Mohon tunggu...
Dina Fauzah
Dina Fauzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tempatku memulai belajar hal-hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Luar Negeri Indonesia (1950-1965)

1 Juli 2023   18:56 Diperbarui: 1 Juli 2023   19:05 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hubungan luar negeri Indonesia sudah ada sejak perang kemerdekaan berkembang sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949. Kabinet RIS di bawah perdana menteri Hatta melaksanakan hubungan luar negeri yang dititikberatkan pada negara-negara asia dan barat. Hal ini karena kepentingan ekonomi Indonesia yang masih terkait dan terpusat di Belanda dan Eropa Barat. 

Setelah Indonesia kembali ke dalam negara kesatuan, kabinet Natsir (1950-1951), Politik luar negeri Indonesia masih menjalankan politik luar negeri bebas aktif dengan mengadakan kerjasama yang tidak memikat. Pada tahun 1950 yang didalamnya terdapat sidang majelis umum, PBB menerima Indonesia menjadi anggotanya yang ke -60. Pada tanggal 28 September diadakan upacara pengibaran bendera merah putih di markas besar PBB di samping 59 bendera negara anggota lainnya. Setelah kabinet Natsir digantikan oleh kabinet Sukiman (1951-1952) dalam buku marwati Djoened dan Notosusanto, kabinet ini menempuh kebijakan yang menyimpang dari politik bebas aktif dikarenakan pada tahun 1952 menteri luar negeri yaitu Ahmad Soebardjo melakukan pertukaran surat dengan duta besar Amerika Serikat yaitu Marle Cochran. Nata hubungan ini terkait dengan bantuan Amerika Serikat berdasarkan Mutual Security Act (MSA). DPRS menganggap bahwa kabinet ini telah memasukan Indonesia kedalam bagian blok barat. Dasar kerja sama dengan Amerika Serikat yang telah dilakukan oleh Sukiman diteruskan dengan diubah dalam bentuk kerja sama biasa. Kerjasama tersebut berisikan tentang kerjasama ekonomi dan teknik, karena Indonesia sangat membutuhkan kedua hal tersebut dalam upaya pembangunan negara. 

Selanjutnya dalam keterangan kepada parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953 yaitu perdana menteri Ali Sastroamidjojo mengemukakan berapa pentingnya usaha untuk melaksanakan kerja sama antara negara-negara Asia-Afrika. Dalam keterangan tersebut, dikemukakan kerja sama dengan golongan Asia-Afrika (termasuk arab) dipandang sangat penting guna memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Landasan negara Republik Indonesia yaitu berpedoman bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencangkup seluruh sendi kehidupan manusia. Dan juga politik luar negeri dan diplomasi Indonesia dilakukan untuk memastikan terjadinya kepentingan nasional Indonesia, pertumbuhan nasional, pembangunan ekonomi kesejahteraan rakyat, keamanan nasional dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang di mana hal ini seperti tertuang pada dalam pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945. Prinsip dasar kebijakan pada politik luar negeri sebuah negara boleh saja berakar pada sejarah, ideologi dan konstitusi nasional. Namun pada saat pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan kepemimpinan dan dinamika politik internal serta internasional tertentu.

Politik luar negeri Indonesia pada periode pertama adalah diplomasi dan jalan perang gerilya yang di mana untuk mencapai pengakuan kemerdekaan. Yang di mana perjuangan ini pada akhirnya mencapai hasil yang gemilang dengan menandatangani perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang memberikan pengakuan kemerdekaan dalam bentuk negara federasi. Selanjutnya pada periode kedua tahun 1949-1958 yang dimana politik luar negeri Indonesia menekankan pada kelanjutan dari hasil perjuangan diplomasi pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebagai kelanjutan bagi perjuangan kemerdekaan ini Indonesia berambisi untuk membantu negara-negara yang masih dalam cengkraman kolonialisme negara-negara Eropa. Konferensi Asia Afrika (KAA) adalah salah satu realisasi politik luar negeri Indonesia selepas pengakuan kemerdekaan dari Belanda yang di mana prinsip bebas-aktif diaplikasikan dengan menjadi negara inisiator KAA dan GNB.

Pada periode kedua ini kondisi pemerintah Sangatlah tidak, partai politik yang terkemuka masing-masing menaruh kecurigaan terhadap rencana politik luar negeri setiap kabinet berkuasa. Di dalam negeri sendiri muncul permasalahan terkait separatisme seperti munculnya RMS (Republik Maluku Selatan) pada tahun 1950, berkat keberhasilan menumpas pemberontakan kelompok militer di Sumatra, sentimen anti barat dan anti Amerika semakin tumbuh di dalam negeri. 

Sumber : Syarifuddin,sejarah nasional Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun