Rasanya belum banyak yang saya lakukan untuk Indonesia. Sudah empat tahun terakhir, sebelum saya resignpada pertengahan tahun 2016, saya justru bekerja untuk institusi asing. Meskipun begitu, misi saya tetap selalu untuk bangsa dan negara tercinta.
Klise, kesannya. Tapi, memang benar, ketika saya bekerja untuk institusi asing justru keinginan saya untuk mengangkat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih terhormat dan lebih disegani semakin menyala-nyala.
Saya pernah mendadak didaulat untuk menyampaikan pidato di acara pertemuan tahunan universitas-universitas Prancis dan Indonesia yang berlangsung di kota Medan sekitar tahun 2014 yang lalu. Di pidato itu saya diminta menyampaikan pesan dan kesan mewakili mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Prancis.
![Menyampaikan pidato mewakili alumni Indonesia yang pernah berkuliah di Prancis pada acara pertemuan universitas-universitas Prancis dan Indonesia di Medan, tahun 2014 silam. (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/17/pembicara-di-jwg-medan-599583bec492dc7b1a0be082.jpg?t=o&v=770)
Event-event yang dimaksud misalkan konferensi negara-negara anggota OPEC yang berlangsung pada tahun 2012 lalu. Saya bersama beberapa teman alumni jurusan sastra Prancis menjadi interpreter untuk negara-negara yang penduduknya berbahasa Prancis, atau disebut negara frankofon. Dari acara tersebut, saya jadi tahu lebih banyak mengenai negara-negara frankofon di luar benua Eropa yang didominasi oleh negara-negara di sepanjang daratan Afrika, seperti Mali, Senegal, Kongo, Mauritius, Burkina Faso. Saya juga jadi mengenal karakter bangsa-bangsa Afrika yang tentunya jauh berbeda dengan mantan penjajahnya, namun kini menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa keseharian mereka. Saya juga jadi menyadari bahwa bangsa-bangsa di Afrika mempunyai karakter yang lebih mirip bangsa Asia ketimbang Eropa: murah senyum, relijius, kekeluargaan, hobi berbelanja bahkan sampai kulakan alias berkarung-karung, tapi memang... lebih cerewet dan lebih pintar menawar, he he he...
![Saya menjadi interpreter untuk tiga orang delegasi dari Mali, Oktober 2012, bersama seorang polisi pengawal dari Palembang. (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/17/bersama-delegasi-dari-mali-5995838a2ba8d1546e36a452.jpg?t=o&v=770)
Tapi, ada satu hal yang tidak saya lupakan. Saya pernah diberikan wejangan oleh salah seorang delegasi yang dari awal memang terlihat lebih kalem dan bijak. Katanya, "Kamu mengerjakan apa-apa selalu pelan-pelan dan penuh kehati-hatian. Itu bagus. Mungkin karena kamu ingin hasil yang kamu kerjakan sempurna. Berbeda dengan orang-orang di Eropa sana yang senang mengerjakan segala sesuatunya dengan cepat. Maunya serba terburu-buru, serba cepat. Padahal, kamu tahu kan ada seorang sufi pernah mengatakan, 'la lenteur, c'est le secret du Bonheur.' Bersikaplah pelan-pelan atau berhati-hatilahkarena justru di situlah letak kebahagiaan."
Wah, hidung saya jadi kembang-kempis dipuji seperti itu. Saya pun jadi semakin yakin untuk mempertahankan karakter Indonesia saya, ketimbang menjadi orang yang sok kebule-bulean. Maklum, waktu itu kan saya ceritanya baru satu tahun pulang dari Eropa. Jadi, ceritanya mengalami gegar budaya lagi ketika pulang ke Indonesia. Yah, kebule-bulean dalam hal yang positif boleh saja, misalkan bersikap tepat waktu, profesional dalam bekerja, tidak ikut campur urusan pribadi orang lain. Yah, ambil yang baik-baiknya deh.
![Saya pernah juga menjadi notulen bersama dua orang teman lainnya dalam acara konferensi ASPAC, tahun 2012 silam. (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/17/uglc-aspac-2012-599583fec492dc76b26cab75.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI