Menonton film tentang konflik dan peperangan sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Dimulai dari film tentang Perang Vietnam semasa saya masih SD, lalu film tentang konflik rasial yang melanda kaum Yahudi selama Perang Dunia II dengan berbagai versi, hingga film tentang konflik antaretnis di Sarajevo. Setidaknya sampai beberapa tahun yang lalu saya memutuskan untuk tidak lagi menonton film tentang perang, kecuali kalau film perang itu diangkat di masa berpuluh-puluh hingga seribu tahun silam yang mengandung unsur mitologi, sejarah, filsafat dan bumbu-bumbu romantisme. Misalkan film peperangan yang terjadi pada zaman Yunani-Romawi Kuno, atau film yang mengangkat kisah Perang Salib biasanya suka diselipkan kisah percintaan antar tokohnya.
Namun, saya tak pernah berani menonton film tentang konflik dari negeri sendiri. Entah karena unsur kesadisannya lebih terasa, atau karena sebenarnya konflik itu terasa begitu dekat, yang terjadi di Tanah Air tercinta. Meskipun pada zaman sekitar tahun 80 hingga 90-an akhir hampir setiap tahun saya dicekoki film tentang Gestapu (atau Gerakan Tiga Puluh September), akan tetapi saya tidak pernah berani menontonnya hingga habis.
Sampai akhirnya Jum’at malam kemarin saya mendapatkan undangan nobar film Indonesia berjudul Night Bus, yang… lagi-lagi mengangkat tentang konflik. Tepatnya, konflik yang terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi di Tanah Rencong pada sekitar tahun 90-an. Apalagi, genre yang diangkat lebih mendekati thriller, walaupun ada juga unsur melodrama.
ada seorang dokter perempuan berjilbab dengan logat asli daerah tersebut, ada seorang seniman tuna netra yang hampir sepanjang dialognya diuntaikan dalam nada, ada seorang aktivis LSM, dan ada seorang nenek dengan cucunya yang ingin menjenguk makam anaknya. Perjalanan dalam bus yang memakan waktu 12 jam melewati seluk-beluk rimbunnya perbukitan Sumatera yang indah dan elok dipandang mata.
Akan tetapi, keelokan itu hanya dinikmati sementara. Sebab, ketika malam menjelang, mulailah terjadi berbagai aksi yang membuat penonton menarik napas, bergidik, dan terhanyut dalam ketegangan. Dimulai dari seorang tentara bersimbah darah yang nyaris ditabrak kemudian diangkut masuk ke dalam bus.
Diduga tentara yang sudah semaput itu (dimainkan oleh Alex Abbad) adalah salah satu anggota pasukan separatis Sampar Merdeka. Tentara ini awalnya bersikap cukup bersahabat, terutama dengan Leyla, sang anak kecil yang dibawa neneknya, dan diberikan seutas kalung dari tali kulit dengan sebuah pesan di dalamnya. Mendadak tentara itu tiba-tiba menghunus senjata pisau ke semua penumpang dan meminta harta untuk dibawanya lari.
Dari film ini, kita belajar bahwa konflik hanya menyengsarakan penduduk sipil, bahkan untuk penumpang bus antarkota sekalipun. Seperti biasa yang disiratkan dari film-film tentang perang, yang menjadi korban justru kebanyakan masyarakat sipil yang hanya ingin kedamaian dan penghidupan lebih baik di muka bumi.
Meskipun dalam Night Bus, dikisahkan ada penyusup di dalam bus tersebut, yang sebenarnya hendak membawa pesan untuk pasukan separatis di kota yang dituju. Maka, kematian pun menghampiri satu-persatu hampir seluruh penumpang di dalamnya. Siapa saja yang tersisa, siapa saja yang selamat hingga tujuan, dan apakah pesan itu berhasil disampaikan, membuat penonton bertanya-tanya hingga akhir film.
Ada satu adegan yang sangat menyentuh bagi saya, yaitu ketika sang seniman menampar komandan tentara ketika bus mereka dihentikan pasukan separatis dan penumpangnya dipaksa turun. Sang seniman yang memang diperankan oleh seniman asli asal Aceh, Agus Nuramal atau lebih dikenal dengan nama panggung PM Toh, menantang komandan pasukan separatis untuk membalas tamparannya sambil berkata dengan suara terbata-bata, “Anak-Anak Sampar bukan pembunuh, bukan anak-anak pendendam.”