Mohon tunggu...
Dina Malika
Dina Malika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunukasi Penyiaran Islam, Fakuktas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Mataram

saya berkepribadian ambivert dan saya hobi menonton drakor, jalan jalan, mendengarkan orang lain bercerira dan lain lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maleman atau Dile Jojor: Tradisi Satu Tahun Sekali pada Bulan Ramadhan

12 Juni 2024   20:31 Diperbarui: 12 Juni 2024   20:41 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumen pribadi

            Setiap sore menjelang waktu maghrib memasuki tanggal 29 Ramadhan, warga masyarakat Desa Dasan Geres Barat, khususnya jam'ah laki-laki akan berkumpul di Masjid untuk mengadakan roah (dzikir bersama). Istilah roah identik dengan kegiatan makan-makan yang diadakan setelah memanjaatkan do'a dan dzikir bersama, maka dari itu, ibu-ibu atau jama'ah perempuan bertugas menyiapkan dan mengantarkan dulang (nasi dan lauk pauk yang ditmpatkan di atas nampan kemudian ditutup dengan kudung saji)  ke masjid untuk disantap saat selesai roah sekaligus sebagai jamuan berbuka puasa. Roah ini dilaksanakan  dalam rangka menyambut suatu tradisi yang rutin dilaksanakan setiap tahun pada bulan ramadhan, masyarakat sasak biasa menyebut dengan malem siwaq likur atau maleman.

            Maleman merupakan tradisi yang dilaksanakan pada malam ganjil, sepeuluh malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu malam ke 21, 23, 25, 27 dan 29 untuk menyambut malam lailatul qadar, mengapa demikian, karena bermakna dalam menyambut malam yang lebih baik daripada seribu bulan dengan cahaya maleman. Biasanya warga masyarakat mulai menjalankan tradisi ini setelah melaksanakan sholat maghrib dan menancapkan maleman di setiap sudut-sudut halaman rumahnya pada malam ganjil ke 21, 23, 25, 27 dan pada malam ke 29 warga masyarakat akan pergi ke kuburan untuk menghiasi kuburan keluarga dan sanak saudaranya. 

            Maleman (dile jojor) ini sudah ada sejak masuknya islam ke Lombok pada abad ke 16. Ulama yang menyebarkan agama islam di Lombok adalah sunan Prapen, pola dakwah yang digunakan dalam penyebaran agama islam sama dengan cara yang pernah dilakukannya di pulau Jawa, ia berdakwah dengan cara menyesuaikan dengan tradisi lokal agar mudah diterima oleh masyarakat setempat. Dile jojor sudah ada sejak sebelum orang-orang mengenal listrik, terutama di Lombok. Masyarakat Lombok pada saat itu hanya menggunakan lampu minyak tanah untuk menerangi dalam rumah, dan dile jojor digunakan sebagai penerang jalan. Dile jojor dalam bahasa indonesia artinya lampu tegak atau obor kecil yang terbuat dari jamplung atau nyamplung yang dihaluskan, dibungkus dengan kapas, dicampurkan dengan minyak tanah dan digulung pada bambu yang sudah dibuat seperti batang sate pusut (makanan tradisional Lombok) sepanjang 15-20 cm.

Dahulu masyarakat Lombok memanfaatkan dile jojor ini sebagai penerang jalan untuk orang-orang pergi melaksanakan sholat tarawih dan mengantarkan zakat fitrah ke masjid dan juga sebagai pengingat malam sepuluh terakhir untuk menyambut lailatul qadar. Masyarakat sasak memaknai tradisi dile jojor atau maleman ini sebagai tradisi menyambut malam lailatul qadar, kedatangan arwah sanak saudara yang sudah meninggal, kedatangan bidadari ke bumi dan lain sebagainya. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan arus informasi di era digital ini, orang-orang tidak lagi memaknai maleman atau tradisi dile jojor ini seperti orang-orang terdahulu, tetapi ada juga yang masih percaya dengan hal-hal seperti pemaknaan diatas.

            Kepercayaan dengan hal-hal sakral atau mistis saat menjalankan tradisi maleman, seperti keluarga dan kerabat yang meninggal akan pulang kerumahnya dahulu di dunia, masih di percayai oleh sebagaian orang hingga saat ini. "saya masih mempercayai hal sakral atau mistis seperti itu karena mewarisi kepercayaan orang tua" kata Alvira, remaja kelas tiga SMP.

Sementara Alya, remaja kelas dua SMA, tidak mempercayai cerita tentang keyakinan orang dulu tentang tradisi maleman ini, menurutnya hal seperti itu tidak akan terjadi. "hal mistis seperti itu tidak mungkin terjadi di zaman sekarang" "saya hanya ikut menjalankan dan ikut memeriahkan tradisi saja" lanjutnya.

            Tradisi maleman ini tetap dijalankan dan diwariskan agar menjadi pengingat bahwa malam lailatul qadar akan tiba dan pengingat agar ibadah semakin dikuatkan karena bulan yang mulia dan penuh berkah akan segera menuju hari yang fitri. "tradisi maleman ini kami harap terus dijaga dan dijalankan setipa tahun" Ucap Akmal, salah seorang tokoh masyarakat Desa Dasan Geres. "semoga anak cucu kita selalu menjaga tradisi dan budaya positif seperti ini" lanjutnya. Mengenai keyakinan orang dahulu tentang hal sakral dan mistis tersebut, Akmal berpesan untuk menghormati keyakinan orang terdahulu, kembali ke keyakinan dan kepercayaan masing masing saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun