Kemaren tepatnya tanggal 19 April 2015, PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia telah berusia 85 tahun. Dalam usia yang sudah sangat tua, PSSI justru mendapatkan ‘kado pahit’ pembekuan dari Kemenpora. ‘Kado pahit’, karena dengan pembekuan dari pemerintah terhadap PSSI, hal ini akan memancing FIFA untuk memberikan sanksi terhadap PSSI. Sanksi dari FIFA ini akan mengakibatkan PSSI tercabut hak-hak-nya sebagai anggota dari FIFA. Timnas maupun klub-klub Indonesia akan langsung tercabut hak-nya untuk berpartisipasi di kompetisi maupun turnamen yang diakui oleh FIFA.
Keputusan pemebekuan PSSI oleh pemerintah, kemungkinan besar akan mengundang sanksi dari FIFA. Hal ini dikarenakan sesuai dengan statuta FIFA Pasal 13, ayat 1 (i) dan juga pasal 17 ayat 1yang keduanya sama-sama menyebutkan: “.. no influence from third parties.”, maka pemerintah yang diasumsikan sebagai pihak ketiga ( “third parties”) seperti dilarang mempunyai pengaruh dalam pengelolaan sepakbola di negaranya. Larangan yang sempat dipertanyakan oleh peneliti politik asal Inggris, Sunder Katwala, berkaitan dengan diremehkannya peran pemerintah tersebut, karena justru asosiasi sepakbola di suatu negara sebenarnya jauh lebih membutuhkan peran pemerintah. Larangan dari statuta FIFA tersebut bahkan sering kali dijadikan ‘senjata’ oleh pihak-pihak tertentu di PSSI. ‘Senjata’ untuk menyerang pemerintah yang berupaya membantu meningkatkan kualitas pengelolaan sepakbola nasional.
Padahal faktanya, FIFA justru mendukung adanya kerjasama antara anggota asosiasi dengan pemerintah di negaranya. Hal ini dapat kita lihat dari jawaban Thierry Regenass (Direktur FIFA Bidang Pengembangan dan Anggota Asosiasi) ketika diwawancarai oleh FIFA.com mengenai hubungan pemerintah dengan asosiasi sepakbola di suatu negara, sekitar 4 tahun yang lalu:
“..we are not against governments, nor do we encourage our member associations to work in opposition of their governments. .. we constantly try to establish a good atmosphere and cooperation with governments. A government has a very important role to play in contributing to the development of football in a country...”
Dalam pernyataannya tersebut, Regenass secara tidak langsung menganjurkan adanya sinergitas dan juga koordinasi antara pemerintah dan induk organisasi sepakbola di negaranya dalam pengembangan sepakbola di negara tersebut.
Sayangnya, banyak pihak di PSSI lebih suka ‘memanfaatkan’ statuta FIFA untuk kepentingannya sendiri, sehingga alih-alih kerjasama justru malah menimbulkan konflik. Konflik yang sudah mulai muncul ketika PSSI bereaksi keras terhadap pembentukan Tim Sembilan oleh Kemenpora, walaupun sudah dijelaskan bahwa pemerintah hanya berupaya membantu PSSI. Konflik memang sempat mereda, namun kemudian muncul kembali dengan adanya BOPI yang bermaksud membantu dalam verifikasi peserta ISL 2015.
BOPI yang berupaya melakukan verifikasi terhadap klub-klub peserta ISL 2015 dengan landasan Regulasi Club Licensing AFC, FIFA, dan juga PSSI justru ditentang oleh PT. Liga. Dalam prosesnya, bahkan banyak klub yang merasa bahwa BOPI menambahkan syarat-syarat kriteria saat menverifikasi. Padahal dalam pengamatan penulis dengan membaca Regulasi Club Licensing FIFA dan AFC, tidak ada penambahan syarat kriteria yang dilakukan oleh BOPI. PSSI sendiri saat proses verifikasi tersebut, justru seperti diam saja dan seolah-olah menerima apa yang dilakukan BOPI. Proses verifikasi dari BOPI yang sempat membuat ISL 2015 tertunda, kemudian menghasilkan rekomendasi terhadap 16 klub peserta ISL 2015, sementara Arema Cronus serta Persebaya dinyatakan gagal lolos verifikasi.
