Pencinta dunia balet, terutama balet klasik, pasti sudah nggak asing dengan tarian Swan Lake, Coppelia, atau Carmen. Para pencinta balet, baik yang memang bisa menari (disebut balerina), atau pengamat balet seperti saya, pastinya juga mengenal nama-nama teater dan akademi balet terkemuka di dunia seperti Bolshoi dari Rusia, The Royal Ballet dari Inggris, atau Paris Opera Ballet dari Prancis. Dari Amerika juga tidak ketinggalan ada New York City Ballet.
Di Indonesia, kita mengenal nama-nama sekolah balet terkemuka seperti Namarina yang menelurkan Yetty Maika dan Ai Syarief sebagai dancer dan koreografer professional, dan Sumber Cipta milik Farida Feisol yang pernah mengenyam pendidikan formal balet di Rusia. Sayangnya, balet di Indonesia hingga kini masih belum terlalu akrab di kalangan masyarakat, karena masih dianggap tarian kelas menengah ke atas.
Berhubung tari balet dan tari kontemporer masih jarang diminati masyarakat Indonesia, maka ibu Juliana yang penari sekaligus pengusaha di bidang event management berpendapat bahwa Indonesia perlu menyelenggarakan lebih banyak lagi event yang berhubungan dengan seni tari. Selain itu, dengan adanya lebih banyak event maka penari pun lebih termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya. Untuk itu, berbagai program setiap tahunnya dicanangkan oleh IDS seperti Dance Prix Competition Indonesia, talk-show, master class, dan acara meet and greet. Termasuk event yang akan digelar Sabtu 4 Februari malam ini, yaitu International Ballet Star Gala di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pembicara lainnya, Gianti Giadi yang akrab disapa Mbak Gigi, dikenal sebagai koreografer, guru tari, dan pemilik sekolah tari Gigi Art of Dance yang berdiri sejak tahun 2009. Sebelumnya Mbak Gigi pernah bekerja sebagai penari profesional selama dua belas tahun di Singapura, dan pernah diberikan kepercayaan untuk mengajar kelas tari anak-anak down syndrome. Oleh karena itu, motto yang dipegangnya untuk sekolah tari miliknya di Indonesia adalah “open for everything, no limits”. Di sekolah tarinya kita bisa belajar semua jenis tarian, mulai balet, hiphop, jazz kontemporer, tarian a la panggung Broadway, hingga tari-tarian daerah.
Yang uniknya lagi, sekolah tari Gigi Art of Dance terbuka untuk semua umur, bahkan untuk yang usia kepala tiga ke atas seperti saya, ha ha ha. Suwer, saya iseng bertanya kepada Mbak Gigi saat diskusi, bagi saya yang pernah belajar tari balet hanya sebentar, lalu ingin melanjutkan lagi setelah lama jeda, apakah masih bisa? Dengan lugas Mbak Gigi menjawab, “Tidak ada kata terlambat untuk menari.” Bahkan, menurut ceritanya, banyak ibu-ibu yang sudah punya anak atau yang usianya sudah tidak muda lagi belajar tari balet di sekolahnya. Pesan dari Mbak Gigi bagi para penari, bahwa setiap penari harus jujur pada dirinya sendiri sehingga punya gaya menari tersendiri yang merupakan signature style sang penari. Menurut saya juga orisinalitas dalam dunia kreatif itu memang penting, apa pun jenis kreativitas yang kita tekuni.
Sang penari internasional, Adiarys Almeida juga tidak ketinggalan berbagi cerita soal pengalaman hidupnya menari. Penari asal Kuba yang mempelajari tari balet sejak usia enam tahun ini pernah mengalami cedera berat pada tahun 2008 yang menyebabkan enam luka fraktur pada bagian lutut dan kaki. Saat itu, Adiarys yang telah mengabdikan hidupnya untuk dunia seni tari sempat berpikir, apakah karirnya akan berakhir sampai di situ? Untungnya Adiarys yang cantik dan murah senyum ini juga hobi menggambar dan mendisain, sehingga ia mengajak teman masa kecilnya untuk mendirikan toko onlineyang menjual kostum untuk kebutuhan panggung, termasuk kostum tari. Ia memulai bisnisnya itu sejak tahun 2013 dengan nama dagang Adi Dancewear. Kompasianer bisa menjenguk website tokonya di www.adidancewear.com.
Adiarys juga akan ikut menari dalam International Ballet Star Gala pada hari Sabtu malam nanti. Jadi, buat Kompasianer yang beruntung terpilih untuk menyaksikan pertunjukan berkelas internasional ini, jangan sia-siakan yah ;). ***