[caption id="attachment_386865" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi tuntutan revolusi untuk PSSI. (Kompas.com)"][/caption]
Dalam basis ilmu ekonomi, dipelajari bagaimana individu atau kelompok memperoleh ‘keuntungan’ yang sebesar-besarnya dengan sumber daya yang ‘terbatas’. Kata ‘keuntungan’ yang dimaksud memang sering kali dipersempit hanya berkaitan dengan masalah uang, walaupun sebenarnya tidak begitu. ‘Keuntungan’ atau yang selanjutnya penulis sebut sebagai insentif yang ingin diperoleh, dalam arti luas tidak selalu berkaitan dengan masalah uang, namun bisa saja hanya berupa kepuasan (utilitas), ataupun dalam bentuk lain yang merupakan insentif yang tepat dari upaya individu atau kelompok tersebut.
Insentif di sini berkaitan erat dengan entity yang berupaya memperolehnya. Sebagai contoh, suatu perusahaan tentu akan mengejar insentif berupa profit keuntungan (uang), sementara untuk pejabat publik insentif yang tepat justru berupa kepuasan saat masyarakat mengalami peningkatan kesejahteraan. Pengejaran insentif yang tidak sesuai tentunya akan berdampak buruk pada entity tersebut, apakah itu berupa kebangkrutan atau bahkan kekacauan.
Berdasarkan hal di atas, ilmu ekonomi menurut penulis dapat diaplikasikan dalam olahraga sepak bola, yang saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Insentif yang dituju terkait dengan olahraga sepak bola tentunya berkaitan dengan masalah prestasi, peningkatan skill, dan juga kepuasan dari stakeholder terbesar, yaitu para suporter. Dengan sumber daya yang tersedia, entity dalam olahraga sepak bola seharusnya hanya berusaha mengejar ketiga insentif tersebut.
PSSI sebagai salah satu entity utama dalam olahraga sepak bola di Indonesia, dituntut untuk memperoleh insentif berupa prestasi dan kepuasan para suporter. Dalam upaya memperoleh insentif tersebut, PSSI sebenarnya diwajibkan untuk melakukan investasi seperti sebuah perusahaan yang mencari profit. Investasi dalam hal ini adalah mengorbankan perolehan di masa sekarang untuk memperoleh hasil yang lebih besar pada masa yang akan datang.
Investasi bagi PSSI tentu berbeda dengan investasi bagi suatu perusahaan. Investasi bagi suatu organisasi olahraga seperti PSSI, di antaranya berupa pembinaan atlet di usia muda, bahkan sampai pengelolaan kompetisi yang rapi dan kompetitif, karena memang ditujukan untuk peningkatan prestasi. Sementara untuk perusahaan, investasi yang dilakukan dapat berupa pembelian atau penyewaan suatu mesin atau lokasi bisnis. Investasi baik bagi organisasi olahraga seperti PSSI, maupun perusahaan memang sangat diperlukan, selain karena masalah insentif yang lebih besar pada masa depan, investasi juga menjadi upaya untuk mempertahankan keberadaan entity tersebut.
Investasi yang telah dilakukan perlu dinilai keberhasilannya, dan tentu penilaian untuk investasi dari PSSI tidak bisa disamakan dengan investasi oleh perusahaan. Penilaian dari keberhasilan investasi tersebut untuk perusahaan dapat diukur melalui NPV (Net Present Value) yang selain memperhitungkan hasil yang diperoleh dari investasi tersebut juga faktor suku bunga setiap periode. Hal ini tentu berbeda dengan investasi yang dilakukan oleh PSSI, penilaian keberhasilan tidak bisa diukur dengan hanya hitung-hitungan matematis semata. Penilaian dari investasi yang dilakukan oleh organisasi olahraga seperti PSSI, harus diperhatikan dari sisi prestasi yang diperoleh dan juga bagaimana perencanaan untuk setiap jenjang yang jelas dan terarah. Penilaian investasi dari suatu organisasi olahraga yang hanya memantau segi prestasi tanpa mempunyai suatu perencanaan secara jangka panjang, hanya akan menghasilkan penilaian yang salah dan akan merugikan cabang olahraga tersebut di kemudian hari. Penilaian dari sisi prestasi dan perencanaan jangka panjang inilah yang harus dimiliki oleh PSSI.
Pada tahun 2014 ini, PSSI memperoleh insentif negatif atau ‘kerugian’ prestasi. Kegagalan Timnas U-19 dan Timnas Senior, prestasi yang kurang memuaskan dari Timnas U-23, serta kompetisi liga yang bermasalah menjadi bukti bahwa PSSI memperoleh ‘kerugian’ pada tahun ini. Hal ini diperparah dengan ketidakpuasan yang memuncak dari sebagian besar suporter terhadap PSSI, yang memunculkan petisi #BekukanPSSI. Ketidakpuasan yang menurut penulis wajar, melihat bagaimana PSSI selama tahun ini tidak menunjukkan prestasi yang memuaskan ditambah masalah pengelolaan yang bermasalah. ‘Kerugian-kerugian’ prestasi tersebut seharusnya mendorong PSSI untuk segera berbenah dan memperbaiki diri.
Bagaimana upaya yang harus dilakukan terhadap kebamgkrutan prestasi dari PSSI? Usulan untuk membekukan PSSI walaupun wajar, namun menurut penulis sebaiknya cukup menjadi upaya terakhir. Hal utama yang harus dilakukan dari pihak PSSI sendiri adalah:
1.Berhenti ‘mengancam’ dengan acuan statuta FIFA mengenai larangan intervensi. Hal ini mungkin tidak disadari bahwa tingkah PSSI yang selalu ‘mengancam’ pihak-pihak yang ingin membantu PSSI dengan statuta FIFA inilah yang sepertinya membuat berbagai pihak terutama pemerintah enggan untuk membantu PSSI.
2.Selanjutnya diperlukan ukuran keberhasilan yang tidak hanya berupa prestasi, namun juga grand design perencanaan jangka panjang bagi pengelolaan sepakbola nasional. Penulis berpendapat bahwa untuk organisasi olahraga seperti PSSI, insentif utama yang harus diperoleh seharusnya berupa prestasi, insentif berupa profit (uang) seharusnya menjadi urusan kesekian bahkan sebenarnya tidak perlu terlalu dipikirkan. Kerugian dari sisi uang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, selama mampu meraih prestasi yang setinggi-tingginya serta terdapat perencanaan yang jelas dan terarah, asumsikan saja kerugian uang tersebut sebagai bentuk investasi untuk peningkatan prestasi.
3.Terakhir, upaya yang perlu dilakukan tentu menggugah kesadaran para pengurus PSSI berkaitan dengan kesalahan pengelolaan yang telah mereka lakukan terhadap sepakbola nasional, sehingga mereka mau melakukan evaluasi diri.
Kunci utamanya adalah kesadaran setiap individu pada kepengurusan PSSI (jika masih bisa sadar) bahwa insentif yang mereka cari adalah prestasi sepak bola nasional dan kepuasan para stakeholder sepakbola terutama para suporter,bukan insentif berupa uang atau hal lain yang tidak terkait dengan olahraga.
Bagi pihak yang menolak tegas pembekuan PSSI, janganlah langsung menuduh bahwa yang mendukung pembekuan PSSI adalah mereka yang merupakan bagian dari Barisan Sakit Hati karena tidak mendapat posisi di kepengurusan PSSI. Secara logika dukungan terhadap #BekukanPSSI muncul karena ketidakpuasan yang sudah tak tertahan dari sebagian besar suporter sepak bola nasional terhadap kinerja PSSI. Hal yang wajar menurut penulis, melihat prestasi ‘negatif’ dan berbagai masalah yang menimpa sepak bola nasional, justru sangat aneh jika ada yang merasa puas melihat banyaknya prestasi ‘negatif’ dari PSSI.
Penulis sendiri berharap permasalahan yang terjadi pada peresepakbolaan nasional, dapat diselesaikan bersama-sama oleh seluruh stakeholder sepak bola nasional tanpa perlu adanya pembekuan PSSI. PSSI harus mau bekerja sama dengan stakeholder sepakbola nasional lainnya tanpa ‘mengancam’ dengan statuta FIFA,jika memang PSSI masih serius untuk meningkatkan prestasi sepak bola nasional.
Salam Olahraga
Bogor, Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H