Kemaren malam, Timnas Indonesia akhirnya mampu mraih kemenangan pertamanya saat melawan Laos pada pertandingan terakhir Grup A Kejuaraan AFF 2014. Dengan komposisi pemain yang berbeda dari 2 pertandingan sebelumnya, Timnas menampilkan permainan yang lebih bagus, dan hal ini pastinya menjadi penyesalan yang mendalam bagi Alfred Riedl.  Kemenangan yang diraih memang percuma, karena di waktu yang sama Vietnam juga menang atas Filippina. ‘Sejarah’ kekalahan pertama Garuda atas Pasukan Azkals telah menggagalkan target Timnas Indonesia untuk menjuarai Kejuaraan AFF 2014.
Kegagalan Timnas Indonesia di kejuaraan AFF 2014 ini, menimbulkan pertanyaan apa yang salah dengan Timnas? Sebelum kegagalan Timnas senior, Timnas di level usia muda yaitu Timnas U-23 dan Timnas U-19 juga mencatat hasil yang tidak memuaskan pada turnamen yang diikuti tahun ini, namun kegagalan Timnas senior di Kejuaraan AFF 2014 merupakan yang paling menyesakkan. Bagaimana tidak, Timnas Garuda gagal karena dikalahkan Timnas Azkals Filippina 4-0, Tim yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan akan menjadi ‘perusak’ impian Timnas menjadi juara AFF 2014. BTN-PSSI sebenarnya telah mempersiapkan  Timnas senior melalui berbagai rangkaian uji coba dan juga memanggil kembali Pelatih Alfred Riedl, yang 4 tahun lalu membawa Timnas menjadi runner-up Kejuaraan AFF, namun sayangnya upaya yang dilakukan sepertinya bukan hanya kurang optimal namun juga kurang baik.
Banyak spekulasi yang berkembang mengenai faktor penyebab kegagalan Timnas Garuda tahun ini, baik senior maupun di level usia muda (U-19 dan U-23). Penyebab kegagalan yang sering dikemukakan oleh para pendukung sepak bola Indonesia, mulai dari pelatih yang tidak tepat hingga kualitas para pemain Timnas, dan ada juga yang menyatakan PSSI sendirilah penyebab kegagalan. Beberapa yang menyatakan faktor pelatih sebagai penyebabnya, berargumen bahwa di Timnas negara yang lebih maju sepak bolanya kalau gagal pasti yang bertanggungjawab adalah pelatihnya,bukan Federasi sepakbola-nya, namun ada yang luput dari perhatian. Timnas-timnas sepak bola yang menjadi ‘pataokan’ tersebut tidak mengalami apa yang dialami oleh Timnas Indonesia, apakah itu? Jawabannya adalah manajemen yang kurang baik atau kasarnya acak-acakan. Manajemen yang buruk ini sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan Timnas, namun juga kompetisi, dan bahkan di tingkat klub.
Dalam manajemen Timnas, sebenarnya dapat diperhatikan melalui pengelolaan pertandingan uji coba. Hal pertama yang mungkin terlintas ‘bukankah untuk ujicoba pelatih punya hak untuk memilih lawan?’. Ya, pelatih memang dapat memilih lawan untuk Timnas namun tetap saja keputusan ada di tangan BTN-PSSI terutama mengenai waktu dan tempat. Sebagai gambaran, pernahkah kita menyaksikan Timnas sepak bola seperti Inggris misalkan melakukan pertandingan ujicoba hanya beberapa hari sebelum Turnamen melawan Tim kuat seperti Jerman, Brasil, atau mungkin Argentina? Jawabannya tidak, beberapa hari sebelum Turnamen resmi kalaupun perlu untuk pertandingan uji coba, biasanya akan dipilih lawan yang kelasnya berada di bawah dan tidak akan memilih lawan yang punya peluang besar mengalahkan mereka. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh, coba perhatikan tetangga kita Singapura. Timnas Singapura setelah berhadapan melawan ‘jagoan’ Timur Tengah Bahrain 2 minggu sebelum Kejuaraan AFF 2014, Singapura cukup melawan Laos dan Kamboja beberapa hari sebelum Turnamen sehingga tidak berisiko mengalami kekalahan beberapa hari sebelum hari-H. Coba bandingkan dengan Timnas Indonesia, setelah berhadapan dengan Yaman, Malaysia, dan Timor Leste, Timnas Garuda justru harus melawan Suriah yang merupakan lawan yang tidak hanya dari kawasan yang selama ini sulit dikalahkan oleh Timnas, namun juga kualitasnya di atas Timnas. Malaysia beberapa hari sebelum Turnamen memang melakukan uji coba melawan tim kuat, namun harus dicatat Malaysia memilih Vietnam yang merupakan sesama tim dari kawasan AFF, dan hal ini cukup sesuai karena yang akan dihadapi adalah Turnamen di tingkat AFF. Timnas Indonesia justru memilih Suriah, yang bukan hanya tidak berasal dari AFF namun juga merupakan lawan yang kuat. Dampaknya, tidak hanya Timnas menderita kekalahan namun minim sekali bahkan mungkin tidak ada pelajaran yang dapat diperolah, mengapa? Karena Timnas sudah jelas tidak akan bertemu dengan lawan yang karakter permainannya mirip dengan Suriah.
Bagaimana dengan manajemen kompetisi liga dan manajemen di tingkat klub? Hal ini mudah saja, silahkan bandingakan antara Indonesia dengan Thailand misalkan. Indonesia untuk kompetisi sepak bola-nya hanya dengan ISL (Indonesia Super League) sebenarnya hanya terdiri dari 247 pertandingan, bandingkan dengan Thailand yang juga ditambah dengan Piala Thailand dan juga Piala Liga Thailand selain Thailand Premier League dan total pertandingannya lebih dari 500 pertandingan. Bahkan jika hanya dilihat dari kompetisi liga, Thailand Premier League itu mencapai 384 pertandingan jauh lebih padat dan lebih banyak dibandingkan ISL. Kenyataannya? Dengan jumlah pertandingan yang lebih sedikit, PSSI tidak mampu mengelola kompetisi liga domestik tersebut secara baik, sehingga waktu istirahat para pemain menjadi sangat minim. Hal ini kebalikan dari Thailand, yang walaupun harus mengelola 384 pertandingan, bahkan ditambah dengan kompetisi domestik lain di luar Liga, persiapan Timnas sama sekali tidak terganggu. Sementara untuk buruknya manajemen di tingkat klub, silahkan dicheck bagaimana sepak bola Indonesia, lebih dikenal oleh dunia Internasional karena ada beberapa pemain asing yang sampai tidak digaji dan bahkan meninggal karena sakit.
Kegagalan Timnas Indonesia, pada tahun ini seharusnya menjadi pil pahit untuk dijadikan pelajaran. Pelajaran yang harus dilakukan tidak hanya dengan meminta maaf lalu sekedar pergantian pelatih, atau perombakan susunan pemain, bahkan sampai membuat program baru namun harus lebih dari itu. Perombakan kepengurusan PSSI secara menyeluruh pun, menurut penulis belum cukup. Pembenahan dari sisi kepengurusan memang diperlukan, namun yang lebih diperlukan adalah perbaikan dari sisi pengelolaan. Percuma saja, misalkan PSSI mampu mengontrak pelatih sekelas Jose Mourinho ataupun Carlo Ancelotti jika pengelolaan dari PSSI masih buruk, sulit bagi Timnas untuk sukses.
Perombakan jika diperlukan untuk Timnas, sebenarnya yang paling krusial adalah perubahan pada unsur manajemen di BTN-PSSI. Menurut penulis, sudah saatnya BTN-PSSI dikelola oleh sosok yang benar-benar paham dengan sepak bola Indonesia dan memang berdedikasi pada perkembangannya serta ikut merasakan langsung perkembangan sepak bola nasional, bukan orang yang pura-pura saja. Tidak perlu jauh-jauh ke luar, cukup perhatikan PBSI sebagai sesama induk organisasi olah raga. PBSI dalam kepengurusan ikut menyertakan peran para mantan atlet-nya khususnya pada bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan Timnas/Pelatnas.  Mungkin ada yang bertanya ‘bukankah supaya pengelolaannya bagus, maka harus dikelola oleh orang yang berpengalaman dalam hal manajerial?’. Ya, memang karena berkaitan dengan manajerial seharusnya yang mengisi juga punya pengalaman di posisi tersebut, namun manajemen hal apa yang diperlukan? Kemampuan manajerial yang dibutuhkan di sini tidak boleh mengutamakan insentif profit namun prestasi dan pintar merancang ‘investasi’ untuk meraih prestasi yang tinggi, karena yang dikelola adalah sebuah Tim olah raga bukan perusahaan yang berfokus pada profit semata. Dalam hal ini, jarang sekali seseorang yang berpengalaman mengelola perusahaan punya kualifikasi yang bagus untuk mengelola satu tim olah raga, karena terkadang bahkan sering kali mereka tidak berfikir dari sisi pemain atau sudut ‘investasi’ prestasi. Karena faktor sudut pandang pemain inilah, Pengelolaan terhadap tim olah raga dalam hal ini BTN-PSSI sebaiknya diserahkan pada seseorang yang pernah menjadi pemain. Kita bisa ambil contoh Federasi  Sepakbola Jerman yang kebetulan dalam struktur kepengurusan terdapat posisi yang mirip dengan BTN-PSSI, yaitu nationalmannschafts-manager. Oliver Bierhoff yang menduduki posisi tersebut mempunyai pengalaman yang minim dalam hal manajerial, namun dengan bekal pengalaman sebagai pemain Bierhoff mampu menjalankan perannya dengan sukses bahkan menjadi salah satu kunci keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia. Posisi lain yang juga krusial untuk diubah adalah SekJen (Sekretaris Jendral). Pada posisi tersebut sebaiknya diseleksi kembali sehingga yang mendudukinya benar-benar paham dan berdedikasi penuh terhadap sepak bola nasional. Posisi SekJen tidak perlu harus mantan pemain, namun setidaknya sosok yang menduduki posisi tersebut punya pengalaman atau pernah terlibat dalam mengelola sebuah klub sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H