Politik yang selalu menggelitik, meski bukan berarti tanpa etik tapi bermain politik harus cantik, apik dan tetap resik alis tidak gaduh. Agar tetap teduh, politik harus ditempatkan pada posnya sebagai sarana kaderisasi kepemimpinan baik di tingkat daerah (Kota, Kabupaten dan Propinsi) maupun di tingkat nasional atau regional atau internasional. Selain itu politik juga sebagai sarana dan hak konstitusi warga negara maka harus manfaatkan ia sesuai dengan fungsinya. Politik juga sebagai sebuah seni kepemimpinan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari adanya komunikasi antara satu dengan yang lain, ada pemimpin dan ada yang dipimpin.Â
Jadi politik harusnya jangan membuat orang jadi tabu atau alergi atau baperan (bawa perasaan) kalau kata anak muda zaman now, tapi lakukanlah sesuai dengan fashion, latar belakang atau backgrounnya masing-masing, maka kita akan menikmati politik itu.Â
Setelah adanya orde reformasi, bangsa ini telah melalui beberapa kali proses politik mulai dari Pemilu Multi Partai tahun 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014 dan saat ini tidak lama lagi kita akan menghadapi tahun politik yaitu Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.Â
Khususnya di Jawa Barat, maka Pemilukada Serentak tahun 2018 nanti adalah yang ketiga kalinya untuk pemilihan Gubernur Jawa Barat yang dilakukan secara langsung setelah tahun Pemilukada 2008 yang dimenangkan oleh pasangan HADE (Ahmad Heryawan - Dede Yusuf), lalu Pemilukada 2013 yang dimenangkan oleh pasangan Aher-Demiz (Ahmad Heryawan - Dedy Mizwar), maka pada Pemilukada 2018 nanti menarik untuk kita cermati, siapakah atau pasangan siapakan yang memenangkan kontes lima tahunan itu?
Jalur Politik atau Jalur Independen?
Memang politik bukan satu-satunya jalur untuk memunculkan kepemimpina politik di masyarakat kita, karena konstitusi kita telah mengakomodir dengan adanya jalur perseorangan atau jalur independen. Munculnya beberapa tokoh kepemimpinan formal dan informal di Jawa Barat sangat memungkinkan untuk menjadi pemimpin Jawa Barat. Meskipun dalam prakteknya kepemimpinan yang lahir dari dunia politik cendering memiliki pengalaman dan lebih teruji secara organisasi, meskipun bukan berarti jalur selain politik itu tidak memiliki kompetensi.Â
Munculnya beberapa tokoh kandidat bakal calon gubernur Jawa Barat sampai detik ini menunjukan bahwa posisi tawar partai politik masih kuat, berbeda dengan tingkat kota atau kabupaten, jalur independen cenderung lebih banyak munculnya. Ada beberapa tokoh informal yang memungkinkan muncul melalui jalur independen seperti KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Aceng Fikri, Sule, atau tokoh-tokoh yang lainya. Tetapi belakangan kurang terdengar gaungnya, kecuali tokoh birokrat atau pejabat yang selama ini muncul yaitu Sang Wakil Gubernur Jawa Barat (Dedy Mizwar) dan Sang Wali Kota Bandung (Ridwan Kamil).
Isu Keumatan dan Isu Kedaerahan
Di tengah-tengah suasana Pilgub DKI Jakarta yang baru saja berlalu dengan kemenangan pasangan Anies-Sandi yang diusung oleh PKS dan Gerindra, suasana Pilkada Serentak kedua di tahun 2017 lalu yang sangat menyedot perhatian, setelah Pilkada serentak pertama tahun 2015 yang juga tidak kalah serunya. Maka ada istilah Pilkada rasa Pilpres, terlebih lagi ada suatu peristiwa penistaan Al-Qur'an yang melibatkan kandidat sang Gubernur sebagai petahana yang maju sebagai Calon maka isu tentang keumatan dan kedaerahan diakui atau tidak sangat mewarnai perhelatan Pilkada serentak kedua di tahun 2016 lalu. Bagimana isu tersebut apakah masih akan muncul khususnya di Jawa Barat pada tahun 2018 nanti?
Untuk mengetahui hal itu mari kita kaji, pada tanggal 2 Desember 2017 lalu umat (Muslim) baru saja memperingati ulang tahun atau Milad dengan mengusung tema Reuni Akbar (Perdana) dan Maulid Agung (12 Robiul Awwal 1439 H) nabi Muhammad SAW di Monas. Sebelum acara yang sukses tersebut digelar karena mampu menghadirkan massa yang sama banyaknya atau bahkan lebih dari acara Aksi Bela Islam ke-3 tanggal 2 Desember 2016 lalu, yaitu 7,5 sampai 8 juta orang menurut perkiraan beberapa sumber. Maka di daerah Garus ada penolakan oleh ormas tertentu kepada tokoh GNPF-MUI yang selanjutnya sudah berganti nama dengan GNPF-Ulama, yaitu terhadap tokoh seperti Ustadz Bakhtiar Nasir (UBN).Â
Penolakan serupa terhadap beliau terjadi juga di Cirebon meskipun pada akhirnya ada klarifikasi dari kedua pihak. Maka melihat kejadian-kejadian seperti itu maka pada Pemilukada Jawa Barat 2018 isu tentang keumatan masih berpotensi muncul. Banyak tokoh berharap agar isu sara tidak mun cul dalam kontestasi Pilkada tapi tinggal sejauhmana masing-masing pihak menjaganya. Biasanya isu sara atau agama muncul karena ada pemicunya, seperti yang terjadi di DKI Jakarta lalu.Â