Tidak dikeluarkannya rekomendasi terhadap 2 klub: Arema dan Persebaya, ternyata sama sekali tidak diperhatikan oleh PSSI bahkan tidak dipertimbangan sedikitpun. Hal ini ‘memancing’ kesalahan dari pemerintah. BOPI yang berada di bawah Kemenpora mengeluarkan keputusan yang bersifat wajib berkaitan dengan rekomendasi terhadap klub peserta ISL 2015. Kesalahan karena dalam statuta FIFA pasal 17 ayat 4 : “Decisions passed by bodies that have not been elected or appointed ..[by National Association].. shall not be recognised by FIFA.”, sehingga PSSI tentu tidak mau mengikuti rekomendasi dari BOPI tersebut. Penolakan yang sepertinya sudah dari awal direncanakan oleh PSSI, sehingga menjebak Kemenpora.
Menjebak Kemenpora? Ya, sebenarnya kalau memang PSSI/PT. Liga memang berniat bekerjasama dengan Kemenpora/BOPI, seharusnya sejak awal mereka tidak hanya diam dan mempersilahkan BOPI saja yang bekerja. PSSI seharusnya pada saat itu melakukan koordinasi dengan Kemenpora mengenai masalah verifikasi klub-klub peserta ISL 2015, bahkan mendorong pembentukan Tim verifikasi bersama-sama dengan BOPI. Faktanya, PSSI tidak mau melakukan hal tersebut, walaupun terlihat seperti mendukung, PSSI/PT. Liga tidak mau mengambil peran signifikan dalam verifikasi dari BOPI. Akhirnya seperti yang sudah diduga sebelumnya, PT. Liga sama sekali tidak menerima rekomendasi dari BOPI.
PSSI/PT. Liga juga kurang berkoordinasi dengan BOPI, buktinya adalah pernyataan dari Bapak Togar Manahan Nero (Komisaris PT. Liga) di Bolanews. Dalam pernyataan beliau, PT. Liga sebagai lisensor berhak menentukan kriteria sendiri dan menurunkan syarat-syarat kriteria bagi klub peserta ISL 2015. Entah apakah pernyataan tersebut hanya salah pengucapan atau memang ada kesalahan dalam menerjemahkan Regulasi Club Licensing AFC. Faktanya, dalam Regulasi Club Licensing AFC, Lisensor Nasional (PT. Liga) tidak mempunyai hak menurunkan syarat-syarat kriteria Wajib untuk lisensi klub, terutama untuk peserta Liga pada Top Tiers atau divisi puncak dalam hal ini adalah ISL 2015. Hal ini dapat kita lihat dalam Regulasi Club Licensing dari AFC maupun FIFA, yang menggunakan kata “upgrade” pada konteks hak Lisensor Nasional dalam mengubah syarat kriteria. Lisensor Nasional hanya diperbolehkan menurunkan syarat kriteria untuk peserta Liga pada tingkat kedua dan seterusnya. Hak untuk menurunkan syarat-syarat kriteria Wajib bagi peserta Liga divisi tertinggi di suatu negara, hanya diberikan pada Lisensor Konfederasi dalam hal ini Lisensor AFC, berdasarkan permintaan tertulis dari Lisensor Nasional. Permintaan untuk penurunan bahkan pengurangan syarat-syarat kriteria itu pun belum tentu diterima, karena akan dipertimbangkan dari berbagai kondisi di negara tersebut terkait sepakbola. Pertanyaanya, benarkah PT. Liga mendapatkan ‘dispensasi’ dari Lisensor AFC? Apakah ini yang dimaksud PT. Liga bahwa mereka berhak menurunkan syarat kriteria? Jika memang benar sudah mendapatkan ‘dispensasi’ dari AFC, secara tidak langsung hal ini menunjukkan pada level mana ISL sebagai kompetisi liga tertinggi di Indonesia berada, yang jelas bukan level profesional. Adanya ‘dispensasi’ tersebut kalau memang ada, mengapa juga tidak diberitahukan kepada BOPI? Nah, sebaliknya jika maksud penurunan syarat kriteria tersebut adalah kesalahan dalam memahami Regulasi Club Licensing, maka secara tidak langsung, PT. Liga juga telah melanggar statuta FIFA.
Bukti lain dari kurangnya atau bahkan tiadanya koordinasi antara PT. Liga dan BOPI, adalah berkaitan dengan Klub Arema Cronus. Sebagaimana diketahui, dikabarkan klub Arema telah lolos verifikasi dari Lisensor AFC pada bulan Februari yang lalu. Entah, apakah memang benar berita kelolosan tersebut, karena berita yang penulis dapatkan seperti simpang siur saja. Jika memang benar, sudah seharusnya PT. Liga menkoordinasikan kepada BOPI soal kelolosan dari Arema pada verifikasi dari AFC, jika memang ada niat untuk kerjasama. Dengan posisi Lisensor AFC yang berada di atas Lisensor Nasional, seharusnya Arema otomatis lolos dari verifikasi di tingkat nasional. Sayang, mungkin karena sejak awal PT. Liga malas berkoordinasi dengan BOPI, kelolosan Arema dari verifikasi AFC tidak diinformasikan lebih lanjut, dan klub Arema yang menjadi korban.
Upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas kinerja sepakbola nasional tentu bukan suatu kesalahan. Hal yang menurut penulis kurang tepat adalah pada proses yang dilakukan. Pemerintah dalam hal ini seperti kurang sigap dalam berkoordinasi dan berkomunikasi dengan FIFA sehingga seperti ‘kalah’ dari PSSI. Dampaknya, FIFA yang mendapatkan informasi tidak lengkap dari PSSI terlihat selalu membela anggotanya tersebut. Padahal seharusnya dalam pandangan penulis, pemerintah harus secara intensif melakukan koordinasi dan komunikasi dengan FIFA sebagai badan tertinggi untuk sepakbola di tingkat internasional. Mengapa harus berkoordinasi dan berkomunikasi secara intensif? Pertama, tentu untuk meminimalisir upaya pihak-pihak tertentu di PSSI yang memberikan informasi tidak lengkap pada FIFA. Selain itu, dengan adanya komunikasi serta koordinasi yang intensif, ada peluang bahwa FIFA akan ‘memaksa’ PSSI untuk bisa bekerjasama dengan pemerintah. Kondisi tersebut akan
Dalam upaya mereformasi atau memperbaiki kualitas pengelolaan sepakbola di suatu negara, Katwala mengungkapkan tiga jalur reformasi. Ketiga jalur tersebut adalah: Reformasi dari pihak luar, Reformasi dari dalam organisasi pengelola sepakbola, dan Reformasi yang terjadi setelah krisis dan chaos. Reformasi dari pihak luar memang dinyatakan sebagai jalur yang terbaik, namun dengan adanya statuta FIFA jalur ini seperti menjadi ‘jalan buntu’. Sementara itu,jalur reformasi dari dalam akan sangat sulit untuk diharapkan, terutama jika orang-orang dalam organisasi tersebut hanya menjadikan organisasi itu sebagai alat semata untuk kepentingan golongannya masing-masing. Bagaimana dengan jalur yang ketiga? Jalur ketiga, merupakan jalur reformasi yang terburuk yang bisa diharapkan. Dalam kasus pengelolaan sepakbola di Indonesia, mengharapkan jalur reformasi ketiga berarti sama saja mengharapkan kondisi sepakbola nasional kacau balau bahkan hingga chaos terlebih dahulu hingga olahraga sepakbola tidak lagi bisa diharapkan sama sekali, dan terpaksa pembangunan sepakbola harus kembali dari titik nol. Kondisi yang tentu sangat tidak diharapkan.
Apakah tidak ada kemungkinan lain dalam mereformasi pengelolaan sepakbola nasional? Alternatif lain yang bisa dipilih, adalah dengan memadukan jalur reformasi pertama dengan jalur reformasi kedua. Dalam hal ini, reformasi dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah dengan asosiasi sepakbola di negara tersebut. Hanya dengan kerjasama antara kedua belah pihak (Pemerintah dan asosiasi sepakbola), maka reformasi pengelolaan sepakbola akan berjalan lancar bahkan berpeluang besar mendapat dukungan dari FIFA. Pada hari ini, Bapak La Nyalla (Ketua Umum PSSI yang dibekukan) beserta delegasi lain dari PSSI(beku) akan berkunjung ke Kemenpora terkait masalah pembekuan PSSI. Penulis berharap kedua belah pihak mau ‘berkhianat’ dari kepentingan golongannya masing-masing dan ‘membelot’ untuk membela kepentingan prestasi sepakbola nasional. Hanya dengan bersama-sama melupakan kepentingan golongannya, kedua belah pihak dapat menyelesaikan kisruh yang terjadi di sepakbola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H