Berita yang akhir akhir ini booming di sosial media kita, yaitu kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh Rizky Billar kepada istirnya, Lesty Kejora. Kasus lain yang juga hilir mudik dilaman sosial media kita, yaitu dugaan pelecehan seksual terhadap santri dilingkungan pesantren di berbagai wilayah. Seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi di Yayasan pesantren di kota bandung, dengan pelaku Heri Wirawan(36 Tahun), yang melakukan cabul terhadap 14 santrinya sejak 2016. Kasus tidak terduga lainnya, seperti beredarnya video cctv pelecahan seksual yang terjadi ditempat ibadah. Adapun masih banyak bentuk dari kasus kekerasan seksual yang melibatkan perempuan sebagai korban, dan membuat kita semakin sadar bahwa kasus kasus pelanggaran HAM ini benar benar eksis dilingkungan kita.
Kita mengenal HAM sebagai, "...seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia" menurut (Pasal 1 ayat (1)). Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, khususnya hak hak atas perempuan. Dimana Hal tersebut seringkali diakibatkan oleh adanya ketimpangan gender. Perempuan yang dianggap lemah, sehingga mudah untuk menjadi korban kekerasan seksual oleh laki laki. Untuk itu Setiap warga negara berhak mendapat perlindungan atas HAM. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (3) : "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi". Adapun UU yang mengatur HAM perempuan salah satunya Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban.
Walaupun dengan adanya UU HAM tersebut sebagai upaya preventif dari kekerasan seksual, Â hal tersebut sepertinya belum cukup. Hukum saja belum mampu untuk mengurangi angka kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan. Kita harus turut andil dikubu perempuan untuk menegakkan hak hak perempuan. Untuk itu diperlukan adanya kerja sama dengan media misalnya, dalam mengekspos segala bentuk kekerasan seksual. Tujuannya agar bukan hanya para pelaku yang bisa dikendalikan dengan upaya preventif tadi, tapi juga untuk mengendalikan angka korban kekerasan seksual, dengan cara menumbuhkan kewaspadaan.
Peran sosial media dalam menumbuhkan kewaspadaan bukan hanya sebatas mengekspos segala kejahatan seksual. Dapat kita lihat dari munculnya akun akun aktivis diberbagai disosial media. Salah satu contoh akun aktivis dilaman Instagram yaitu @perempuanfeminis. Tidak hanya mengkampanyekan feminisme ditengah masyarakat kita yang patriarki, akun tersebut juga membahas kasus kasus pelecehan seksual yang terjadi diberbagai wilayah. Atas kemudahan menyebar dan mendapatkan informasi ini, kita menjadi sadar bahwa kasus kasus pelanggaran terhadap hak hak perempuan benar benar eksis dimasyarakat kita. Kesadaran inilah yang kemudian bisa menumbuhkan kewaspadaan kita.
Bukan hanya sosial media, Teknologi seperti cctv juga sangat membantu mengungkap kasus kasus pelecehan seksual yang terjadi, seperti yang sudah disampaikan diawal, mengingat para pelaku pelecehan seksual yang sepertinya tidak lagi mengenal tempat. Kita juga bisa mencontoh Amerika dengan usahanya meminimalisir kekerasan yang terjadi, khususnya terhadap perempuan. Salah satu contohnya Athena, perangkat clip-on kecil yang mudah diletakan di ikat pinggang, lengan, dompet, atau bahkan membuatnya menjadi kalung. Saat ditekan selama tiga detik atau lebih, alat tersebut akan memancarkan alarm keras sambil mengirim SMS lokasi seseorang ke kontak darurat yang telah diatur. Tidak hanya itu, ada juga aplikasi Hollaback yang memungkinkan perempuan untuk melaporkan dan mendokumentasikan insiden pelecehan di jalan, tidak sekedar berbagi informasi penting ini dengan perempuan lain, tetapi untuk meminta pertanggungjawaban pelaku. Indonesia sendiri memiliki Panic Button, aplikasi yang dibuat oleh Kepolisian Republik Indonesia untuk membantu masyarakat dalam menghubungi pihak kepolisian. Masyarakat dapat melapor, memberi kritik dan saran, serta melihat informasi pelayanan Polri. Tombol Panic Button sendiri berfungsi untuk memberi sinyal ketika seseorang merasa sedang dalam bahaya. Setiap kepolisian daerah memiliki aplikasi ini, contohnya Polres Malang dan Depok.
Banyak upaya yang dapat kita lakukan untuk memberantas segala bentuk kejahatan seksual dengan memanfaatkan teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin memberikan kemudahan disetiap aspek kehidupan ini juga turut berperan dalam menegakkan keadilan. Untuk itu pentingnya kita juga untuk turut memanfaatkan teknologi dengan sebaik baiknya, memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H