Watford merupakan salah satu dari tiga klub yang mendapatkan promosi  ke Premier League musim 2015-16. Watford memang bukan pertama kali berkompetisi di Premier Legue, mereka sudah pernah melakukannya pada musim 1999-00 dan 2006-07, namun di dua kesempatan tersebut Watford selalu mengakhiri kompetisi sebagai klub yang terdegradasi [1]. Dengan tujuan tidak mau mengulang dua kesempatan sebelumnya, Watford cukup royal dalam transfer pemain serta memperkuat skuat-nya dengan beberapa pemain bintang. Watford tentunya tidak akan langsung menargetkan menjadi juara Premier League atau bersaing di papan atas, namun diharapkan dengan pemain-pemain bintang tersebut mereka setidaknya mampu bersaing di papan tengah [2].
‘Strategi’ memperkuat skuat dengan mendatangkan beberapa pemain bintang, sebenarnya bukan kali ini saja dilakukan oleh klub promosi. Musim lalu, Queens Park Rangers (QPR) menerapkan ‘strategi’ tersebut dan hal serupa juga dilakukan oleh Portsmouth di musim 2009-10, namun ‘strategi’ tersebut ternyata mendatangkan mimpi buruk bagi kedua klub [2]. QPR yang memperkuat skuat-nya dengan pemain-pemain bintang: Steven Caulker, Rio Ferdinand, Leroy Fer, Sandro, Mauricio Isla, Eduardo Vargas, Nico Kranjcar, dan Mauro Zarate; justru mengakhiri kompetisi sebagai juru kunci dan terancam sanksi UEFA karena dugaan pelanggaran Financial Fair Play. Pada musim 2009-10, dengan diperkuat pemain-pemain bintang: Nwanko Kanu, Aruna Dindanae, Jhon Utaka, Kevin-Prince Boateng, Papa Bouba Diop, dan Younes Kaboul; Portsmouth justru harus terdegradasi sebagai posisi juru kunci dan mengalami kesulitan keuangan. Dalam sebuah artikel di Bola net, ada kekhawatiran bahwa Watford juga akan mengalami mimpi buruk tersebut, namun dalam pengamatan penulis ada sedikit perbedaan dari modal yang dimiliki Watford dibandingkan QPR dan Portsmouth. ‘Modal’ apakah itu?
Kita mulai dari QPR. Musim lalu QPR selain diperkuat beberapa pemain bintang juga ‘dikomandoi’ oleh pelatih yang cukup top dan sarat pengalaman: Harry Redknapp[3]. Prestasi Redknapp yang pernah membawa Portsmouth juara Piala FA 2008, dan dua kali mengantarkan Tottenham Hotspur lolos ke Liga Champions UEFA seperti menjadi ‘jaminan’ bagi QPR. Faktanya, Redknapp justru mengulang ‘prestasi’ buruknya bersama Southampton 10 musim yang lalu, yaitu sebagai juru kunci Premier League. Faktor apa yang kurang? Jawabannya boleh jadi ada pada sosok Toni Fernandes yang menjadi pemilik QPR via Tune Group[4]. Fernandes memang merupakan pengusaha yang sukses yang mampu memberikan pasokan dana yang berlimpah, namun nil pengalaman dalam pengelolaan klub sepak bola. Tanpa adanya pengalaman mengelola klub sepakbola, pasokan dana besar dari Fernandes menjadi mubazir karena QPR harus terdegradasi dan ancaman sanksi Financial Fair Play.
Bagaimana dengan Portsmouth musim 2009-10? Sulaeman Al-Fahim yang menjadi pemilik Portsmouth saat itu, kasusnya hampir sama dengan Toni Fernandes. Al-Fahim juga merupakan pengusaha sukses dengan kekayaan yang berlimpah, namun seperti halnya Fernandes Al-Fahim juga minim pengalaman dalam pengelolaan klub olahraga [5]. Dalam kasus Portsmouth, hal ini ditambah dengan pemilihan pelatih yang salah. Avram Grant yang ditunjuk sebagai pelatih di musim 2009-10, memang sarat pengalaman, namun kurang berprestasi di Liga Inggris [6]. Avram Grant bahkan membawa Chelsea menjadi ‘Treble Failed’ di musim 2007-08 (Runner-up Premier League, Runner-up Piala Liga, dan Runner-up Liga champions UEFA).
