Tadi sore saat ibadat sore bersama,teringat olehku wajah seseorang. Saya sempat mengabaikan wajah itu,mungkin saya  terlalu larut dalam angan sehingga wajah itu terus muncul dalam pikiran saya. Â
Dan memang saya melihat wajah itu ketika menyaksikan misa requem tadi pagi dan tadi siang. Saya berusaha untuk mengabaikan perasaan itu,akan tetapi hingga completorium wajah itu terus muncul dalam angan saya. Saya mencoba memikirkan yang lain tapi toh juga wajah itu yang muncul. Akhirnya Saya mencoba untuk menenangkan diri,berdiam diri dan berdoa untuknya semoga ia baik-baik saja.
Saya merenungkan peristiwa singkat itu ? Ada apa dibalik sebuah wajah ? Barangkali peristiwa ini mau menyampaikan sesuatu. Wajah memaksudkan kehadiran personal seseorang yang memungkinkan aku mengenalnya sebagai realitas yang bukan aku sekaligus memberi makna terhadap kehadiranku. Wajah secara polos, tanpa kepalsuan, merepresentasi diri seseorang bagiku. Dengan menatap wajah, aku mengenal sesamaku dan wajah yang tampak itu membuatku juga mengenal diriku.
Pada wajah tergambar segala isi hati dan isi pikiran seseorang yang melukiskan banyak hal. Sedih, galau, marah, cemburu dan gembiranya seseorang dapat dilihat dari wajahnya sehingga saya bisa merasakan sesuatu dibalik wajah itu. Saya atau Kita pasti ikut bahagia ketika melihat wajah yang berseri-seri dan dihiasi oleh senyuman yang indah. Memang tampilan wajah tidak bisa direkayasa, kalaupun bisa pasti ketahuan mana wajah asli mana yang wajah topeng.Â
Ketika membayangkan seseorang, hal yang muncul adalah wajahnya. Semakin diperjelas lagi wajahnya, segala kenangan akan hal yang terjadi dengan dirinya pasti akan muncul dan mempengaruhi seseorang itu bertindak sesuai dengan emosi apa yang disertakan saat mengingat wajah itu.
Permenungan Levinas tentang fenomena perjumpaan aku dengan "Yang lain" (sesama) menggagas suatu cara pandang baru tentang realitas "Yang lain". Identifikasi wajah hanya sebatas pada kategori ciri-ciri fisik mengaburkan pemahaman akan suatu fakta universalitas keberadaan manusia. Akar dari segala perlakuan yang mereduksikan martabat orang lain menjadi sebuah obyek bagi diri saya adalah ketika pengenalanku akan "Yang lain" berhenti pada tataran fisik.Â
Wajah merupakan representasi simbolis dari keseluruhan figur orang lain, yang tak berhingga. Tak berhingga memaksudkan makna dari "Yang lain" itu jauh melampaui segala usahaku untuk memahami dan mengertinya dari konteks tertentu. Kategori cantik, ganteng, mancung, sipit, hitam, putih merupakan emblem inderawi yang tak bisa dijadikan tolak ukur untuk mengenal keseluruhan diri "Yang lain". Wajah yang tampak itu memuat suatu makna yang melampaui ciri-ciri fisik sehingga kita diajak untuk berpikir menembus batas-batas kemampuan inderawi kita.Â
Wajah menyapa dan mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Ia mengusik perhatian dan permenungan, menghentak egoisme. Wajah yang ditampilkan "Yang lain" membangkitkan kesadaran dalam diriku tentang keluhuran martabat manusia. Wajah yang tampil murni, apa adanya itu membiaskan nilai-nilai etis dan estetika yang menuntut tanggung jawab kita untuk memeliharanya.Â
Mungkin pantas aku bermenung atas sebuah ungkapan "Wajah yang tak terlupakan". Apakah ini karena wajahku ramah, menghibur, damai, bersahabat bahkan bersinar Atau malah sebaliknya wajahku meresahkan, mengancam, melukai, menghina bahkan membunuh setiap yang kujumpai ("Yang lain") sehingga tak akan terlupakan atau senantiasa dikenang?Â
"Let no one ever come to you without leaving better and happier. Be the living expression of God's kindness; kindness in your face, kindness in your eyes, kindness in your smile" (Jangan biarkan setiap orang yang datang pada anda, pergi tanpa merasa lebih baik dan lebih bahagia. Jadilah ungkapan hidup dari kebaikan Tuhan. Kebaikan dalam wajah anda, kebaikan dalam mata anda, kebaikan dalam senyum anda) - Mother Theresa-
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H