Media sebagai salah satu alat komunikasi paling ampuh yang menjadi penyalur komunikasi politik di kalngan publik saat ini. Perkembangan media saat ini pun sudah semakin maju. Diikuti dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, media pun ikut bergerak mengikuti perkembangan teknologi yang ada saat ini. Banyak para pengusaha yang memanfaatkan perkembangan teknologi, terutama pengusaha media. Konglomerasi media adalah salah satu gambaran media saat ini dimana pemilik modal adalah orang-orang yang berkuasa dan di indonesia saat media saat ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan pendidikan manusianya.
Seperti yang kita lihat saat ini banyak siaran-siaran baru yang sifatnya “kurang bermanfaat” seperti dunia infortaiment. Khalayak lebih tertarik dengan informasi seputaran infortaiment daripada edukasi. Bad news is a good news seolah menjadi paradigma baru dikalangan media saat ini.Dari pernyataan ini dapat kita ketahui bahwa perkembangan media mempengaruhi gaya hidup masyarakat saat ini. Hubungan media dengan politik pun saat ini sedang “gempar-gemparnya”. Media yang seharusnya menyalurkan pendidikan politik malah menjadi politik kotor dimata masyarakat. Kebebasan pers bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan masyarakat yang bebas;bebas berpendapat dan bebas menyampaikan informasi. Seperti yang termasuk dalam UU No. 40 tahun 1999 bahwa pers sebagai kontrol sosial. Artinya di dalam kebebasan pers perlu pembatasan penyebaran informasi yang merupakan aib dan hal-hal yang tidak sepantasnya dipublikasikan yang mengganggu masyarakat.
Semakin berkembangnya dan canggihnya teknologi maka akan semakin cerdas pula pemanfaatan media sebagai saluran komunikasi politik. Media sebagai penyalur informasi kepada masyarakat juga menjadi penyalur pendidikan,khususnya pendidikan politik. Masyarakat sangat cepat menanggapi informasi media, terutama media online. Jaman dulu masyarakat memperoleh informasi melalui surat kabar harian ataupun mingguan. Sedangkan sekarang, masyarakat bisa kapan saja mengakses informasi melalui media online. Melalui media online, siapa saja dapat memperoleh informasi dengan cepat dimana pun dia berada.
Selain berfungsi sebagai penyalur informasi, media juga berfungsi sebagai edukasi. Tetapi faktanya yang kita lihat sekarang ini justru media seperti menjadi ajang perlombaan perebutan kekuasaan. Seperti pasca pilpres 2014, dimana komunikasi politik dengan media bukan menyalurkan edukasi politik tetapi justru mengajari masyarakat untuk saling “ber-atraksi”. Sebelum menyalurkan komunikasi antar politik dengan media kepada masyarakat ada baiknya media memberlakukan kode etiknya sebagai PERS yang bertanggung jawab. Pers dapat berperan menolong masyarakat dengan berita atau hasil insvestigasi lapangan. Pers juga menolong pemerintah untuk menyusun aturan atau kebijakan sesuai kenyataan bukan sekedar rekaan-rekaan belaka, sekadar jalan atau peluang untuk menguntungkan diri sendiri.
Lalu, apa yang di lakukan para politisi terhadap media pasca pilpres 2014 di hadapan publik? Pencitraan merupakan tujuan utama dan hal yang paling sering dilakukan oleh politisi, capres-cawapres, dan timses pasca pilpres 2014. Menurut Niels mulder Publik adalah pihak yang menerima, dan karena pembangunan ekonomi adalah tujuan kebijakan yang paling menonjol, maka bisnis dan negara atau politik uang lah yang menjadi pemain utama dalam gelanggang politik.
Melalui pencitraan lewat media, seorang politisi dan capres-cawapres dapat menaikkan pamor mereka dengan cara memposting prestasi politik mereka dan riwayat hidup mereka dan bahkan ada yang melebih-lebihkan. Di sosial media dia bisa menjadi orang yang sangat dikagumi sosoknya padahal kenyataannya tidak sama seperti yang dibicarakan di sosial media. Hal ini lah yang disebut pencitraan guna menghipnotis masyarakat, maka masyarakat juga perlu kecerdasan dalam menanggapi hal-hal seperti ini dan tak lupa pula media juga harus mengkontrol pemanfaatan media sebagai salahsatu alat komunikasi politik. Pencitraan melalui media sosial sangat mudah dan sangat digemari oleh para politisi karena penggunaannya yang mudah dan tidak memakan banyak tenaga. Jaman sekarang hampir semua masyarakat indonesia mengikuti perkembangan teknologi dengan menggunakan akun-akun yang telah masuk di indonesia. Perkembangan teknologi pula lah yang memperkuat komunikasi politik melalui media. Dan tugas pers sebagai kontrol sosial semakin berat pula untuk dimintai pertanggungjawaban.
Konglomerasi media adalah salah satu gambaran media saat ini, dimana pemilik modal adalah orang-orang yang berkuasa atau orang-orang yang memiliki kedudukan. Seperti yang kita lihat pasca pilpres 2014 dimana media-media dengan mudah dikuasai oleh orang-orang yang berkepentingan politik. Memang fungsi media tidak hanya menginformasi kan berbagai berita namun fungsi media juga harus tetap terkontrol sesuai kode etik yang berlaku. Harusnya media menjadi sumber pendidikan politik bukan malah sumber “kekotoran politik” itu sendiri.
Pers memang bebas tetapi bukan berarti pers bebas mengkomunikasikan hal-hal yang seharusnya tidak dikomunikasikan terhadap masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk memastikan informasi yang dia tangkap mengandung kebenaran atau tidak. Sesuatu yang membingungkan masyarakat dalam penangkapan edukasi politik pasca pilpres 2014 merupakan tanggung jawab media itu sendiri. Maka kepentingan media dalam komunikasi politik bukan semata-mata hanya “kampanye politik” tetapi menyebarkan berita yang mengandung kebenaran serta mengandung etika komunikasi politik kemudian disertai kode etik pers. Jika semua ini berhasil terlaksanakan maka selain suksesnya edukasi politik juga menjadikan media tepat sasaran sebagai media penyaluran pendidikan politik terhadap masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H