Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dark Humor dan Realita dalam Baku Tembak ala Scorsese

18 Mei 2017   21:49 Diperbarui: 22 Mei 2017   19:29 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Martin Scorsese, sutradara senior Amerika Serikat yang sudah menghasilkan sekitar delapan puluh film dan hampir semuanya pernah menyabet piala Oscar. (foto: nbcnews.com)

Jujur, saya bukan penggemar film-filmnya Martin Scorsese. Meskipun di film yang satu ini, tokoh perfilman senior Amerika Serikat yang sudah menghasilkan sekitar delapan puluh film ‘hanya’ terlibat sebagai produser eksekutif. Mengapa?

Yah, style film yang dihasilkan dengan ciri khas cenderung dark, muram, rata-rata menampilkan setting Amerika zaman tahun 1960-1970-an atau lebih tua dari itu. Apalagi jika film yang dibuatnya masuk ke kategori dewasa, sudah pasti kata-kata kasar sumpah-serapah dengan kosakata khas ‘Amerika banget’ berseliweran di sepanjang film.

Sebut saja Gangs of New York, Taxi Driver, The Wolf of Wall Street. Tapi justru itu banyak dari filmnya yang diganjar penghargaan Oscar, karena dianggap mampu menampilkan realita dan kultur masyarakat zaman itu apa adanya tanpa bumbu romansa atau drama berlebihan. Scorsese juga yang berhasil menampilkan kualitas akting terbaik Leonardo di Caprio sehingga aktor satu ini sering dipakainya untuk banyak film besutannya.

Martin Scorsese, sutradara senior Amerika Serikat yang sudah menghasilkan sekitar delapan puluh film dan hampir semuanya pernah menyabet piala Oscar. (foto: nbcnews.com)
Martin Scorsese, sutradara senior Amerika Serikat yang sudah menghasilkan sekitar delapan puluh film dan hampir semuanya pernah menyabet piala Oscar. (foto: nbcnews.com)
Oh, ada satu sih film garapan Scorsese yang lumayan saya suka, yaitu Hugo. Film dengan tokoh anak-anak ber-setting Prancis zaman revolusi industri, menampilkan kepedihan hidup a la tokoh Oliver Twist dari novelnya Charles Dickens, tapi tidak pakai acara tangisan dan belas kasih yang mengiba.

Namun bukan itu yang hendak saya tulis di sini, melainkan Free Fire yang digarap bersama-sama dengan sutradara asal Inggris Ben Wheatley. Film berlatar tahun 1970-an dengan kostum celana cutbray baju warna-warni dengan dandanan mencolok mengambil lokasi di sebuah gudang terbengkalai, di suatu tempat di Amerika Serikat. Tokoh-tokoh di dalamnya ternyata sedang berjual-beli senjata selundupan, dengan berbagai asal-muasal. Ada seorang tentara pemberontak Irlandia, seorang pengedar senjata selundupan asal Afrika Selatan, ada juga seorang pendukung partai sosialis revolusioner Black Panther.

para pemain di Free Fire mengenakan kostum dan gaya khas tahun 1970-an dengan warna-warni mencolok. (foto: empireonline.com)
para pemain di Free Fire mengenakan kostum dan gaya khas tahun 1970-an dengan warna-warni mencolok. (foto: empireonline.com)
Menyaksikan film ini, walaupun ceritanya tidak berat, akan lebih menyenangkan jika penontonnya punya pengetahuan cukup tentang budaya dan sejarah dunia Barat mengawali zaman kontemporer di tahun-tahun tersebut. Maksudnya supaya bisa menangkap dialog-dialog segar serta lelucon yang mereka lontarkan satu sama lain, walaupun untungnya sebagian besar dialog lebih mengarah kepada kekonyolan mereka saat melakukan aksi baku tembak.

Jadi, meskipun ini film tentang para kriminal atau penyelundup senjata, jangan harap kita akan menyaksikan adegan dramatis layaknya film die-hard action. Menggetarkan dan mendebarkan juga tetap ada, tapi itu lebih karena desingan peluru yang nyaris mewarnai setengah film. Pun adegan kematian yang digambarkan wajar, cenderung konyol, tapi tetap bisa saja terjadi di kehidupan nyata. Plus tetap mengiris ulu hati, meskipun tidak semiris The Raid, tatkala kematian tersebut digambarkan begitu apa adanya (ah saya sendiri tidak tahu bagaimana melukiskannya dengan kata-kata :D).

Yang jelas, penonton disuguhkan bahwa sebuah adegan baku tembak ternyata tidak melulu harus serius, bahkan ketika salah satu dari teman kita atau kita sendiri tertembak. Hidup untuk apa diseriusi, yang penting pikirkan bagaimana caranya bisa survive.

Brie Larson, satu-satunya pemeran wanita dalam film Free Fire, juga digambarkan jago adu tembak. (foto: variety.com)
Brie Larson, satu-satunya pemeran wanita dalam film Free Fire, juga digambarkan jago adu tembak. (foto: variety.com)
Sayangnya, film ini terlalu banyak tokoh dalam satu ruang dan satu waktu, yang mungkin bisa membuat penonton tidak fokus. Ditambah lagi dialog yang agak terlalu berkepanjangan di awal hingga pertengahan film. Walaupun para pemerannya berusaha mengeluarkan akting terbaik, termasuk Brie Larson, satu-satunya tokoh perempuan di film ini, yang memenangkan Oscar untuk akting terbaiknya di film Room (2015).

Tokoh lainnya yang mungkin juga dikenal publik Indonesia antara lain Armie Hammer (bermain di Mirror Mirror (2012)), Cillian Murphy (Inception, Batman Begins), Sam Riley (Maleficent (2014)).

Buat penggemar film-filmnya Scorsese, film ini bisa jadi salah satu referensi penguat akan ciri khas karya-karyanya yang realis, penuh humor kasar (dark humor), namun menggambarkan bahwa manusia pun masih bisa bergurau dalam himpitan kesulitan, maksudnya di tengah-tengah ajang baku tembak, bahkan mendekati kematian sekalipun. Hati-hati, jangan membawa penonton anak-anak, ya ;). ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun