Ketidakpastian ekonomi global yang semakin meningkat telah menjadi tantangan utama bagi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia. Gejolak eksternal, mulai dari krisis keuangan global pada 2008, pandemi COVID-19, hingga ketegangan geopolitik yang terus berlanjut, telah memperburuk prospek ekonomi dunia. Sebagai negara ekonomi terbuka, Indonesia menghadapi dampak langsung dari fluktuasi nilai tukar rupiah, yang memengaruhi stabilitas ekonomi domestiknya. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai volatilitas nilai tukar rupiah, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, serta respons kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menghadapinya.
Ketidakpastian Ekonomi Global dan Dampaknya
Perekonomian global telah menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks dalam beberapa dekade terakhir. Pandemi COVID-19, misalnya, menyebabkan kontraksi ekonomi global yang sangat dalam, mencapai -3% pada tahun 2020 (IMF, 2020). Selain itu, ketegangan geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina dan ketidakstabilan yang melanda Timur Tengah memperburuk situasi ekonomi global. Salah satu dampak utama dari kondisi ini adalah lonjakan inflasi yang signifikan, terutama pada harga energi dan barang-barang kebutuhan pokok, serta kenaikan tarif angkutan global yang terjadi sejak akhir 2023 (UNCTAD, 2024).
Di tengah ketidakpastian ini, kebijakan suku bunga agresif yang diterapkan oleh Federal Reserve AS untuk menanggulangi inflasi global turut memperburuk sentimen pasar internasional. Kenaikan suku bunga yang mencapai 5% pada tahun 2023 menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang pada gilirannya memperlemah nilai tukar rupiah.
Ketidakstabilan nilai tukar rupiah tentu memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Depresiasi nilai tukar rupiah membuat biaya impor bahan baku, teknologi, dan peralatan semakin mahal, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan inflasi domestik. Di sisi lain, bagi sektor-sektor yang berorientasi ekspor, pelemahan rupiah bisa menjadi pendorong daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Namun, dampak positif ini tidak selalu terjadi secara merata di seluruh sektor, dan perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas.
Peran Bank Indonesia dalam Menstabilkan Nilai Tukar
Menghadapi volatilitas nilai tukar yang tinggi, Bank Indonesia (BI) dihadapkan pada dilema klasik dalam kebijakan ekonomi yang dikenal dengan sebutan Impossible Trinity atau Trilemma Ekonomi dari Mundell-Fleming. Teori ini menyatakan bahwa sebuah negara hanya bisa memilih dua dari tiga kebijakan berikut: nilai tukar yang stabil, arus modal bebas, dan kebijakan moneter yang independen. Dalam konteks Indonesia, BI memilih untuk mempertahankan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate), yang memungkinkan Bank Indonesia untuk melakukan intervensi pasar guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Salah satu langkah strategis yang diambil oleh BI adalah menjaga suku bunga tetap tinggi guna mengendalikan inflasi dan menarik aliran modal asing masuk ke dalam negeri. Kebijakan ini, meskipun efektif dalam menstabilkan nilai tukar, juga memiliki potensi dampak negatif, yaitu bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, bagi Bank Indonesia, prioritas utama tetaplah menjaga stabilitas makroekonomi dan memastikan inflasi tetap berada dalam target yang ditetapkan, yakni 2,5% 1% pada tahun 2024 (Bank Indonesia, 2024).
Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan intervensi di pasar uang dengan menggunakan instrumen moneter seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Bank Indonesia (SVBI), yang bertujuan untuk menjaga likuiditas dan stabilitas nilai tukar rupiah. Tindakan ini menunjukkan komitmen BI dalam menjaga kestabilan nilai tukar dan menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan.
Dampak Volatilitas Nilai Tukar terhadap Perekonomian
Volatilitas nilai tukar rupiah memiliki dampak yang sangat luas terhadap perekonomian Indonesia. Depresiasi rupiah dapat menambah ketidakpastian di kalangan investor domestik maupun asing, menghambat arus modal masuk, serta memperlambat pemulihan ekonomi domestik setelah krisis. Fenomena ini terlihat jelas pada saat krisis keuangan Asia 1997-1998, di mana pelemahan nilai tukar rupiah yang sangat tajam memicu arus modal keluar yang besar, dan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan Indonesia.