Dulu,
sekalipun tak pernah ragu, mengelus mencium pipimu;
tak juga malu, untuk sekedar minta dipangku.
Dulu,
aku tak pernah ragu, untuk mengadu.
Tak ada batas, untuk pulang kepelukanmu.
Penat, keringat.. nempel melekat:
tapi tak membuatmu pucat;
malah semakin berkilat.
Kini,
anakmu sudah besar, Ayahku..
Sudah malu, untuk sekedar bercerita denganmu.
Anakmu sudah besar, Ayahku..
Semakin erat dengan kerasnya kota;
bercumbu lekat dengan realita dewasa.
Anakmu sudah besar, Ayahku..
Kerepotan memikul beban;
penatnya tak ada tandingan.
Terkadang rapuh..
Ingin sekali mengadu;
tapi anakmu malu;
baru begini saja mengeluh.
Aku tumbuh menjadi sorang yang tak kauduga.
Buah rajutan didikanmu;
buah lukisan asa yang sibuk kuramu.
Sama juga seperti jejakmu;
meski penat, kukuh melaju.
Penulis: Dina Amalia
Ibukota Jakarta, 07 Februari 2024.
Baca Juga: Puisi: Wajah Ibu Dalam Lembar Sendu
Baca Juga: Puisi: Sang Penyair
Baca Juga: Sajak Istimewa: Ibu & Sebait Doa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H