Bagaimana dengan Watford? Faktor apa yang membedakannya dengan kedua klub tersebut? Jawabannya ada pada Keluarga Pozzo, yang menjadi pemilik Watford sejak 3 tahun lalu. Siapa sebenarnya keluarga Pozzo ini? Keluarga Pozzo merupakan salah satu pendiri dari Frese Udinesi, Holding Company di Italia yang bergerak di Industri Peralatan Woodworking[7]. Dalam hal pengelolaan klub sepakbola, keluarga Pozzo sudah menjadi pemilik klub Italia Udinese sejak tahun 1986, melalui Giampaolo Pozzo.  Udinese sendiri bukanlah klub yang cukup sukses di Italia pada era 1980-an. Udinese memang berkompetisi di Serie A, namun mereka hanya mampu bersaing di papan tengah atau bertarung menghindari ancaman degradasi.   Giampaolo Pozzo sendiri membeli Udinese saat klub tersebut baru saja terkena skandal pengaturan skor. Hal ini mengakibatkan Udinese harus terdegradasi ke Serie B di musim 1986-87 karena pengurangan 9 point. Pada masa-masa awal di bawah kepemilikan Pozzo, Udinese beberapa kali mengalami promosi ke Serie A dan terdegradasi kembali ke Serie B. Kondisi tersebut mulai berubah saat Udinese berhasil meraih promosi ke Serie A di musim 1994-95, dimulai dari musim berikutnya Udinese mampu terus bertahan di Serie A sampai saat ini [8]. Tidak hanya bertahan selama hampir 20 tahun, di bawah pengelolaan Pozzo Udinese beberapa kali sanggup bersaing di papan atas Serie A. Giampaolo Pozzo sendiri bahkan sempat mendapat penghargaan Presiden Klub terbaik di Serie A musim 2006-07 [9].  Prestasi tersebut seakan membuktikan keberhasilan keluarga Pozzo dalam mengelola klub sepakbola. Udinese yang sebelumnya hanyalah klub medioker, sanggup diubah menjadi klub Serie A yang cukup mapan dan disegani. Tidak cukup dengan Udinese, keluarga Pozzo juga membeli klub Spanyol Granada. Granada yang selama puluhan tahun mampu beranjak dari Segunda Division danTercera Division, di bawah kepemilikan Pozzo akhirnya mampu meraih Promosi ke La Liga di musim 2010-11. Sejak musim 2011-12, Granada masih tetap bertahan di La Liga walaupun hanya mampu bersaing di papan bawah saja [10].
Pengalaman selama hampir 30 tahun dan ‘prestasi’ dari keluarga Pozzo inilah yang dapat menjadi ‘jaminan’ bahwa Watford tidak akan mengalami mimpi buruk seperti QPR (2014-15) maupun Portsmouth (2009-10). Gino Pozzo putra dari Giampaolo Pozzo memang menjadi pemilik utama Watford, namun bukan berarti Gino Pozzo minim pengalaman dalama pengelolaan klub sepakbola. Sejak musim 1993-94, Gino Pozzo sudah terlibat dalam pengelolaan klub Udinese, terutama dalam urusan scouting dan transfer pemain [9].  Selain ‘jaminan’ dari keluarga Pozzo, Watford juga dikomandoi oleh pelatih yang cukup top,Quique Flores. Flores merupakan pelatih Atletico Madrid saat menjadi juara Liga Eropa 2010 dan Piala Super Eropa 2010 [11]. Pada masa awal karir kepelatihannya, Flores juga pernah melatih Getafe di musim 2004-05 saat baru promosi ke La Liga dan membawa Getafeke posisi-13 di akhir musim, serta menjadi satu-satunya klub promosi yang tidak terdegradasi kembali.
Dengan ‘modal’ pengalaman keluarga Pozzo selama puluhan tahun dalam mengelola klub sepakbola, pengalaman serta prestasi dari Quique Flores, dan deretan pemain bintang ,Watford punya modal yang lebih untuk sekedar bertahan di Premier League. Heurelho Gomes,Juanfran, Sebastian Prodl, Matej Vydra, Etiene Capoue, Valon Behrami, Allan Nyom, Miguel Britos, dan Jose Manuel Jurado menjadi deretan pemain bintang yang akan berusaha mewujudkan impian dari para suporter The Hornets. Sebagai langkah awal, suporter The Hornets tentu hanya mengharapkan klub kesayangannya setidaknya dapat bersaing di papan tengah Premier League, namun tentu ada harapan besar dan tantangan bagi keluarga Pozzo untuk menyamai atau bahkan melampaui masa ‘kejayaan’ Watford di era kepemilikan Sir Elton John. Pada masa tersebut, Watford menjadi Runner-up Liga Inggris 1982-83 serta Runner-up Piala FA 1984 prestasi yang hingga saat ini belum sanggup diulangi bahkan dilampaui para pemilik Watford selanjutnya [12].
Referensi:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Watford_F.C.
[2] http://www.bola.net/open-play/watford-dan-mimpi-prematur-klub-promosi-519b53.html
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Harry_Redknapp