari bahwa menjadi orang Indonesia dengan segala ciri khas karakternya justru lebih membanggakan, daripada kehilangan identitas sama sekali. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun