Mohon tunggu...
Predictors Dims
Predictors Dims Mohon Tunggu... Dosen - Predicting by history

Keep The ..[Red and White]..Flag Flying High

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ketua BTN dan Timnas

16 Oktober 2014   10:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:49 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya setelah kegagalan Timnas U-23 di Asian Games 2014 pada September yang lalu, kali ini giliran Timnas U-19 yang juga gagal pada Turnamen tingkat Asia, AFC U-19 2014.  Kegagalan Timnas U-19 ini terasa lebih menyesakkan, karena selain persiapan yang telah dilakukan hampir setahun melalui TC yang sangat panjang, Timnas U-19 menjadi satu-satunya tim yang gagal meraih poin pada ajang AFC U-19 2014.  Dengan kegagalan tersebut, pupus sudah harapan para pecinta sepak bola Indonesia untuk menyaksikan Timnas U-19 berpartisipasi pada Piala Dunia U-20.

Mimpi untuk lolos ke Piala Dunia U-20 2015 memang sempat menjadi target bagi Timnas U-19, apalagi setelah tim ini menjadi Juara AFF U-19 2013 dan lolos dari Kualifikasi AFC U-19 2014 dengan mengalahkan ‘Raksasa Asia Timur’ Korea Selatan.  Terlepas bahwa keberhasilan tersebut hanya karena faktor keberuntungan atau sekedar ‘kebetulan’ semata, namun banyak yang mengakui bahwa permainan terbaik Timnas U-19 terlihat saat mereka mengalahkan Korea Selatan 3-2 di Kualifikasi AFC U-19 2014.  Hanya saja sangat disayangkan setelah kesuksesan tersebut, tindak lanjut yang dilakukan oleh PSSI dalam manajemen Timnas U-19 terlihat sekali sangat kacau.  TC yang sangat panjang, sampai ‘pembatalan’ Timnas U-19 untuk berpartisipasi pada turnamen Internasional COTIF menjadi bukti kacaunya PSSI dalam hal ini BTN dalam mengelola Timnas.  BTN-PSSI sepertinya tidak pernah belajar bagaimana mengelola faktor ‘kebetulan’ atau keberuntungan menjadi investasi untuk prestasi, BTN-PSSI sepertinya lebih handal mengelola faktor ‘kebetulan’ tersebut untuk menjadi investasi yang bersifat komersil atau bisnis.  Yah, jangankan mengelola faktor ‘kebetulan’ untuk mengelola Timnas dan juga masalah pembinaan usia muda sekalipun sepertinya PSSI masih kacau.

Berbicara masalah pengelolaan, PSSI sepertinya perlu belajar pada DFB (PSSI-nya Jerman) dan FAT (PSSI-nya Thailand) dalam mengelola faktor ‘kebetulan’.  Perhatikan saja prestasi Timnas Thailand dan Jerman sekitar 12 tahun lalu yang bisa disebut sebagai ‘kebetulan’.  Thailand yang berhasil lolos ke Semi-Final Asian Games 2002, saat itu menjadi satu-satunya Tim dari AFF yang mampu menembus babak Knock-Out, dan juga prestasi Timnas Jerman sebagai runner-up Piala Dunia 2002 sebenarnya jika ditelusuri tidak lepas dari faktor ‘kebetulan’.  Mengapa hanya ‘kebetulan? Timnas Thailand memang berhasil lolos ke Semi-Final Asian Games 2002, namun pada saat itu dalam perjalanan menuju babak Semi-Final, lawan-lawan yang dihadapi bisa disebut berada di bawah Thailand jika dilihat dari ranking FIFA pada saat itu.  Hal ini hampir sama dengan yang terjadi pada Jerman di Piala Dunia 2002, lawan-lawan yang mereka hadapi sebelum lolos ke Final juga berada di bawah Jerman, baik dalam kualitas ,prestasi,maupun ranking.  Lawan-lawan Jerman pada saat itu, Irlandia, Arab Saudi, Kamerun, AS, Paraguay, bahkan tuan rumah Korea Selatan sudah jelas berada di bawah Timnas Jerman, sehingga wajar saja jika Jerman mampu lolos hingga Final, pada Piala Dunia 2002.  Faktor yang menarik adalah bagaimana Federasi Sepakbola baik Jerman maupun Thailand dalam mengelola faktor ‘kebetulan’ tersebut yang jauh berbeda dengan pengelolaan faktor ‘kebetulan’ oleh PSSI.

Hasilnya bisa dilihat, bagaimana prestasi keduanya.  FAT dengan pengelolaannya menjadi satu-satunya Tim dari AFF yang konsisten lolos minimal babak Perempat-Final pada ajang Asian Games (sejak menjadi Turnamen U-23 tahun 2002).  Bahkan pada Asian Games tahun ini, Thailand tidak hanya lolos ke Semi-Final Asian Games namun juga membuat kejutan dengan mengalahkan Jordan U-23 di Perempat-Final,yang pada awal tahun ini menjadi Juara ke-3 Kejuaraan AFC U-22.  Thailand pun hanya kalah 0-1 dari Irak (Juara AFC U-22 2013) dalam perebutan Medali Perunggu.  Bagaimana dengan Jerman? Selepas menjadi runner-up Piala Dunia 2002, prestasi Jerman sempat turun drastis dengan kegagalan di Piala Eropa 2004 dimana Jerman tidak mampu lolos dari penyisihan grup.   Namun dengan kegagalan tersebut, Jerman langsung bereaksi dengan melakukan beberapa perubahan, diawali dengan pengangkatan mantan pemain mereka Juergen Klinsmann sebagai pelatih untuk menghadapi Piala Dunia 2006.  Bersamaan dengan pengangkatan Klinsmann, mulailah dikenal posisi baru dalam Timnas sepak bola yaitu posisi Manajer Umum (Nationalmannschafts-Manager) yang sampai saat ini masih ditempati oleh sesama mantan pemain Timnas Jerman, Oliver Bierhoff.  Dengan perubahan tersebut, Jerman 2 kali menjadi Juara ke-3 Piala Dunia(2006 dan 2010) serta runner-up Piala Eropa 2008, sampai dengan puncaknya adalah menjadi Juara Piala Dunia 2014.  Posisi Manajer Umum (Nationalmannschafts-Manager) sebenarnya sudah mulai ditiru oleh PSSI dengan BTN-nya, namun sayangnya posisi tersebut tidak ditempati oleh orang yang tepat.

Keberadaan BTN yang perannya mirip dengan Nationalmannschafts-Manager di DFB, sebenarnya memang bagus, namun sayangnya, PSSI hanya sekedar meniru tanpa mencontoh bagaimana penempatan individu pada posisi-posisi strategis.  Perlu dicatat, DFB untuk posisi-posisi yang berkaitan langsung dengan permainan sepak bola itu sendiri, terutama Liga, pembinaan usia muda, hingga Timnas baik senior maupun Junior, hampir semuanya ditempati oleh individu yang mempunyai pengalaman dalam lapangan sepak bola entah itu sebagai pemain atau hanya sebagai pelatih, kalaupun tidak individu tersebut setidaknya mempunyai pengalaman dalam mengelola klub sepak bola.  Hal inilah yang merupakan  the right man on the right places yang sebenarnya dalam organisasi sepak bola, dan masalah pengalaman manajemen itu sebenarnya urusan sepele jika dibandingkan apakah individu tersebut punya pengaalaman atau tidak dalam permainan sepak bola.  Coba perhatikan Oliver Bierhoff, pengalaman apa yang dia punya dalam ilmu manajemen saat ditunjuk sebagai Nationalmannschafts-Manager ? Jawabanya tidak ada, apalagi saat ditunjuk Oliver Bierhoff belum lama pensiun sebagai pemain sepakbola, satu-satunya pengalaman Bierhoff ya, hanya sebagai pemain, itu saja.  Faktanya dengan mengandalkan pengalaman sebagai pemain, Bierhoff akhirnya bisa disebut menjadi salah satu kunci sukses Jerman sebagai juara Piala Dunia 2014.  Posisi Bierhoff sebagai Nationalmannschafts-Manager, sebenarnya hampir sama dengan posisi La Nyalla sebagai Ketua BTN, namun sayangnya La Nyalla pengalamannya nol dalam hal permainan sepak bola baik sebagai pemain atau hanya sebagai pelatih.  La Nyalla memang mempunyai pengalaman sebagai Ketua PSSI Jawa Timur, namun pengalaman itu sangat kurang untuk posisi yang berhubungan langsung dengan masalah Timnas.

Berkaitan dengan masalah pengelolaan secara organisasi, PSSI sepertinya perlu sekali-kali ‘menengok’ ke ‘saudara’nya sesama organisasi olahraga, yaitu PBSI.  Sesama oranisasi dari olahraga yang menjadi primadona di Tanah Air, PBSI tampaknya lebih sukses dan bagus dalam hal pengelolaan.  Jika diperhatikan, selain tidak terlalu terikat dengan faktor politik, dalam kepengurusan PBSI jauh lebih mengakomodir para mantan pemain untuk terlibat terutama pada posisi strategis yang jauh lebih membutuhkan pengalaman sebagai atlet dibandingkan pengalaman dalam manajemen.  Perhatikan saja struktur kepengurusan PBSI, yang banyak ditempati oleh para mantan pemain.  Posisi seperti Manajer Humas,dan posisi lain seperti Direktur untuk Pelatnas dan juga Pembinaan semuanya diisi oleh individu yang berpengalaman sebagai pemain, PBSI bahkan menyertakan tim ahli yang juga diisi mantan atlet mereka yang berprestasi.  Sekarang,coba bandingkan dengan PSSI yang sangat kurang dalam mengakomodir individu yang berpengalaman dalam permainan sepak bola untuk menduduki posisi strategis terutama yang berhubungan langsung dengan Timnas.  Jika memperhatikan hal ini, ya, wajar saja pengelolaan Timnas tidak memperhatikan unsur pengembangan prestasi, dan lebih fokus ke urusan komersil, ya, yang mengurusnya saja (Ketua BTN) lebih berpengalaman mengelola bisnis.  Otomatis, tidak akan mungkin diperhatikan faktor-faktor non teknis dan teknis berkaitan dengan para pemain, ketika mengelola rangkaian TC maupun friendly match dan juga Turnamen uji coba mana yang harus diikuti.  Selepas kegagalan Timnas U-19 di Kejuaraan AFC U-19 2014, Ketua BTN memang telah siap untuk bertanggungjawab, namun jika bentuk tanggungjawab tersebut hanya dengan pergantian pelatih dan perombakan pemain tanpa perubahan dalam pengelolaan Timnas melalui BTN, perubahan yang ada hanyalah angan semu, kalaupun berhasil paling hanya untuk waktu singkat.  Beberapa posisi di PSSI memang membutuhkan individu yang cukup dengan pengalaman manajemen atau bisnis, namun untuk posisi tertentu individu yang mempunyai pengalaman sebagai pemain atau hanya sebagai pelatih harus diprioritaskan.  Yang jelas, menurut penulis tanpa mengesampingkan kontribusi Ketua BTN selama ini, posisi Ketua BTN jelas bukan untuk individu yang hanya punya pengalaman dalam manajemen atau bisnis namun sama sekali tidak berpengalaman dalam permainan sepakbola (sebagai pemain atau pelatih).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun