Kini, museum bukan sekadar menjadi tempat pemajangan barang-barang antik belaka. Dengan semakin banyaknya pilihan kegiatan berakhir pekan, museum-museum di Jakarta pun ikut menyemarakkan pilihan tersebut dengan mengadakan berbagai aktivitas terkait seni dan budaya. Salah satunya, Museum Nasional (atau disebut juga Museum Gajah) yang pada hari Sabtu, 30 Juli kemarin mengadakan bedah buku sekaligus pementasan kesenian daerah, yaitu tarian Jaran Kepang. Saya juga nggak terlalu ngeh kalau belum melihat wujud dari Jaran Kepang itu yang ternyata adalah kuda lumping. Lalu, apa hubungannya antara bedah buku dengan tari kuda lumping?
Adalah Genduk, judul novel yang diangkat dalam acara bedah buku Sabtu lalu itu, yang mengambil setting tahun 1970-an di sebuah dusun di Jawa Tengah dekat kota kecil yang berbatasan dengan Dieng dan Wonosobo. Kota itu adalah Temanggung, yang dalam novel diceritakan sebagai kota para petani tembakau yang hidupnya bergantung dari hasil panen daun tersebut, termasuk Yung, ibunda Genduk. Â
Sayangnya, kehidupan keras Yung membuat Genduk tidak bisa terlalu dekat dan terbuka dengan Genduk, sehingga ia merindukan sosok sang ayah yang tak pernah dilihatnya sejak lahir. Yang menarik dari novel ini, selain unsur lokalitas yang kental, mulai dari bahasa, penggambaran tentang dusun di puncak Gunung Sindoro, juga penggambaran adegan tarian kuda lumping yang secara tidak sengaja menghabisi nyawa seorang kerabat dekatnya. Tapi, tenang saja, tarian kuda lumping yang saya saksikan di Museum Nasional tidak ada adegan-adegan kesurupan seperti yang biasa dipertontonkan ;).Â
Ternyata, saya baru tahu kalau tari kuda lumping itu ada banyak ragamnya. Kuda lumping yang diperagakan pada saat acara bedah buku Genduk merupakan tarian kuda lumping asuhan Ibu Kartika Mutiara Sari, putri sulung mantan Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Temanggung, yang terdiri dari 15 orang penari pria dewasa. Â Jadi, tidak ditarikan oleh anak-anak seperti yang pernah saya lihat sewaktu saya masih tinggal di Surabaya. Berbeda dengan tarian Jawa Keraton yang lemah gemulai, tari Jaran Kepang ini sifatnya enerjik, perkasa, meriah, karena memang tarian ini merupakan simbolis keperkasaan pria, juga dianggap sebagai tari-tarian pembuka perang.Â
Selain Ibu Kartika, juga dihadirkan Ibu Sundari Mardjuki sebagai pengarang novel Genduk, yang tulisannya mendapat banyak pujian dari tokoh sastrawan senior seperti Sapardi Djoko Damono dan Ahmad Tohari.  Hal ini bisa dilihat dari sampul depan dan belakang buku. Ibu Sundari memang orang asli Temanggung yang lahir pada tahun 1975 dan sempat menjadi saksi kota tersebut pasca peristiwa Gestapu.Â
Selain itu, Ibu Sundari juga menyaksikan bagaimana industri tembakau mulai berkembang di Temanggung sejak tahun 1970-an, Â yang kemudian menciptakan masalah-masalah baru seperti petani yang terjebak hutang para rentenir tetapi seolah-olah tidak bisa berpindah ke profesi yang lain karena menjadi petani tembakau sudah menjadi pekerjaan yang turun-temurun. Peran Genduk dalam novel ini, yang digambarkan sebagai anak perempuan cerdas (ia sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab ibunya dan akhirnya malah diomeli), berkemauan keras, yang ingin membantu sang ibu agar hasil panennya melimpah dan dibeli dalam jumlah banyak oleh pedagang-pedagang di kota.Â
Sundari menuturkan bahwa ide untuk pembuatan novel tersebut sudah muncul sekitar lima tahun yang lalu, namun baru dituntaskan sekitar satu tahun terakhir setelah ia merasa riset yang dilakukannya sudah cukup untuk menulis, dan kegelisahan-kegelisahannya terhadap konflik batin mulai memuncak. Yang menarik, meskipun banyak menggunakan kata-kata bahasa Jawa, namun membaca novel ini alurnya sangat filmis dan mudah dicerna, Â membuat pembaca merasa seolah-olah ikut dalam keseharian Genduk yang dinamis, senang bermain dan berimajinasi.Â
Saya yang lahir dan besar di kota pun merasa tidak kesulitan membayangkan adegan saat Genduk belajar di sekolah, atau ketika Genduk bermain montor-montor cilik dengan kawan-kawannya yang kebanyakan laki-laki seperti Sapto, Bagio, Darman. Selain itu, meskipun novel ini bukan novel anak-anak, tetapi banyak adegan dan kepolosan Genduk serta teman-temannya yang bisa membuat pembaca tertawa. Seperti ketika mereka diam-diam memakan sesajen saat bermain di ladang, atau tatkala Genduk kebelet pipis dan tidak mau ketahuan Sapto meskipun roknya basah terkena air kencing.Â
Saya rasa, jika Ibu Sundari mau serius mengembangkan tulisan ini hingga menjadi sekuel-sekuel baru, bukan tidak mungkin suatu hari novel Genduk bisa sesukses Laskar Pelangi. Apalagi, latar belakang Ibu Sundari yang juga berasal dari kota kecil yang sering tidak dianggap oleh orang kebanyakan, dan kini menjabat posisi penting di Sony Music Indonesia sebagai Senior Marketing Communication Manager, dapat menjadi inspirasi banyak orang.
 Ibu Sundari juga ternyata seorang penikmat sastra, termasuk di antaranya pengagum karya-karya Andrea Hirata, NH Dini, Sapardi Djoko Damono. Maka itu gaya penulisannya terasa mengalir dan tidak kaku,  seperti orang bercerita saja. Bahkan dalam beberapa bab, Ibu Sundari menunjukkan kepiawaiannya meramu sebuah puisi melalui tokoh Genduk yang digambarkan juga pandai menulis puisi: